Jumat, 23 Mei 2014

Brasil 2014 dan Teater Urakan

Brasil 2014 dan Teater Urakan

Hari Prasetyo  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Bunyi gong terdengar dipukul untuk ketiga kali. Dan orang-orang yang berkerumun di depan pintu masuk sebuah gedung teater di sebuah kawasan kesenian di negeri ini paham: pertunjukan teater segera dimulai. Penonton yang sudah membeli tiket diperintahkan segera masuk.

Begitu masuk, seperti biasa, segera mereka akan menghadapi situasi yang magis dan sedikit seram. Gelap, dingin karena mesin penyejuk udara sedang bekerja, dan harus berhati-hati menuju tempat duduk yang sudah ditentukan.

Di tempat-tempat tertentu, kalau ada penonton telat, tidak boleh masuk lagi, meski sudah beli tiket. Dikhawatirkan dia akan mengganggu keheningan dan konsentrasi yang terjadi selama pementasan. Tapi, pergelaran sepak bola Piala Dunia 2014 di Brasil mulai 12 Juni mendatang dipastikan bukanlah teater santun seperti itu.

Pergelaran tersebut memang tetap berlangsung di satu tempat. Ada tata-cahaya dan pengaturan suara seperti teater pada umumnya. Ada cerita atau tema tertentu-sebut saja perjuangan merebut kemenangan-yang membawa para manusia pelakunya terbagi ke dalam dua kubu untuk berkonflik.

Namun sejak gong pertama tampaklah bahwa pentas-pentas sepak bola di Brasil 2014 adalah teater yang gaduh. Pergelaran itu akan bergemuruh oleh ribuan manusia yang bersorak dan berlalu-lalang di pintu, kursi stadion, dan baru harus tertib sesaat sebelum pertandingan dimulai. Penonton tidak dilarang berteriak-teriak dan memotret dengan kamera genggam dukungan lampu cahaya. Yang tidak boleh adalah kalau Anda berniat melempari pemain dengan mercon dan benda lainnya.

Teater sepak bola Brasil 2014 bisa jadi tak banyak berbeda dengan teater rakyat kita, seperti ludruk, ketoprak, dan lenong di tempat dan panggung terbuka. Dia bukan teater tonil yang datang dari Barat. Celetukan atau komentar dari penonton sah terdengar dan dibolehkan untuk mengganggu jalannya pentas di panggung.

Dulu, di Stadion Gajayana, Malang, penjual bakso masih boleh masuk ke dalam stadion dengan membawa gerobaknya. Mereka berjualan selama pertandingan. Penonton hilir-mudik membeli bakso sambil menonton.

Dan, bukan kebetulan kalau pementasan sepak bola berlangsung di teater arena dan bukan di teater prosenium. Posisi penonton melingkari peristiwa yang terjadi di pentas berwujud lapangan rumput.

Pentas Piala Dunia itu tidak berjarak. Yang hadir di deretan kursi stadion tidak hanya sekadar penonton. Itu sebabnya, suporter-penonton yang berpihak kepada masing-masing tim-sering disebut sebagai pemain ke-13 sebuah tim. Teriakan suporter berpengaruh terhadap jalannya pentas.

Brasil 2014 adalah suasana pentas teater yang sudah lama tergerus di negeri kita. Pada 1986, di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta, W.S. Rendra mementaskan lakon Panembahan Reso dengan Bengkel Teater Rendra miliknya. Saya menontonnya hingga larut malam. Kantuk terusir oleh suasana mirip ludruk dan lenong. Ada tepuk tangan dan celetukan spontan. Saya menikmatinya sambil bersandar di tembok, sembari menyeruput teh dari termos yang dibawa dari rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar