Teka-teka-Teki
Satrio Piningit
Mohamad
Sobary ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 21 Mei 2014
Sebuah
media di Jawa Tengah mengangkat isu Satrio Piningit. Saya ditanya, kenapa
dalam dunia modern yang sudah demikian rasional, kita masih percaya pada
gagasan Satrio Piningit?
Mungkin
sebabnya, di dunia modern yang disebut sudah demikian rasional ini pun, hidup
kita—juga di dunia politik—sangat
sering tidak rasional. Tidak jarang kita berhadapan dengan yang serba-“tidak
ideal”. Kita mau memilih tokoh, misalnya, tapi yang mau dipilih itu tidak
ada.
Kita
“dipaksa” memilih stok lama yang sejak dulu tidak kita pilih. Kita
menghindarinya karena bayangan kita mengenai “yang ideal” itu tak terpenuhi.
Kita
lalu merasa skeptis. Kemudian perasaan tanpa semangat, serba-apatis, dan tak
ingin terlibat dalam politik, meluas. Kita bicara mengenai “golput”, atau sikap
tak peduli yang menjengkelkan.
Orang—sampai
saat ini—masih juga bertanya, kita akan memilih siapa. Ketika dijawab,
memilih yang terbaik, keresahan selanjutnya muncul, “yang terbaik” itu tidak
ada. Politik lalu berhadapan dengan sejenis jalan buntu.
Ketika
para pemimpin di Jakarta, yang masing-masing memiliki kepentingan politiknya
sendiri, berpendapat seorang perempuan, tak peduli partainya menang, tak
boleh menjadi pemimpin, arti praktisnya tak boleh menjadi presiden, jalan
politik pun betul-betul buntu.
Mereka
berakrobat. Tiap pihak merasa dirinya yang pantas menjadi presiden. Tapi
entah bagaimana, saat itu posisi tersebut ditawarkan pada Gus Dur, dan ia pun
menjadi presiden.
Sekali
lagi, di dunia modern, yang sudah demikian rasional ini, orang-orang pandai
yang disebut tokoh-tokoh masyarakat, melakukan tindakan tidak rasional. Apa
gunanya pemilihan umum kalau pemenangnya tak boleh menjadi presiden? Bukankah
ini berarti pemenang tak boleh menjadi pemenang karena ia seorang perempuan?
Kalau dirumuskan
dengan akal yang logis, lurus, dan apa adanya, berarti seorang perempuan
tidak boleh menang. Kalau dalam kontes politik terbuka ia ternyata menang,
kemenangannya dibatalkan. Pembatalan ini wajib hukumnya.
Siapa di
antara tokoh-tokoh itu—yang punya
ambisi politik sendiri—yang bisa dianggap paling bertanggung jawab? Amien
Rais merumuskan apa yang disebut “poros tengah”, pencari jalan keluar, pada
hakikatnya sama dengan yang lain. Itu karena bayangannya, jalan keluar
hendaknya memihak dirinya. Namun, ketika Gus Dur menerima tawaran tanpa
berpikir panjang, ambisi para tokoh pun lenyap.
Serasional-rasionalnya
dunia politik modern, yang sudah menempuh cara memilih pemimpin dengan
“pemilu” dan menggunakan prinsip
rasional, yang diterima semua pihak: one man one vote, kenyataannya
diperlukan sebuah poros yang dicari-cari. Politik rasional pun masih tidak
rasional.
“Kartu Langit”
Dalam
politik rasional yang tidak rasional ini, apa salahnya muncul campur tangan
dari dunia mitologi, yang bicara tentang Satrio Piningit tadi? Dalam logika
macam ini, bisa juga disebutkan Satrio Piningit itu “kartu langit” yang
dimainkan diam-diam.
Tokoh
yang disebut “kartu langit” ini bisa siapa saja. Kita boleh menyebut siapa
saja nama yang mana pun juga, sejauh penjelasan kita masuk akal. Nama yang
piningit, artinya yang dipingit, jelas bukan nama-nama yang sudah lama kita
ketahui sebagai calon presiden.
Mari
kita sebut semua nama yang dianggap potensial oleh partai mereka, atau oleh
masyarakat pendukung mereka masing-masing. Semua nama boleh disebut, disertai
rangkaian prestasinya, sikap politiknya, garis perjuangan politiknya, juga
idealisme yang hendak diperjuangkannya.
Kalau
dikatakan “semua nama”, berarti nama siapa pun boleh disebutkan dan boleh
dianggap dialah yang Satrio Piningit tadi. Dengan ukuran-ukuran rasional
tertentu, serta dengan subjektivitas yang tak disembunyikan, saya menyebutkan
di sini nama Jokowi.
Saya
bukan anggota tim suksesnya, bukan teman ngopinya, dan bukan bagian apa pun
yang berseliweran di sekitarnya beberapa jam sehari. Saya berada di jarak
yang jauh. Meskipun begitu, bagi saya tampaknya Jokowi yang disebut “kartu” yang
dimainkan kekuatan-kekuatan langit secara rahasia.
Ia
“dimainkan” dengan baik di Solo dan menyandang sukses di luar dugaan. Belum
selesai tugasnya di sana, ia “dimainkan” lagi di Jakarta, dengan cara yang
begitu elegan meskipun agak kurang pantas. Kurang pantas karena tugasnya di
Solo belum selesai, dan kurang pantas—maaf, penampilannya yang tak meyakinkan
bagi orang-orang Jakarta. Namun, “kartu” ini menang dengan gemilang di
Jakarta.
Soal
pro-kontra mungkin lumrah dan biasa terjadi di dunia politik. Main bola
tingkat kampung saja bisa menimbulkan pro-kontra. Apalagi, mungkin secara
pribadi Jokowi tak tertarik dunia politik, dan karena itu mungkin tak
berambisi untuk bermain di wilayah politik.
Fenomena
ini mungkin malah bisa menjadi penjelasan yang bagus, bahwa ia sekadar
“kartu” yang dimainkan kekuatan-kekuatan langit tadi. Sekarang ia menjadi
calon presiden, berhadapan dengan tokoh Jakarta yang gagah-gagah,
hebat-hebat, semua serbamentereng, serbaberpengalaman, dan punya postur
paling “josss” untuk duduk di Istana Negara. Ini tentu saja dengan catatan,
yang seperti itulah yang didambakan rakyat.
Kalau
rakyat membutuhkan tampah “ndeso” yang sangat sederhana, bagaimana? Mungkin
ini bisa membuat banyak kalangan jengkel. Namun, adakah pemilu di dunia ini
yang betul-betul rasional, serta semua pemilih membuat keputusan memilih
hanya sepenuhnya rasional? Ini masalahnya.
Sekali
lagi, “kartu” ini dimainkan kekuatan-kekuatan langit dengan penuh keyakinan.
“Langit” menjadikannya seorang Satrio Piningit, artinya “jago” yang siap
bertarung di medan laga yang keras sekalipun.
Satrio
Piningit memang serbapenuh rahasia dan kelihatan tidak cocok menurut ukuran
biasa. Tapi “langit” sering punya rencana dan takdir tersendiri yang tak
masuk akal bagi kita. Hidup memang sering tak masuk akal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar