Kamis, 22 Mei 2014

Kerendahan Hati Jokowi

Kerendahan Hati Jokowi

Eko Sulistyo  ;  Mantan Ketua KPU Surakarta (2003-2008), Konsultan Politik
SINAR HARAPAN,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kerendahan hati adalah salah satu sifat kepemimpinan yang sudah terbukti membawa banyak perusahaan mencapai kejayaannya. Dalam buku Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t (2001), penulis Jim C Collins menemukan rahasia kenapa 11 dari 1.435 perusahaan global yang disurvei dapat beranjak dari sekadar “baik” menjadi “hebat”.

Jawabannya adalah leadership 5, level paling tinggi dalam teori kepemimpinan Collins yang menggabungkan kerendahan hati yang dalam dengan kemauan yang sangat keras.

Kerendahan hati dan motivasi yang tinggi merupakan gaya khas kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), calon presiden (capres) yang diusung PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura.

Sejak menjadi wali kota Surakarta dan gubernur DKI Jakarta, ia dikenal sangat merakyat, bukan saja melalui blusukan-nya, melainkan juga dalam pendekatan, pemikiran, dan cara menyelesaikan masalah rakyatnya. Rendah hati dan rendah diri yang menjadi pembawaan hidupnya menjadi kunci gaya kepemimpinnya yang efektif selama ini.

Menggunakan analogi buku Good to Great, dengan konsep kepemimpinan level 5, Jokowi adalah pemimpin nasional yang paling mungkin membawa perubahan bagi bangsa kita.

Indonesia Raya

Setelah merdeka hampir tujuh dekade, sudah saatnya kita mewujudkan apa yang menjadi cita-cita pendiri bangsa; Indonesia yang demokratis, maju, adil, dan makmur. Namun, segala usaha mencapai Indonesia Raya selama ini gagal karena pemimpinnya terperangkap dengan kesombongan dan kerakusannya.

Jelas kunci keberhasilan bangsa ini ada pada pemimpin. Indonesia harus dipimpin orang yang mencapai leadership 5, pemimpin yang mampu menggabungkan sikap kerendahan hati dan kemauan kerja keras untuk memperbaiki negeri ini.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, ketika menutup acara talk show “Mata Najwa” di Metro TV, Januari, menyatakan, “Indonesia Raya,” ketika ditanya mengenai keinginannya saat ini. Dua bulan kemudian, Megawati mengumumkan Jokowi sebagai capres PDIP untuk Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.

Dengan segala kekurangannya, termasuk jejak rekam yang oleh lawan-lawan politiknya dianggap masih kurang untuk menjadi pemimpin nasional, Jokowi dilihat masyarakat sebagai sosok pemimpin yang paling memungkinkan membawa perubahan Indonesia.

Hampir semua survei dan jajak pendapat menunjukkan Jokowi sebagai capres yang paling diunggulkan. Pembawaannya yang rendah hati dan rendah diri memberikan harapan yang sangat tinggi kepada masyarakat pemilih.

Indonesia memiliki hampir semua unsur yang diperlukan untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Dengan jumlah penduduk yang besar dan cukup terlatih dan terampil serta kekayaan alam yang berlimpah, seharusnya Indonesia berada satu tingkat dengan negara maju di dunia.

Sejumlah negara Asia, di antaranya Jepang dan Korea Selatan, yang miskin sumber daya alam, berhasil bergabung dengan kelompok negara besar.

Sejarah Indonesia menunjukkan ada saat-saat di mana bangsa kita seharusnya dapat mencapai cita-cita Indonesia Raya, hanya untuk kemudian digagalkan perilaku sikap cepat puas, lupa diri, dan kesombongan pemimpin. Kondisi ini menumbuhkan budaya rakus sehingga korupsi merajalela.

Di bawah kepemimpinan Soeharto, kekayaan alam kita, terutama sumber daya minyak bumi dan gas bumi, hampir habis dikuras untuk memperkaya segelintir anggota masyarakat. Sementara itu, sebagian besar rakyat jelata hanya menunggu tetesan kekayaan yang mereka raup.

Pemimpin nasional lupa diri karena kekayaan pribadi mereka yang berlimpah. Namun, sifat rakus dan korupsi ini akhirnya membawa kebangkrutan ekonomi nasional tahun 1998. Bangsa kita dipaksa mengemis kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

Belum genap satu generasi pergantian kepemimpinan, sejarah mengulang kesalahan bangsa ini. Kemajuan ekonomi yang telah kita capai, yang dasar-dasarnya diletakkan di tahun-tahun awal era Reformasi, telah menimbulkan kembali budaya rakus dan korupsi. Hal tersebut cenderung makin meluas belakangan ini yang mengancam kesinambungan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi rakyat.

Terdapat sejumlah studi yang menunjukkan semakin lebarnya jurang kesenjangan ekonomi berdasarkan koefisien Gini. Pihak yang kaya semakin kaya.

Walaupun sebagian yang miskin menjadi lebih baik, ada bagian masyarakat yang semakin miskin dan semakin tertinggal karena tidak mendapat kesempatan menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi.

Di bawah kepemimpinan nasional yang telah berganti yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis sejak Reformasi (1998), Indonesia tetap menjadi Indonesia, belum beranjak menjadi Indonesia Raya. Masyarakat kembali dipicu untuk berusaha memperkaya diri tanpa memikirkan nasib orang lain, dan segala cara dihalalkan selama tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sementara itu, para elite politik sibuk sendiri dan terjebak pada egoisme politik dan otokrasi yang menjauhkan jarak pemimpin dengan rakyatnya.

Namun, kemakmuran yang semu dan tidak merata ini cukup membuat pemimpin nasional lupa diri dengan mendengungkan kebanggaan nasional, seakan Indonesia Raya sudah tercapai.

Sering kita dengar bagaimana pemimpin nasional sesumbar kalau Indonesia sekarang dikenal sebagai negara demokratis ketiga dunia, demokrasi terbesar di negara mayoritas penduduk muslim, negara terbesar dan terpenting di Asia Tenggara, dan anggota klub elite ekonomi Kelompok 20 (G-20) karena ekonomi kita yang sekarang sudah mencapai 16-besar. Dengan penuh keyakinan, mereka juga mengatakan ekonomi Indonesia akan masuk 10 besar tahun 2025.

Kebanggaan yang proporsional dengan keberhasilan memang boleh. Namun, apa yang kita lihat atau dengar dari pemimpin sekarang sudah terbuai dengan keberhasilannya yang terbatas sehingga menjadi kesombongan bangsa hingga lupa diri.

Rendah Hati

Kerendahan hati dan kerendahan diri bukan saja merupakan sifat yang diperlukan pemimpin bangsa Indonesia saat ini. Hampir semua agama, termasuk Islam dan Kristen, menganjurkan sifat kerendahan hati bagi semua umatnya.

Dalam ajaran Islam dikatakan “Allah akan mengangkat derajat mereka yang memiliki tawadhu (kerendahan hati) dan akan membenamkan mereka yang bersifat sombong”.

Kerendahan hati memang sifat yang sulit ditumbuhkembangkan karena kebanyakan dari kita lebih mudah termakan kesombongan. Jokowi, dengan kerendahan hatinya, menawarkan gaya kepemimpinan yang lebih sesuai karakter bangsa kita dan yang diajarkan semua agama.

Tidak ada resep khusus dalam gaya kepemimpinannya karena kerendahan hati dan kerendahan diri memang sudah melekat dengannya, sesuatu yang ia kembangkan sejak lahir sampai sekarang.

Melihat gaya kampanyenya ketika memenangi Pilgub Jakarta 2012, ia tidak akan banyak mengumbarkan janji ataupun visi (selain visi Indonesia Raya). Kekuatan utama kepemimpinan Jokowi adalah sikap rendah diri dan rendah hatinya untuk selalu bersama rakyat membawa bangsa ini ke masa kejayaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar