Kerendahan
Hati Jokowi
Eko
Sulistyo ; Mantan Ketua
KPU Surakarta (2003-2008), Konsultan Politik
|
SINAR
HARAPAN, 21 Mei 2014
Kerendahan
hati adalah salah satu sifat kepemimpinan yang sudah terbukti membawa banyak
perusahaan mencapai kejayaannya. Dalam buku Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t
(2001), penulis Jim C Collins menemukan rahasia kenapa 11 dari 1.435
perusahaan global yang disurvei dapat beranjak dari sekadar “baik” menjadi
“hebat”.
Jawabannya
adalah leadership 5, level paling tinggi dalam teori kepemimpinan Collins
yang menggabungkan kerendahan hati yang dalam dengan kemauan yang sangat keras.
Kerendahan
hati dan motivasi yang tinggi merupakan gaya khas kepemimpinan Joko Widodo
(Jokowi), calon presiden (capres) yang diusung PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Sejak
menjadi wali kota Surakarta dan gubernur DKI Jakarta, ia dikenal sangat merakyat,
bukan saja melalui blusukan-nya, melainkan juga dalam pendekatan, pemikiran,
dan cara menyelesaikan masalah rakyatnya. Rendah hati dan rendah diri yang
menjadi pembawaan hidupnya menjadi kunci gaya kepemimpinnya yang efektif
selama ini.
Menggunakan
analogi buku Good to Great, dengan
konsep kepemimpinan level 5, Jokowi adalah pemimpin nasional yang paling
mungkin membawa perubahan bagi bangsa kita.
Indonesia Raya
Setelah
merdeka hampir tujuh dekade, sudah saatnya kita mewujudkan apa yang menjadi
cita-cita pendiri bangsa; Indonesia yang demokratis, maju, adil, dan makmur.
Namun, segala usaha mencapai Indonesia Raya selama ini gagal karena
pemimpinnya terperangkap dengan kesombongan dan kerakusannya.
Jelas
kunci keberhasilan bangsa ini ada pada pemimpin. Indonesia harus dipimpin
orang yang mencapai leadership 5, pemimpin yang mampu menggabungkan sikap
kerendahan hati dan kemauan kerja keras untuk memperbaiki negeri ini.
Mantan
Presiden Megawati Soekarnoputri, ketika menutup acara talk show “Mata Najwa” di Metro TV, Januari, menyatakan,
“Indonesia Raya,” ketika ditanya mengenai keinginannya saat ini. Dua bulan
kemudian, Megawati mengumumkan Jokowi sebagai capres PDIP untuk Pemilihan
Presiden 9 Juli 2014.
Dengan
segala kekurangannya, termasuk jejak rekam yang oleh lawan-lawan politiknya
dianggap masih kurang untuk menjadi pemimpin nasional, Jokowi dilihat
masyarakat sebagai sosok pemimpin yang paling memungkinkan membawa perubahan
Indonesia.
Hampir
semua survei dan jajak pendapat menunjukkan Jokowi sebagai capres yang paling
diunggulkan. Pembawaannya yang rendah hati dan rendah diri memberikan harapan
yang sangat tinggi kepada masyarakat pemilih.
Indonesia
memiliki hampir semua unsur yang diperlukan untuk menjadi sebuah bangsa yang
besar. Dengan jumlah penduduk yang besar dan cukup terlatih dan terampil
serta kekayaan alam yang berlimpah, seharusnya Indonesia berada satu tingkat
dengan negara maju di dunia.
Sejumlah
negara Asia, di antaranya Jepang dan Korea Selatan, yang miskin sumber daya
alam, berhasil bergabung dengan kelompok negara besar.
Sejarah
Indonesia menunjukkan ada saat-saat di mana bangsa kita seharusnya dapat
mencapai cita-cita Indonesia Raya, hanya untuk kemudian digagalkan perilaku
sikap cepat puas, lupa diri, dan kesombongan pemimpin. Kondisi ini
menumbuhkan budaya rakus sehingga korupsi merajalela.
Di bawah
kepemimpinan Soeharto, kekayaan alam kita, terutama sumber daya minyak bumi
dan gas bumi, hampir habis dikuras untuk memperkaya segelintir anggota
masyarakat. Sementara itu, sebagian besar rakyat jelata hanya menunggu
tetesan kekayaan yang mereka raup.
Pemimpin
nasional lupa diri karena kekayaan pribadi mereka yang berlimpah. Namun,
sifat rakus dan korupsi ini akhirnya membawa kebangkrutan ekonomi nasional
tahun 1998. Bangsa kita dipaksa mengemis kepada Dana Moneter Internasional
(IMF).
Belum
genap satu generasi pergantian kepemimpinan, sejarah mengulang kesalahan
bangsa ini. Kemajuan ekonomi yang telah kita capai, yang dasar-dasarnya
diletakkan di tahun-tahun awal era Reformasi, telah menimbulkan kembali
budaya rakus dan korupsi. Hal tersebut cenderung makin meluas belakangan ini
yang mengancam kesinambungan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi rakyat.
Terdapat
sejumlah studi yang menunjukkan semakin lebarnya jurang kesenjangan ekonomi
berdasarkan koefisien Gini. Pihak yang kaya semakin kaya.
Walaupun
sebagian yang miskin menjadi lebih baik, ada bagian masyarakat yang semakin
miskin dan semakin tertinggal karena tidak mendapat kesempatan menjadi bagian
dari pertumbuhan ekonomi.
Di bawah
kepemimpinan nasional yang telah berganti yang terpilih melalui pemilihan
yang demokratis sejak Reformasi (1998), Indonesia tetap menjadi Indonesia,
belum beranjak menjadi Indonesia Raya. Masyarakat kembali dipicu untuk
berusaha memperkaya diri tanpa memikirkan nasib orang lain, dan segala cara
dihalalkan selama tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara
itu, para elite politik sibuk sendiri dan terjebak pada egoisme politik dan
otokrasi yang menjauhkan jarak pemimpin dengan rakyatnya.
Namun,
kemakmuran yang semu dan tidak merata ini cukup membuat pemimpin nasional
lupa diri dengan mendengungkan kebanggaan nasional, seakan Indonesia Raya
sudah tercapai.
Sering
kita dengar bagaimana pemimpin nasional sesumbar kalau Indonesia sekarang
dikenal sebagai negara demokratis ketiga dunia, demokrasi terbesar di negara
mayoritas penduduk muslim, negara terbesar dan terpenting di Asia Tenggara,
dan anggota klub elite ekonomi Kelompok 20 (G-20) karena ekonomi kita yang
sekarang sudah mencapai 16-besar. Dengan penuh keyakinan, mereka juga
mengatakan ekonomi Indonesia akan masuk 10 besar tahun 2025.
Kebanggaan
yang proporsional dengan keberhasilan memang boleh. Namun, apa yang kita
lihat atau dengar dari pemimpin sekarang sudah terbuai dengan keberhasilannya
yang terbatas sehingga menjadi kesombongan bangsa hingga lupa diri.
Rendah Hati
Kerendahan
hati dan kerendahan diri bukan saja merupakan sifat yang diperlukan pemimpin
bangsa Indonesia saat ini. Hampir semua agama, termasuk Islam dan Kristen,
menganjurkan sifat kerendahan hati bagi semua umatnya.
Dalam
ajaran Islam dikatakan “Allah akan
mengangkat derajat mereka yang memiliki tawadhu (kerendahan hati) dan akan
membenamkan mereka yang bersifat sombong”.
Kerendahan
hati memang sifat yang sulit ditumbuhkembangkan karena kebanyakan dari kita
lebih mudah termakan kesombongan. Jokowi, dengan kerendahan hatinya,
menawarkan gaya kepemimpinan yang lebih sesuai karakter bangsa kita dan yang
diajarkan semua agama.
Tidak
ada resep khusus dalam gaya kepemimpinannya karena kerendahan hati dan
kerendahan diri memang sudah melekat dengannya, sesuatu yang ia kembangkan
sejak lahir sampai sekarang.
Melihat
gaya kampanyenya ketika memenangi Pilgub Jakarta 2012, ia tidak akan banyak
mengumbarkan janji ataupun visi (selain visi Indonesia Raya). Kekuatan utama kepemimpinan Jokowi adalah sikap
rendah diri dan rendah hatinya untuk selalu bersama rakyat membawa bangsa ini
ke masa kejayaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar