Kamis, 22 Mei 2014

Ketahanan Pangan Semu

Ketahanan Pangan Semu

Ali Khomsan ;  Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB
MEDIA INDONESIA,  21 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
MASYARAKAT perlu mengantisipasi harga-harga pangan yang akan segera naik menjelang Ramadan. Ketahanan pangan yang kukuh seharusnya bisa mengerem laju kenaikan harga. Sebaliknya, ketahanan pangan semu hanya memunculkan ketidakpastian harga.

Bangsa ini menyadari bahwa komoditas pangan mulai beras, kedelai, daging, hingga susu masih jauh dari mencukupi sehingga kita harus impor. Indonesia masuk perangkap pangan merupakan istilah untuk menyatakan besarnya ketergantungan pangan kita pada negara lain. Ketahanan pangan dapat menjadi isu politik yang seksi bagi calon-calon presiden. Pemimpin yang hirau dengan persoalan pangan akan mempunyai nilai tambah positif.

Ketahanan pangan semu diindikasikan fluktuatifnya kondisi ketersediaan pangan nasional dan akses pangan masyarakat yang rapuh akibat gejolak harga. Setiap tahun Indonesia menghadapi ancaman ketahanan pangan akibat iklim (kemarau, hujan, dan banjir). Di sisi lain, produsen pangan yaitu petani, peternak, dan nelayan belum sepenuhnya beruntung dan mampu meraih hidup sejahtera dengan komoditas pangan yang mereka produksi. Datangnya pangan impor membuat para petani semakin tidak berdaya karena kalah dalam persaingan.

Pangan merupakan hajat hidup orang banyak. Kebutuhan pokok yang paling utama dan harus dipenuhi setiap orang adalah pangan, sebagaimana Teori Maslow yang menempatkan kebutuhan fisiologis (termasuk pangan) sebagai peringkat pertama kebutuhan manusia.

Beras sebagai pangan pokok selama ini tidak tergantikan oleh pangan sumber kar bohidrat lain. Diversifikasi pangan ibarat program yang hanya jalan di tempat tanpa ada kemajuan. Strategi diversifikasi pangan yang paling ampuh ialah tingkatkan kesejahteraan rakyat, maka mereka otomatis akan mengurangi konsumsi beras dan menggantikannya dengan pangan lain. Pada kelompok masyarakat yang telah sejahtera, konsumsi lauk pauk dan buah umumnya juga meningkat dan hal itu dapat mengurangi tekanan pada beras.

Marilah kita belajar dari Jepang yang tidak pernah mengalami kerisauan pangan. Padahal, lahan pertanian di Jepang berkurang 20% selama 45 tahun. Selain itu, pemanfaatannya menurun secara signifikan. Kita tidak pernah melihat orang Jepang antre beras dalam operasi pasar. Jepang merupakan negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa. Kesembadaan pangan mereka hanya sekitar 40% berdasarkan basis kalori dan untuk biji-bijian sekitar 28%. Kesembadaan biji-bijian itu jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Indonesia (85%), India (91%), dan Bangladesh (97%).

Sebagai negara yang semakin makmur, Jepang mengalami perubahan pola pangan yang menggeser panganpangan sumber kalori. Semula beras memberikan kontribusi 1090 kalori, tetapi kini kontribusi beras hanya 600 kalori. Turunnya kontribusi kalori beras digantikan pangan-pangan lain seperti produk-produk perikanan. Itu menunjukkan bahwa peran beras sebagai pangan pokok sebenarnya tidak tergantikan, tetapi orang Jepang makan beras semakin sedikit dan pangan lainnya dikonsumsi lebih banyak sehingga kecukupan kalori secara keseluruhan tetap terpenuhi.

Ragam jenis konsumsi pangan bangsa Indonesia belum seperti orang Jepang. Kita masih terlalu banyak makan nasi. Sumber karbo hidrat lain yang mungkin meningkat konsumsinya ialah terigu dengan produk olahan andalannya, mi instan. Namun, peningkatan konsumsi terigu jelas akan menguras devisa karena Indonesia tidak menghasilkan terigu.

Untuk membangun sistem ketahanan pangan yang kuat, negara kita perlu memperhatikan ketenagakerjaan sektor pertanian, alokasi lahan untuk tanaman pangan, dan penguasaan lahan oleh petani. Selain itu, pembangunan infrastruktur pertanian perlu mendapat perhatian karena hal itu dapat menjamin kelan caran distribusi produk pertanian beserta input produksinya.

Perbaikan infrastruktur harus dilakukan terus-menerus sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk pertanian dan mempermudah akses pangan penduduk. Sungguh ironis, jalan pantura seolah hanya mengalami perbaikan menjelang Lebaran. Ada anekdot bahwa proyek besar umat manusia ialah membangun Tembok China, Piramida Mesir, Candi Borobudur, dan memperbaiki jalur pantura sepanjang masa.

Kelancaran transportasi sangat bergantung pada tersedianya sarana jalan. Negara maju sudah sangat memperhatikan sarana jalan itu mengingat perannya yang vital untuk berbagai keperluan. Negara kita tampak seperti negara yang sudah tua dan rapuh kalau melihat sarana jalan yang tersedia. Jalan rusak dibiarkan saja sehingga memper lama waktu tempuh perjalanan produk pertanian. Bagaimana de ngan infrastruktur lainnya seperti saluran irigasi? Masih banyak saluran irigasi yang dibangun pada zaman Belanda. Betapa malang nasib petani Indonesia.

Survei statistik pertanian perlu dilakukan untuk memahami aktivitas ekonomi petani. Manajemen pertanian dicermati dengan sungguh-sungguh, pergerakan harga komoditas pertanian harus senantiasa dipantau dengan melakukan survei pasar, dan dilakukan analisis terhadap sistem usaha tani yang dijalankan.

Khusus untuk padi, pemerintah perlu mendata produksi secara kontinu setiap kali panen atau panen raya. Hal itu dapat menunjukkan betapa seriusnya kita memonitor tingkat kesembadaan beras yang merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Monitoring ketahanan pangan jelas memerlukan data yang valid. Di Indonesia, segala macam data tersedia, yang tidak tersedia adalah data yang benar. Itu tentu hanya anekdot, tetapi mencerminkan betapa sinisnya sebagian kita menyikapi kurang akuratnya data untuk memprediksi hal-hal penting.

Persoalan ketahanan pangan yang dihadapi bangsa Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Seringkali berbagai ide dan pemikiran untuk mewujudkan ketahanan pangan baru muncul ketika kita menghadapi masalah. Namun, tindak lanjutnya tidak optimal. Harapan petani untuk hidup sejahtera masih hanya sekadar mimpi. Quo vadis ketahanan pangan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar