Ketahanan
Pangan Semu
Ali Khomsan ; Guru
Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Mei 2014
MASYARAKAT perlu mengantisipasi
harga-harga pangan yang akan segera naik menjelang Ramadan. Ketahanan pangan
yang kukuh seharusnya bisa mengerem laju kenaikan harga. Sebaliknya,
ketahanan pangan semu hanya memunculkan ketidakpastian harga.
Bangsa ini menyadari bahwa
komoditas pangan mulai beras, kedelai, daging, hingga susu masih jauh dari
mencukupi sehingga kita harus impor. Indonesia masuk perangkap pangan
merupakan istilah untuk menyatakan besarnya ketergantungan pangan kita pada
negara lain. Ketahanan pangan dapat menjadi isu politik yang seksi bagi
calon-calon presiden. Pemimpin yang hirau dengan persoalan pangan akan
mempunyai nilai tambah positif.
Ketahanan pangan semu
diindikasikan fluktuatifnya kondisi ketersediaan pangan nasional dan akses
pangan masyarakat yang rapuh akibat gejolak harga. Setiap tahun Indonesia
menghadapi ancaman ketahanan pangan akibat iklim (kemarau, hujan, dan
banjir). Di sisi lain, produsen pangan yaitu petani, peternak, dan nelayan
belum sepenuhnya beruntung dan mampu meraih hidup sejahtera dengan komoditas
pangan yang mereka produksi. Datangnya pangan impor membuat para petani
semakin tidak berdaya karena kalah dalam persaingan.
Pangan merupakan hajat hidup
orang banyak. Kebutuhan pokok yang paling utama dan harus dipenuhi setiap
orang adalah pangan, sebagaimana Teori Maslow yang menempatkan kebutuhan
fisiologis (termasuk pangan) sebagai peringkat pertama kebutuhan manusia.
Beras sebagai pangan pokok
selama ini tidak tergantikan oleh pangan sumber kar bohidrat lain.
Diversifikasi pangan ibarat program yang hanya jalan di tempat tanpa ada
kemajuan. Strategi diversifikasi pangan yang paling ampuh ialah tingkatkan
kesejahteraan rakyat, maka mereka otomatis akan mengurangi konsumsi beras dan
menggantikannya dengan pangan lain. Pada kelompok masyarakat yang telah
sejahtera, konsumsi lauk pauk dan buah umumnya juga meningkat dan hal itu
dapat mengurangi tekanan pada beras.
Marilah kita belajar dari Jepang
yang tidak pernah mengalami kerisauan pangan. Padahal, lahan pertanian di
Jepang berkurang 20% selama 45 tahun. Selain itu, pemanfaatannya menurun
secara signifikan. Kita tidak pernah melihat orang Jepang antre beras dalam
operasi pasar. Jepang merupakan negara dengan penduduk lebih dari 100 juta
jiwa. Kesembadaan pangan mereka hanya sekitar 40% berdasarkan basis kalori
dan untuk biji-bijian sekitar 28%. Kesembadaan biji-bijian itu jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan Indonesia (85%), India (91%), dan Bangladesh
(97%).
Sebagai negara yang semakin
makmur, Jepang mengalami perubahan pola pangan yang menggeser panganpangan
sumber kalori. Semula beras memberikan kontribusi 1090 kalori, tetapi kini
kontribusi beras hanya 600 kalori. Turunnya kontribusi kalori beras
digantikan pangan-pangan lain seperti produk-produk perikanan. Itu
menunjukkan bahwa peran beras sebagai pangan pokok sebenarnya tidak
tergantikan, tetapi orang Jepang makan beras semakin sedikit dan pangan
lainnya dikonsumsi lebih banyak sehingga kecukupan kalori secara keseluruhan
tetap terpenuhi.
Ragam jenis konsumsi pangan
bangsa Indonesia belum seperti orang Jepang. Kita masih terlalu banyak makan
nasi. Sumber karbo hidrat lain yang mungkin meningkat konsumsinya ialah
terigu dengan produk olahan andalannya, mi instan. Namun, peningkatan
konsumsi terigu jelas akan menguras devisa karena Indonesia tidak
menghasilkan terigu.
Untuk membangun sistem ketahanan
pangan yang kuat, negara kita perlu memperhatikan ketenagakerjaan sektor
pertanian, alokasi lahan untuk tanaman pangan, dan penguasaan lahan oleh
petani. Selain itu, pembangunan infrastruktur pertanian perlu mendapat
perhatian karena hal itu dapat menjamin kelan caran distribusi produk
pertanian beserta input produksinya.
Perbaikan infrastruktur harus
dilakukan terus-menerus sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk
pertanian dan mempermudah akses pangan penduduk. Sungguh ironis, jalan
pantura seolah hanya mengalami perbaikan menjelang Lebaran. Ada anekdot bahwa
proyek besar umat manusia ialah membangun Tembok China, Piramida Mesir, Candi
Borobudur, dan memperbaiki jalur pantura sepanjang masa.
Kelancaran transportasi sangat
bergantung pada tersedianya sarana jalan. Negara maju sudah sangat
memperhatikan sarana jalan itu mengingat perannya yang vital untuk berbagai
keperluan. Negara kita tampak seperti negara yang sudah tua dan rapuh kalau
melihat sarana jalan yang tersedia. Jalan rusak dibiarkan saja sehingga
memper lama waktu tempuh perjalanan produk pertanian. Bagaimana de ngan
infrastruktur lainnya seperti saluran irigasi? Masih banyak saluran irigasi
yang dibangun pada zaman Belanda. Betapa malang nasib petani Indonesia.
Survei statistik pertanian perlu
dilakukan untuk memahami aktivitas ekonomi petani. Manajemen pertanian
dicermati dengan sungguh-sungguh, pergerakan harga komoditas pertanian harus
senantiasa dipantau dengan melakukan survei pasar, dan dilakukan analisis terhadap
sistem usaha tani yang dijalankan.
Khusus untuk padi, pemerintah perlu
mendata produksi secara kontinu setiap kali panen atau panen raya. Hal itu
dapat menunjukkan betapa seriusnya kita memonitor tingkat kesembadaan beras
yang merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Monitoring ketahanan pangan
jelas memerlukan data yang valid. Di Indonesia, segala macam data tersedia,
yang tidak tersedia adalah data yang benar. Itu tentu hanya anekdot, tetapi
mencerminkan betapa sinisnya sebagian kita menyikapi kurang akuratnya data
untuk memprediksi hal-hal penting.
Persoalan ketahanan pangan yang dihadapi bangsa
Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Seringkali berbagai ide dan
pemikiran untuk mewujudkan ketahanan pangan baru muncul ketika kita
menghadapi masalah. Namun, tindak lanjutnya tidak optimal. Harapan petani
untuk hidup sejahtera masih hanya sekadar mimpi. Quo vadis ketahanan pangan kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar