Menyoal
Penerimaan Pajak
Anies
Said Basalamah ; Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi
|
TEMPO.CO,
23 Mei 2014
Editorial
Koran Tempo edisi Rabu, 18 Desember 2013, mempersoalkan rendahnya rasio pajak
di Indonesia. Yang menarik, Tempo "menyalahkan" Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
rendahnya rasio pajak tersebut. Tempo mengingatkan kita akan janji kampanye
SBY pada Pemilihan Umum 2004, ketika SBY berjanji meningkatkan rasio pajak
dari sekitar 12 persen menjadi 19 persen. Akan tetapi, hingga "Dua
periode memerintah, janji ini tak bisa dipenuhi," demikian ditulis
Tempo.
Koran
Tempo menyadarkan kita bahwa penerimaan (dan juga pengeluaran) dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah tanggung jawab Presiden. Dan
setiap tahun APBN selalu ditetapkan dalam bentuk undang-undang. Sayangnya,
hingga saat ini belum pernah ada "politisasi" sampai pada level
presiden jika penerimaan tidak mencapai target. Semua berhenti pada level
Dirjen Pajak dan atau Menteri Keuangan. "Keadaan
ini semakin diperburuk oleh terbatasnya jumlah petugas pajak, sehingga
potensi pajak itu tidak terurus. Di pusat grosir Pasar Tanah Abang, Jakarta,
misalnya, hanya ada dua petugas penagih pajak. Padahal di sana terdapat lebih
dari 10 ribu pedagang," Koran Tempo menyatakan.
Mengapa
kita, dan juga Koran Tempo, tidak lalu "menyalahkan" Presiden,
padahal Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(PAN-RB), yang bertanggung jawab atas formasi dan perekrutan pegawai negeri,
adalah juga anak buah Presiden yang semestinya dapat menyediakan jumlah
pegawai negeri bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebanyak yang mereka
inginkan agar penerimaan pajak meningkat dan, sebagai konsekuensi logisnya,
rasio pajak juga akan meningkat?
Pada 12
Desember 2013, Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia
mengundang penulis sebagai salah seorang pembicara dalam diskusi "Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Administrasi Perpajakan di Indonesia". Dalam diskusi tersebut, penulis
mengutip data Koran Tempo edisi 5 Desember 2013 dan memprediksi kebutuhan pegawai DJP pada 2014 bisa mencapai
penerimaan pajak sebesar Rp 1.110,2 triliun. Akan tetapi, salah seorang
pembicara yang berasal dari Kementerian PAN-RB menyatakan bahwa
"jatah" untuk DJP "hanya" sebanyak 5.000 pegawai baru.
Data
Koran Tempo tersebut menunjukkan bahwa, kecuali 2013 yang memang baru sampai
periode November 2013, penerimaan pajak selalu naik. Demikian pula jumlah
pegawai, yang sejak 2005 selalu meningkat, kecuali sejak 2012, yang selalu
menurun. Penghitungan secara statistik menunjukkan ada korelasi positif
(antara jumlah pegawai pajak dan perolehan pajak) sebesar 0,9191. Secara
sederhana, data tersebut berarti bahwa setiap kenaikan pegawai dapat
dipastikan akan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Dengan target penerimaan
pajak pada 2014 sebesar Rp 1.110,2 triliun (Kompas, 11 Desember 2013, hlm.
24), maka menurut regresi, diperlukan pegawai sebanyak 40.946 orang. Jika
hanya ditambah 5.000 pegawai, dan dikurangi yang berhenti karena pensiun atau
alasan lain, jumlah pegawai DJP pada 2014 sebanyak 36 ribu. Maka jangan heran
jika secara statistik penerimaan pajak hanya akan mencapai Rp 964,2606
triliun. Dengan penerimaan sebesar itu dan produk domestik bruto yang setiap
tahun juga meningkat, rasio pajak sudah dapat dipastikan akan menurun, bukan
meningkat menjadi 19 persen seperti target saat SBY dalam kampanye pada 2004.
Dalam
diskusi tersebut, penulis menyarankan agar DJP tidak menaruh harapan kepada
Kementerian PAN-RB, melainkan mengubah strategi. Dalam teori organisasi,
dikenal dua pendekatan, yaitu structure
follows strategy dan strategy
follows structure. Karena strukturnya tetap (kesulitan mendapatkan
pegawai dan mengubah kantor karena harus mendapatkan izin dari Kementerian
PAN-RB), maka strateginya harus diubah. Untuk mencapai target penerimaan
pajak yang sudah ditetapkan dalam APBN 2014 sebesar Rp 1.110,2 triliun, maka
kolaborasi semua kantor pelayanan pajak di seluruh Indonesia harus dilakukan.
Saat ini satu wajib pajak belum tentu diurusi oleh kantor pelayanan pajak
yang terdekat dengan lokasi alamatnya, bila yang bersangkutan termasuk
pembayar pajak besar. Dengan kolaborasi ini, potensi pajak dapat digali lebih
dalam, sehingga program ekstensifikasi dan intensifikasi pajak akan lebih
efektif.
Strategi
lain adalah "mengalihkan" kelebihan pegawai di Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, yang semula diusulkan untuk dipensiun dini tapi tidak
diizinkan Kementerian PAN-RB. Jumlahnya 8.000-9.000. Angka ini ditambah
dengan 5.000 pegawai baru dikurangi yang berhenti, akan menghasilkan angka
yang mendekati 41 ribu seperti perhitungan statistik yang penulis lakukan di
atas. Dengan melatih mereka sesuai dengan kebutuhan DJP, para pegawai ini
dapat meningkatkan penerimaan pajak, yang secara otomatis akan dapat
meningkatkan rasio pajak. Jika hal ini terjadi, SBY dapat khusnul khotimah,
mengakhiri masa pemerintahannya dengan menaikkan rasio pajak, meski belum
mencapai 19 persen, tetapi pasti di atas 12 persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar