Quo
Vadis Sengketa Pilkada?
Pan
Mohamad Faiz ; Kandidat
Doktor Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Center for Public, International
and Comparative Law (CPICL) di School of Law, University of Queensland,
Australia; Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia
|
KORAN
SINDO, 22 Mei 2014
Salah
satu putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang diputuskan Senin
(19/5) lalu tampaknya kurang memperoleh perhatian luas. Konsentrasi publik
masih terserap pada proses pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.
Padahal, Putusan MK tersebut sangat terkait erat dengan proses pemilihan
kepala daerah di seluruh Indonesia. Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK
menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada)
oleh MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili
sengketa pilkada. Putusan ini tidak diambil secara bulat.
Tiga
hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap pendapat keenam hakim lainnya.
Salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili
sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada
di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum,
dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada (hlm. 62).
Putusan
kondisional seperti ini memang belum lazim digunakan dalam sistem pengujian
konstitusional di Indonesia. Namun dalam praktiknya sering digunakan oleh MK
Korea dengan merujuk pada jenis putusan MK Jerman yang dikenal dengan istilah
unvereinbar (West and Yoon, 1992).
Inkonsistensi Penafsiran
Polemik
pemindahan kewenangan MK dalam mengadili sengketa pilkada yang muncul
belakangan ini sebenarnya lebih banyak berada pada tataran praktis. Namun,
dalam putusannya, MK memang membatasi pertimbangannya pada alasan-alasan
konstitusional semata. Tak ada satu pun argumentasi teknis yang diambil
sebagai pendapat MK dalam “mengamputasi” kewenangannya sendiri.
Namun
dalam perspektif konstitusi, masih tersisa ruang perdebatan terhadap putusan
tersebut, khususnya ketika terjadi perbedaan penafsiran dalam isu
konstitusional sejenis yang pernah diputus sebelumnya. Pada Putusan Nomor
072- 073/PUU-II/2004 bertanggal 22 Maret 2005, mayoritas hakim konstitusi
secara tidak langsung telah menafsirkan bahwa penentuan pilkada sebagai
bagian dari pemilihan umum merupakan kebijakan terbuka bagi pembuat
undangundang (opened legal policy).
Oleh
karena itu, MK dapat berwenang untuk mengadili sengketa pilkada berdasarkan
pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPR. Bahkan, tiga hakim
konstitusi yang ikut memutus perkara tersebut secara terang-terangan dalam
putusannya menyatakan secara tegas bahwa pilkada merupakan bagian dari rezim
pemilu yang sengketanya dapat ditangani oleh MK. Pertanyaannya, dapatkah MK
membuat putusan yang berbeda penafsiran dengan perkara sejenis yang pernah
diputus sebelumnya?
Donald
Kommers dalam tulisannya, “German
Constitutionalism: A Prolegomenon” (1991), berpendapat bahwa putusan MK
selain final juga memang mengikat bagi seluruh organ negara dan pejabat
publik, namun tidak mengikat MK itu sendiri secara absolut. Keterikatan
absolut MK terhadap penafsirannya sendiri memang berpotensi untuk menghalangi
terciptanya konstitusi yang hidup (the
living constitution). Sama halnya dengan Mahkamah Agung Amerika Serikat
yang beberapa kali pernah menyimpangi putusannya yang terdahulu.
Namun
demikian, ketidakterikatan ini tetap memerlukan kerangka yang jelas agar
tidak terjadi gelombang penafsiran yang berbeda-beda setiap terjadinya
pergantian generasi hakim konstitusi. Dalam disertasinya berjudul “The Desirability of Consistency in
Constitutional Interpretation” (2011), Sithembiso Dzingwa menyimpulkan
bahwa penafsiran konstitusi hanya dapat berubah tatkala dalam putusan
sebelumnya telah nyata-nyata terbukti salah. Adanya perbedaan penafsiran
konstitusi yang berubah-ubah dalam jangka waktu yang relatif singkat tentu
dapat menciptakan ketidakpastian dalam sistem ketatanegaraan dan pemenuhan
atas jaminan hak dasar.
Mengutip
pandangan mantan Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar (2005), “MK seyogianya memberikan pencerahan dalam membangun sistem
ketatanegaraan dan sistem demokrasi Indonesia yang berkelanjutan (sustainable
democracy), bukan demokrasi yang patah-patah, ‘mulur mungkret’, seperti
gelang karet”.
Masa Depan Sengketa Pilkada
Terkait
kewenangan menangani pilkada, pemerintah sebenarnya telah mengajukan
Rancangan Undang-Undang Pilkada kepada DPR dengan usulan penyelesaian
sengketa pemilihan gubernur kepada Mahkamah Agung (MA) dan sengketa pemilihan
bupati/wali kota kepada Pengadilan Tinggi (Djohan, 2014). Artinya, mekanisme legislative review sebagai konsekuensi dari opened legal policy berdasarkan putusan MK yang terdahulu, telah
dan sedang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Oleh
sebab itu, MK dapat saja menunggu hasil dari legislative review tersebut, tanpa perlu mengeluarkan putusan
yang hanya berdampak pada akselerasi pembahasannya. Namun, kini putusan telah
diketuk dan tinggal dijalankan. Karena implementasi putusannya tidak diberi
batas waktu tertentu, peralihan kewenangan tersebut pun tetap saja masih
harus menunggu selesainya undang-undang yang baru. Satu hal yang perlu
digarisbawahi, mengembalikan kewenangan mengadili sengketa pilkada ke MA dan
pengadilan tinggi bukanlah satu-satunya jalan alternatif.
Apalagi
di dalam putusan MK, pemerintah mengakui bahwa putusan sengketa pilkada yang
dihasilkan oleh pengadilan umum di banyak daerah telah mengakibatkan polemik
dan kontroversi, misalnya di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Depok (vide
hal 44). Belum lagi ditambah tingginya potensi terjadinya konflik horizontal
antarpendukung kandidat kepala daerah manakala sengketa pilkada harus
diselesaikan di wilayahnya masing-masing. Alternatif lain untuk penyelesaian
sengketa pilkada, yaitu dengan membentuk pengadilan khusus pemilu yang
terpisah.
Konsentrasi
penanganan sengketa pilkada diharapkan akan menghasilkan putusan dengan
standar pertimbangan dan kualitas yang sama. Namun demikian, tetap tidak
mudah untuk membangun suatu lembaga baru, baik dari pemenuhan sumber daya
manusia, keuangan, manajemen, hingga keperluan bangunan fisiknya. Oleh karena
itu, ada juga yang pernah mengusulkan agar cukup dibentuk kamar khusus untuk
menangani sengketa pilkada yang tetap berada di bawah Mahkamah Agung.
Berangkat
dari pengalaman selama ini, penyelesaian sengketa pilkada telah menjadi
tahapan yang sangat krusial dalam menjalankan sistem demokrasi konstitusional
di Indonesia. Setidaknya, wadah yang tepat akan menjadi sarana resolusi
konflik dari pergulatan di jalanan menuju ke dalam ruang persidangan (Mietzner, 2010). Proses trial and error yang berkepanjangan
dan berlarut-larut justru akan menghambat terciptanya konsolidasi demokrasi
di Indonesia.
Oleh
karena itu, pemerintah dan DPR perlu secara cermat dan hati-hati dalam
memutuskan sistem penyelesaian sengketa pilkada yang baru. Termasuk membuka
ruang yang seluas-luasnya untuk menerima dan mempertimbangkan segala masukan
yang disampaikan oleh unsur civil
society, khususnya dari para penggiat pemilu dan demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar