PAUD
dan Kekerasan Seksual
Sri
Lestari Yuniarti ; Staf di Subdit Kelembagaan dan Kemitraan,
Direktorat Pembinaan PAUD, Ditjen PAUDNI Kemendikbud; Alumnus Master Program
in Educational Leadership, University of Wollongong, Australia
|
KORAN
SINDO, 22 Mei 2014
Menanggapi
tulisan Hanny Muchtar berjudul “Anak
dan Kekerasan Seksual”, di harian ini Sabtu, 17 Mei 2014, perlindungan
atas keamanan anak dari kekerasan seksual juga harus diberikan oleh sekolah.
Karena
sekolah, apalagi di tengah era makin banyaknya orang tua khususnya ibu
bekerja, menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Meski peran keluarga adalah
utama, sekolah— terutama lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD)—juga
berfungsi menanamkan dan membangun karakter mulia pada anak didik. Namun,
berita mengenai beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan
PAUD membuat kita miris.
Terkait
dengan kekerasan seksual, Kementerian Sosial, Jumat (16/5/2014) lalu, merilis
hasil survei tindakan terhadap anak-anak yang hasilnya mengejutkan. Dalam 12
bulan terakhir, 1,5 juta anak usia 13–17 tahun mengalami kekerasan seksual.
Dikatakan bahwa mayoritas tersebut dilakukan orang-orang terdekat. Sebagian
besar lokasi itu adalah sekolah dan rumah.
Lingkaran Setan Kekerasan Seksual
Ibarat
sebuah lingkaran, penyebabterjadinya kekerasanseksualsalingberkaitan.
Berasaldari rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat termasuk media massa
dan teknologi informasi. Pertama, kurangnya pembiasaan ajaran agama dan
nilainilai sosial dalam kehidupan sehari-hari anak, terutama yang terkait
dengan bagaimana menjaga dan mengontrol bagian tubuhnya yang pribadi.
Baik
oleh keluarga maupun institusi pendidikan. Penyampaian mengenai norma ini
sering berbentuk lisan, namun penerjemahannya dalam kebiasaan sehari- hari di
rumah maupun di sekolah masih kurang. Kedua, perilaku yang cenderung
mengabaikan potensi pelecehan seksual. Hal ini terjadi karena pembatasan atas
“kontak fisik yang tidak boleh” masih samar-samar. Ketiga, kurangnya filter
atas tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan
destruktif lainnya di media massa yang makin deras. Ditayangkan oleh media,
tanpa mempertimbangkan waktu yang pas.
Ditonton
oleh masyarakat (termasuk anak-anak), namun kurang filter pemahaman. Demikian
pula dengan penyalahgunaan atas perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK). Keempat, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak
bisa memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur
umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang
PerlindunganAnak, denganhukumanantara 3 sampai 10 tahun penjara.
Sementara
dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun
penjara. Padahal, kekerasan seksual pada anak efek traumatiknya panjang,
bahkan terapi pemulihannya bisa memakan waktu hingga 18 tahun lamanya. Belum
lagi dampak psikologis dan fisik yang luar biasa menggerogoti kepribadian
anak.
PAUD dan Pembangunan Karakter
Tujuan
mulia lembaga PAUD sebagai institusi pembangun karakter hendaknya tidak
berhenti sebagai jargon. Implementasi berupa pembiasaan karakter mulia dalam
pembelajaran sehari-hari menjadi keharusan. Demikian juga dengan penciptaan
atmosfer dan lingkungan belajar yang kondusif. Terkait hal ini, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 58 Tahun 2009 mengenai Standar
PAUD mengamanatkan agar lembaga PAUD memenuhi delapan standar.
Standar
tingkat pencapaian perkembangan anak, pendidik dan tenaga kependidikan,
standar isi, proses dan penilaian pembelajaran, sarana-prasarana, pengelolaan
dan pembiayaan pendidikan. Standar PAUD bertujuan agar lembaga PAUD terus
menerus berupaya memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan
kebutuhan tumbuh- kembang anak. Terkait dengan isu lembaga PAUD yang aman,
baik dari tindak kekerasan fisik, emosional, maupun seksual, telah juga
termaktub dalam Permendiknas tersebut.
Dimandatkan
agar tenaga pendidik (guru) PAUD secara pribadi memiliki rasa sayang, tulus,
sabar dan kepekaan dalam mendidik anak didiknya. Jika ada anak didik ataupun
kondisi yang potensial menjadi pemicu kekerasan seksual, guru mestinya
responsif dan melakukan langkah-langkah antisipatif atau korektif. Menanggapi
makin tingginya angka kekerasan di sekolah, saat ini satuan kerja yang
menangani PAUD di Kemendikbud yakni Direktorat Pembinaan PAUD, tengah
menggodok pedoman mengenai implementasi keamanan dan keselamatan di lembaga
PAUD.
Menjamurnya
lembaga PAUD saat ini menjadi tantangan terbesar Kemendikbud untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan. Upaya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan
secara rutin oleh pengawas PAUD dinilai masih kurang efektif. Sebagaimana
banyak dikeluhkan oleh lembaga-lembaga PAUD, pengawas masih banyak yang
berkutat pada pengelolaan administrasi. Meski hal tersebut juga penting,
pengawasan akademik seperti pembelajaran, sarana dan prasarana, serta
lingkungan PAUD yang kondusif (dan aman) mestinya simultan diawasi dan
dibina.
Hal ini
tidak lepas dari minimnya pengawas PAUD yang secara khusus bertugas membina
dan mengawasi lembaga PAUD. Mengapa? Karena masih banyak pengawas yang
bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD sekaligus juga sekolah dasar.
Padahal, lembaga PAUD dan SD jelas berbeda karakternya baik aspek manajerial
maupun akademik.
Demikian
juga dengan rasio pengawas dan lembaga PAUD masih jauh dari ideal. Idealnya,
menurut Permenpan dan RB Nomor 21 Tahun 2010 yang mengatur tugas dan fungsi
pengawas sekolah, satu pengawas bertugas di 10 lembaga PAUD. Namun faktanya,
satu pengawas bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD sekurangnya satu
kecamatan. Padahal, saat ini satu kecamatan ada yang memiliki 43 lembaga
PAUD.
Upaya Kreatif
Dibutuhkan
upaya-upaya kreatif di tengah besarnya tantangan ini. Pembinaan dan
pengawasan internal lembaga PAUD mutlak dilakukan lebih serius, sehingga hak
anak didik atas pendidikan yang berkualitas dan lingkungan yang aman
terpenuhi. Selain itu, pembinaan lembaga PAUD melalui forum gugus PAUD juga
harus dioptimalkan. Dalam gugus PAUD— forum sharing 3 hingga 8 lembaga PAUD
yang lokasinya berdekatan—lembaga PAUD bisa saling belajar meningkatkan
layanan dan program pendidikannya.
Orang
tua, baik secara individu maupun, melalui komite sekolah juga memainkan peran
yang strategis dalam pengawasan program PAUD. Sinergi peran ini penting
mengingat maju mundurnya lembaga PAUD tidak hanya bertumpu pada peran
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar