Koalisi
untuk Koperasi atau Konspirasi
Andre
Vincent Wenas ; Praktisi Manajemen & Kolumnis
|
KOMPAS,
21 Mei 2014
DUA pasangan calon presiden dan
calon wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa, akan berkompetisi dalam pemilihan presiden. Andre Vincent Wenas
menuliskan catatannya.
Kontestasi figur, itulah esensi
pemilihan presiden (pilpres). Maka, segala detail kehidupan (masa lalu,
kekiniannya, serta visi dan segala harapannya) bakal terus dipertanyakan dan
dikritisi.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla
serta Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa adalah dua pasang (empat figur) yang
seolah-olah sedang diletakkan di bawah mikroskop sosial (lokal ataupun global).
Terhadap keempat figur inilah segala penilaian diberikan berdasarkan data dan
informasi yang bisa diakses serta menerpa publik.
Lalu, apakah realitas keempat
figur ini adalah seperti opini yang terbentuk di pikiran masing-masing orang?
Atau realitas kedua pasangan adalah seperti opini publik?
Opini publik adalah istilah atau
konsep yang ”licin” untuk dipegang maknanya yang jelas. Lantaran opini
sendiri terbentuk dari serpihan-serpihan data dan informasi tentang sesuatu,
jadi bukan realitas keseluruhannya, dan istilah publik juga selalu menjadi
percekcokan tentang publik yang mana, publik di mana, siapa opinion leader-nya, dan seterusnya.
Jadi, yang tersisa dari proses
penelaahan keempat figur di tengah gelanggang kontestasi adalah berbagai
sudut pandang berdasar serpihan-serpihan data dan informasi yang bisa diakses
serta yang selama ini telah menerpa kita semua (publik). Mosaik yang berhasil
dikonstruksi atau direkonstruksi oleh masing-masing kita menjadi dasar untuk
nanti menentukan pilihan pada tanggal jatuh temponya.
JKW-JK dan PS-HR akhirnya
menjadi simbol yang secara semiotik sarat makna.
Maka, daya kritis yang
dilandasi pikiran terbuka serta hati yang jujur mesti menjadi modal untuk
partisipasi politik dalam republik (res
publica = urusan publik).
Ketidakpedulian atas urusan
publik akan menjadi tanggung jawab etis masing-masing kalau sampai
orang-orang yang pandai dan baik membiarkan birokrasi (mesin pemerintahan)
negara akhirnya diurus oleh para antagonis demokrasi, musuh kesejahteraan
rakyat, dan pelanggar hak asasi manusia.
Kepada dua pasang (empat figur)
kontestan yang bakal masuk gelanggang hendaknyalah bersiap diri. Bukan untuk
bertarung secara fisik, melainkan untuk kedua pasangan membiarkan dirinya
nanti dipilih oleh para pemegang saham republik. Jadi, ini adalah proses
pemilihan, bukan pertarungan gladiator di arena pasir.
Karena yang bakal memilih ada
begitu banyak orang, adagium yang berlaku adalah seperti yang pernah dibilang
oleh Abraham Lincoln: ”You can fool all
the people some of the time, and some of the people all the time, but you can
not fool all the people all the time.” Maka, karenanya, soal beban
sejarah yang belum tuntas dibereskan mesti segera diklarifikasi.
Semua kontestan yang kali ini
maju dalam pilpres adalah orang-orang yang pandai dan hebat. Mereka punya
leadership dan managerial skills
yang mumpuni. Sayang jika masih ada beban sejarah yang sebetulnya terbilang
kontemporer masih tertinggal terus menggelayuti pamor salah satu kontestan.
Para pelaku dan saksi sejarahnya
masih banyak yang hidup, segera minta secara terbuka untuk diproses secara
adil, supaya semuanya terang benderang. Tidak ada kegelapan sejarah karena
kegelapan merupakan tempat persembunyian para kriminal dan penjahat. Dengan
kejelasan, para pemilih pun akan merasa lega dan bisa menjatuhkan pilihannya
kepada yang terbaik di antara yang terbaik.
Saat ini proses kontestasi
pilpres mengalami bipolarisasi. Lantaran belum ada klarifikasi sejarah yang
adil dan bisa dipercaya publik, bipolarisasi ini seolah mengerucut kepada
yang satu adalah kumpulan konspirasi para kroni yang merepresentasi masa lalu
yang berat dan kelam dan yang satunya adalah representasi tawaran kooperasi
(kerja sama) untuk membangun masa depan yang penuh harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar