Poros
Islam?
Faisal Ismail ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 01 Mei 2014
Pemilu
legislatif 2014 sudah dilaksanakan pada 9 April 2014. Sejauh menyangkut
partai-partai Islam atau partai-partai berbasis massa Islam, perolehan suara
mereka jika digabung menjadi satu sangat memungkinkan untuk mengusung
capres-cawapres sendiri.
Sebuah
lembaga survei yang melakukan hitungan cepat (quick count) mengeluarkan data sementara perolehan suara
partai-partai Islam sebagai berikut: PKB meraih suara 9,10%, PAN 7,35%, PPP
7,08%, PKS 6,61%, dan BB 1,36%. Jika perolehan suara partai-partai Islam ini
digabung menjadi satu, jumlahnya mencapai 31,5%. Jumlah ini sudah melampaui
angka 20% dan sangat memenuhi syarat bagi sebuah partai (atau koalisidari
beberapa partai) untuk mengusung capres-cawapres dalam Pilpres 2014 yang akan
diselenggarakan pada 9 Juli 2014.
Berdasarkan
kalkulasi perolehan suara ini, muncullah dari kalangan politisi dan
tokoh-tokoh muslim agar partai-partai Islam berkoalisi dalam Poros Islam
untuk mengusung capres-cawapres sendiri tanpa berkoalisi dengan partai-partai
nasionalis. Pembentukan Poros Islam dibayangi oleh pesimisme dan sulit diwujudkan
jika dikaitkan dengan pengalaman politik Islam sepanjang sejarah perpolitikan
di Indonesia. Berikut ini beberapa indikasinya.
Dari Persatuan ke Perceraian
Politik
Tanggal
7 dan 8 November 1945 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Umat Islam
Indonesia. Selama dua hari itu, Kongres Umat Islam diselenggarakan di
Yogyakarta. Salah satu keputusannya adalah membentuk Partai Masyumi sebagai
satu-satunya wadah dan saluran tunggal politik Islam.
Partai
Masyumi berbentuk federatif yang keanggotaannya bisa bersifat individual atau
pun bersifat organisasional. Banyak tokoh dan politisi muslim yang masuk
Partai Masyumi. Organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
menjadi anggota Masyumi. Masyumi diproyeksikan, diidealisasikan, dan
dipersiapkan untuk mengakomodasi seluruh aspirasi politik Islam dalam
menghadapi Pemilu 1955.
Melalui
Partai Masyumi, seluruh aspirasi politik Islam bisa ditampung dan
dimaksimalkan sehingga Masyumi diharapkan dapat meraih suara yang signifikan,
bahkan menang, dalam Pemilu 1955. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi
adalah tragedi perpecahan dan perceraian politik dalam tubuh Masyumi. Hanya
dalam kurun waktu dua tahun, Syarikat Islam pada tahun 1947 menyatakan keluar
dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai tersendiri (Partai
Syarikat Islam Indonesia/ PSII).
Tujuh
tahun kemudian, tepatnya bulan April 1952, Nahdlatul Ulama juga menyatakan
keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai independen
(Partai NU). Hengkangnya Syarikat Islam dan Nahdlatul Ulama dari Masyumi
karena dipicu oleh ketidakakuran, perselisihan, dan perbedaan visi dan
teologi politik di tubuh internal Partai Masyumi.
Dalam
Pemilu 1955, partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, dan partai-partai
Islam kecil lainnya) berjalan sendiri-sendiri sesuai visi, teologi, dan
kepentingan politiknya masingmasing. Akibatnya, perolehan suara partai-partai
Islam dalam Pemilu 1955 tidak dominan dan tidak signifikan. Pengalaman ini
membuktikan bahwa unifikasi dan federasi (bisa pula koalisi) partai-partai
Islam sulit direalisasikan.
PPP: Fusi Yang Dipaksakan
Menyusul
restrukturisasi politik yang dilaksanakan oleh rezim Orde Baru pada tahun
1973, partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berfusi dalam sebuah
partai yang dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain PPP,
ada pula PDI (Partai Demokrasi Indonesia) sebagai fusi dari partai-partai
yang beraliran nasionalis dan Golkar (the
ruling party).
Akan
halnya PPP, fusi partai ini tidak pernah tuntas karena fusinya direkayasa dan
dipaksakan dari atas oleh rezim. Dengan kata lain, fusi partaipartai Islam
dalam PPP tidak berjalan secara alamiah (tidak datang dari bawah) akan tetapi
diperintah dan dipaksakan dari atas oleh rezim Orde Baru. Banyak terjadi
konflik internal dalam tubuh PPP terutama ketika partai ini di bawah
kepemimpinan J Naro.
Konflik
antara lain terjadi ketika Naro mencoret para caleg DPR yang terpilih dari NU
yang bersikap vokal dan kritis terhadap sang rezim. Pengalaman ini juga
membuktikan bahwa fusi (bisa juga federasi atau koalisi) partai-partai Islam
selalu dibayangi oleh pesimisme dan bahkan sulit untuk diwujudkan dalam
kenyataan di pentas politik Indonesia.
Perbedaan
latar belakang tradisi, kultur, visi, dan teologi politik dari masing-masing
partai Islam tentunya secara signifikan mempengaruhi perilaku dan kepentingan
politik dari masing-masing partai Islam itu sendiri. Sepanjang pemilu di era
rezim Orde Baru, perolehan suara PPP tidak melampaui 16%. Memang, PPP dan PDI
pada era Orde Baru dibonsai oleh sang rezim sehingga menjadi partai pelengkap
penderita.
Dengan
demikian, kekuatan dan kekuasaan rezim Orde Baru tidak tersaingi dan
tertandingi. Poin yang hendak dikatakan di sini adalah fusi partai-partai
Islam dalam PPP adalah fusi semu, bagaikan minyak dan air, tidak menyatu
secara riil. Itu artinya, fusi (atau koalisi) partaipartai Islam tidak
mentradisi di panggung politik Indonesia.
Sulit Diwujudkan
Ide
pembentukan Poros Islam untuk mengusung caprescawapres sendiri dalam Pilpres
2014 sulit direalisasikan. Memang, jika digabung menjadi satu, jumlah
perolehan suara PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB bisa mencapai 31,5%. Tapi tradisi
politik partai-partai Islam di pentas politik nasional untuk berfederasi,
berfusi atau berkoalisi sulit diwujudkan. Jika pun terwujud, federasi dan
fusi itu tidak tuntas secara riil dan sejati, sangat instan, dan akhirnya
bubar.
Kasus
Masyumi dan PPP seperti diuraikan di atas membuktikan tesis ini. Ada bayangan
pesimisme untuk membentuk koalisi partai-partai Islam dalam bentuk gerakan
Poros Islam untuk mengusung capres-cawapres sendiri dalam Pilpres 2014.
Masalahnya bukan bisa atau tidak bisa, tapi masalahnya adalah mau atau tidak
mau.
Saya
melihat faktor ketidakmauan politik jauh lebih dominan. Hal ini disebabkan
oleh latar belakang perbedaan tradisi, kultur, visi, ideologi, dan teologi
politik dari masing-masing partai Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar