Jumat, 02 Mei 2014

Poros Islam?

Poros Islam?

Faisal Ismail  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN SINDO, 01 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Pemilu legislatif 2014 sudah dilaksanakan pada 9 April 2014. Sejauh menyangkut partai-partai Islam atau partai-partai berbasis massa Islam, perolehan suara mereka jika digabung menjadi satu sangat memungkinkan untuk mengusung capres-cawapres sendiri.

Sebuah lembaga survei yang melakukan hitungan cepat (quick count) mengeluarkan data sementara perolehan suara partai-partai Islam sebagai berikut: PKB meraih suara 9,10%, PAN 7,35%, PPP 7,08%, PKS 6,61%, dan BB 1,36%. Jika perolehan suara partai-partai Islam ini digabung menjadi satu, jumlahnya mencapai 31,5%. Jumlah ini sudah melampaui angka 20% dan sangat memenuhi syarat bagi sebuah partai (atau koalisidari beberapa partai) untuk mengusung capres-cawapres dalam Pilpres 2014 yang akan diselenggarakan pada 9 Juli 2014.

Berdasarkan kalkulasi perolehan suara ini, muncullah dari kalangan politisi dan tokoh-tokoh muslim agar partai-partai Islam berkoalisi dalam Poros Islam untuk mengusung capres-cawapres sendiri tanpa berkoalisi dengan partai-partai nasionalis. Pembentukan Poros Islam dibayangi oleh pesimisme dan sulit diwujudkan jika dikaitkan dengan pengalaman politik Islam sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Berikut ini beberapa indikasinya.

Dari Persatuan ke Perceraian Politik

Tanggal 7 dan 8 November 1945 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Umat Islam Indonesia. Selama dua hari itu, Kongres Umat Islam diselenggarakan di Yogyakarta. Salah satu keputusannya adalah membentuk Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah dan saluran tunggal politik Islam.

Partai Masyumi berbentuk federatif yang keanggotaannya bisa bersifat individual atau pun bersifat organisasional. Banyak tokoh dan politisi muslim yang masuk Partai Masyumi. Organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) menjadi anggota Masyumi. Masyumi diproyeksikan, diidealisasikan, dan dipersiapkan untuk mengakomodasi seluruh aspirasi politik Islam dalam menghadapi Pemilu 1955.

Melalui Partai Masyumi, seluruh aspirasi politik Islam bisa ditampung dan dimaksimalkan sehingga Masyumi diharapkan dapat meraih suara yang signifikan, bahkan menang, dalam Pemilu 1955. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah tragedi perpecahan dan perceraian politik dalam tubuh Masyumi. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, Syarikat Islam pada tahun 1947 menyatakan keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai tersendiri (Partai Syarikat Islam Indonesia/ PSII).

Tujuh tahun kemudian, tepatnya bulan April 1952, Nahdlatul Ulama juga menyatakan keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai independen (Partai NU). Hengkangnya Syarikat Islam dan Nahdlatul Ulama dari Masyumi karena dipicu oleh ketidakakuran, perselisihan, dan perbedaan visi dan teologi politik di tubuh internal Partai Masyumi.

Dalam Pemilu 1955, partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, dan partai-partai Islam kecil lainnya) berjalan sendiri-sendiri sesuai visi, teologi, dan kepentingan politiknya masingmasing. Akibatnya, perolehan suara partai-partai Islam dalam Pemilu 1955 tidak dominan dan tidak signifikan. Pengalaman ini membuktikan bahwa unifikasi dan federasi (bisa pula koalisi) partai-partai Islam sulit direalisasikan.

PPP: Fusi Yang Dipaksakan

Menyusul restrukturisasi politik yang dilaksanakan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1973, partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berfusi dalam sebuah partai yang dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain PPP, ada pula PDI (Partai Demokrasi Indonesia) sebagai fusi dari partai-partai yang beraliran nasionalis dan Golkar (the ruling party).

Akan halnya PPP, fusi partai ini tidak pernah tuntas karena fusinya direkayasa dan dipaksakan dari atas oleh rezim. Dengan kata lain, fusi partaipartai Islam dalam PPP tidak berjalan secara alamiah (tidak datang dari bawah) akan tetapi diperintah dan dipaksakan dari atas oleh rezim Orde Baru. Banyak terjadi konflik internal dalam tubuh PPP terutama ketika partai ini di bawah kepemimpinan J Naro.

Konflik antara lain terjadi ketika Naro mencoret para caleg DPR yang terpilih dari NU yang bersikap vokal dan kritis terhadap sang rezim. Pengalaman ini juga membuktikan bahwa fusi (bisa juga federasi atau koalisi) partai-partai Islam selalu dibayangi oleh pesimisme dan bahkan sulit untuk diwujudkan dalam kenyataan di pentas politik Indonesia.

Perbedaan latar belakang tradisi, kultur, visi, dan teologi politik dari masing-masing partai Islam tentunya secara signifikan mempengaruhi perilaku dan kepentingan politik dari masing-masing partai Islam itu sendiri. Sepanjang pemilu di era rezim Orde Baru, perolehan suara PPP tidak melampaui 16%. Memang, PPP dan PDI pada era Orde Baru dibonsai oleh sang rezim sehingga menjadi partai pelengkap penderita.

Dengan demikian, kekuatan dan kekuasaan rezim Orde Baru tidak tersaingi dan tertandingi. Poin yang hendak dikatakan di sini adalah fusi partai-partai Islam dalam PPP adalah fusi semu, bagaikan minyak dan air, tidak menyatu secara riil. Itu artinya, fusi (atau koalisi) partaipartai Islam tidak mentradisi di panggung politik Indonesia.

Sulit Diwujudkan

Ide pembentukan Poros Islam untuk mengusung caprescawapres sendiri dalam Pilpres 2014 sulit direalisasikan. Memang, jika digabung menjadi satu, jumlah perolehan suara PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB bisa mencapai 31,5%. Tapi tradisi politik partai-partai Islam di pentas politik nasional untuk berfederasi, berfusi atau berkoalisi sulit diwujudkan. Jika pun terwujud, federasi dan fusi itu tidak tuntas secara riil dan sejati, sangat instan, dan akhirnya bubar.

Kasus Masyumi dan PPP seperti diuraikan di atas membuktikan tesis ini. Ada bayangan pesimisme untuk membentuk koalisi partai-partai Islam dalam bentuk gerakan Poros Islam untuk mengusung capres-cawapres sendiri dalam Pilpres 2014. Masalahnya bukan bisa atau tidak bisa, tapi masalahnya adalah mau atau tidak mau.

Saya melihat faktor ketidakmauan politik jauh lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh latar belakang perbedaan tradisi, kultur, visi, ideologi, dan teologi politik dari masing-masing partai Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar