Memaknai
Libur di Hari Buruh
Triyono Lukmantoro ;
Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
|
KORAN
SINDO, 01 Mei 2014
Ada
penanda penting dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Tanggal 1 Mei 2014
secara resmi diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Tidak hanya itu,
pada tanggal itu pula ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Dan, ini
merupakan tahun pertama kaum buruh secara resmi merasakan libur di hari
besarnya. Tidak gampang mengusulkan dan mendapat legalitas suatu tanggal
ditetapkan sebagai libur nasional. Alasan yang dikemukakan harus merujuk pada
kepentingan agama atau bangsa. Kalau tidak sesuai argumen itu, maka pengajuan
hari libur nasional menjadi kemustahilan.
Apa
maknanya? Libur nasional pada Hari Buruh dapat dikatakan sebagai suatu fase
politik baru bagi kaum buruh. Sebabnya adalah sebagai perayaan, apalagi
sebagai konsep berpikir, pada suatu rezim politik tertentu, buruh mendapat
pemaknaan yang demikian negatif. Buruh bukanlah sebuah kata yang jatuh dari
langit secara begitu saja. Buruh sebagai sebuah makna politik memiliki kaitan
erat dengan kekuasaan yang sedang dijalankan. Buruh bukan sekadar sebuah
kata. Tidak pula sekadar makna.
Buruh
telah menjadi sebuah wacana (discourse)
karena melibatkan dan dilibatkan oleh berbagai model relasi kekuasaan yang
terjadipada setiap periode politik. Untuk memahami perubahan dan intervensi
kekuasaan terhadap kata, konsep, maupun wacana buruh ini, pemikiran Michel
Foucault (1926-1984) tentang arkeologi pengetahuan bisa digunakan.
Arkeologi
pengetahuan ialah metode untuk menyingkap pembentukan pernyataan-pernyataan
pada periode sejarah tertentu. Metode ini mampu menunjukkan mengapa kata-kata
tertentu sering dinyatakan dan dianggap terpuji pada suatu era. Namun, pada
era lainnya, katakata tertentu itu justru dikecam, dicaci-maki, dan dilarang
untuk digunakan.
Melalui
arkeologi pengetahuan itu pula bisa diketahui bahwa pada setiap periode rezim
politik tertentu terdapat episteme, yakni dasar atau sistem pemikiran yang
mengatur dan menentukan pernyataan dan konsep tertentu bisa diterima sebagai
pengetahuan.
Revolusi dan Pembangunan
Setidaknya,
setelah Indonesia merdeka terdapat tiga periode rezim politik yang
menunjukkan episteme yang berlainan dalam meregulasikan kata buruh. Pertama,
era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Inilah era Soekarno yang mengge-legakkan
kuasa revolusi dalam setiap aspek kehidupan politik. Revolusi menjadi
katakunci yang amat magis untuk mengatasi semuapersoalan.
Daya
pesona revolusi itu dikaitkan dengan kekuatan dalam melawan musuh, baik yang
berasal dari dalamnegeri sendiri maupun dari luarnegeri. Mereka yang dianggap
sekutu direngkuh dalam perkawanan dengan memakai konsep
progresif-revolusioner. Itulah kelompok yang dianggap memiliki visi dan
pergerakan politik yang maju. Sebaliknya, mereka yang diposisikan sebagai
lawan diberikan label sebagai kaum reaksioner atau kontrarevolusi yang
berpikir terbelakang.
Yang
revolusioner harus didukung. Yang reaksioner wajib digilas. Buruh pada
periode rezim politik ini menjadi kata yang dianggap begitu sakti. Buruh
dalam domain ini merujuk pada konsep pemikiran Karl Marx (1818- 1883) yang
menekankan pada kaum proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi. Buruh
dianggap sebagai kaum yang mengalami eksploitasi secara bertubi- tubi. Beban
kerja mereka begitu banyak. Jam kerja mereka demikian panjang.
Tapi,
upah yang mereka terima tidaklah seberapa dan tidak layak untuk hidup.
Soekarno dan sejumlah partai politik begitu mengagung-agungkan buruh. Sebab,
kelompok tertindas ini, seperti dikemukakan Marx, adalah kelas yang memiliki
kesadaran untuk melakukan revolusi. Buruh diidentifikasi sebagai bangsa
Indonesia yang tertindas yang, bersama-sama dengan bangsa-bangsa tertindas
lain akan menggulirkan revolusi menuju kejayaan.
Kedua,
era Orde Baru (1965- 1998). Pada era Soeharto itu muncul jenis kuasa yang justru
melenyapkan konsep dan bahkan kata buruh. Orde Baru adalah tatanan politik
yang menekankan pada harmoni sosial dan stabilitas politik. Orde Baru pun
mengambil jarak dan secara sistematis membedakan dan selalu berhasrat
dibeda-kan dengan era rezim Demokrasi Terpimpin. Orde Baru lalu melabeli
periode politik itu sebagai Orde Lama. Seluruh konsep tentang politik yang
revolusioner dilucuti.
Hasil
yang kemudian digulirkan rezim Soeharto adalah pembangunan. Soeharto sebagai
Bapak Pembangunan menggantikan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Buruh terkena imbasnya, tidak hanya dari segi kata, namun juga eksistensinya.
Buruh dalam pandangan rezim Orde Baru adalah kekuatan jahat yang harus
dibasmi. Buruh, bahkan lebih dari itu, dipandang sebagai konsep yang
terlahirdari ideologi komunisme.
Buruh
adalah anak haram yangharus dibunuh.
Karena buruh juga dinilai mengandung kekuatan revolusioner yang bisa
merongrong pembangunan, maka kata buruh pun dilenyapkan dan dianggap sebagai
konsep terkutuk yang harus ditumpas. Namun, sebuah negara tidak mungkin
hidupdan bertumbuh secara ekonomi tanpa kehadiran buruh.
Orde
Baru pun mengganti buruh yang terkesan radikal, komunis, dan serba mengancam
itu dengan beberapa konsep, seperti pekerja, pegawai, atau pun karyawan.
Negara pun mempraktikkan aksi korporatisme, hanya satu organisasi buruh yang
diakui, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia(SPSI).
Akumulasi modal
Ketiga,
era Reformasi (1998-sekarang). Pada periode politik ini jenis kuasa yang
bercokol ialah pasar bebas. Indonesia tidak bisa terlepas dari jejaring
korporasikorporasi multinasional yang makin menguat. Ka-pitalisme global
menjadikan negeri ini sebagai pemasok tenaga kerja berharga murah, sekaligus
pasar bagi konsumen yang sebegitu meriah.
Ideologi
dianggap tidak penting lagi karena kapitalisme telah dilihat sebagai pemenang
yang berhasil menjungkalkan komunisme dan sosialisme. Buruh ditemukan lagi
kehadirannya. Bukan sebagai ancaman yang menakutkan akibat kehendak untuk
menjalankan revolusi sosialisme atau komunisme, melainkan sebagai faktor
produksi yang berfungsi untuk merealisasikan kepentingan akumulasi modal dan
menambah keuntungan bagi para majikan.
Konklusinya
ialah buruh pada masa Demokrasi Terpimpin diposisikan sebagai kekuatan
politik yang radikal. Pada era Orde Baru, buruh ditelanjangi radikalismenya
dan diberi predikat sebagai pekerja yang menyokong suksesnya pembangunan.
Buruh dikembalikan lagi arti denotatif (makna lugasnya), pada era Reformasi
sampai saat ini, sebagai pekerja yang tidak perlu ditakutkan lagi kekuatan
revolusionernya.
Kata
buruh pun tidak dianggap lagi sebagai ancaman. Sebab, pada kata buruh itu
terdapat arti konotatif (makna kias) sebagai tenaga kerja untuk menambah
pundipundi harta majikannya. Kalau 1 Mei tahun ini mulai dijadikan libur
nasional ialah penghormatan bagi kaum buruh yang tanpa henti dieksploitasi
untuk tumbuhnya kapital(isme). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar