Jumat, 02 Mei 2014

Memaknai Libur di Hari Buruh

Memaknai Libur di Hari Buruh

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
KORAN SINDO, 01 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Ada penanda penting dalam sejarah perburuhan di Indonesia. Tanggal 1 Mei 2014 secara resmi diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Tidak hanya itu, pada tanggal itu pula ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Dan, ini merupakan tahun pertama kaum buruh secara resmi merasakan libur di hari besarnya. Tidak gampang mengusulkan dan mendapat legalitas suatu tanggal ditetapkan sebagai libur nasional. Alasan yang dikemukakan harus merujuk pada kepentingan agama atau bangsa. Kalau tidak sesuai argumen itu, maka pengajuan hari libur nasional menjadi kemustahilan.

Apa maknanya? Libur nasional pada Hari Buruh dapat dikatakan sebagai suatu fase politik baru bagi kaum buruh. Sebabnya adalah sebagai perayaan, apalagi sebagai konsep berpikir, pada suatu rezim politik tertentu, buruh mendapat pemaknaan yang demikian negatif. Buruh bukanlah sebuah kata yang jatuh dari langit secara begitu saja. Buruh sebagai sebuah makna politik memiliki kaitan erat dengan kekuasaan yang sedang dijalankan. Buruh bukan sekadar sebuah kata. Tidak pula sekadar makna.

Buruh telah menjadi sebuah wacana (discourse) karena melibatkan dan dilibatkan oleh berbagai model relasi kekuasaan yang terjadipada setiap periode politik. Untuk memahami perubahan dan intervensi kekuasaan terhadap kata, konsep, maupun wacana buruh ini, pemikiran Michel Foucault (1926-1984) tentang arkeologi pengetahuan bisa digunakan.

Arkeologi pengetahuan ialah metode untuk menyingkap pembentukan pernyataan-pernyataan pada periode sejarah tertentu. Metode ini mampu menunjukkan mengapa kata-kata tertentu sering dinyatakan dan dianggap terpuji pada suatu era. Namun, pada era lainnya, katakata tertentu itu justru dikecam, dicaci-maki, dan dilarang untuk digunakan.

Melalui arkeologi pengetahuan itu pula bisa diketahui bahwa pada setiap periode rezim politik tertentu terdapat episteme, yakni dasar atau sistem pemikiran yang mengatur dan menentukan pernyataan dan konsep tertentu bisa diterima sebagai pengetahuan.

Revolusi dan Pembangunan

Setidaknya, setelah Indonesia merdeka terdapat tiga periode rezim politik yang menunjukkan episteme yang berlainan dalam meregulasikan kata buruh. Pertama, era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Inilah era Soekarno yang mengge-legakkan kuasa revolusi dalam setiap aspek kehidupan politik. Revolusi menjadi katakunci yang amat magis untuk mengatasi semuapersoalan.

Daya pesona revolusi itu dikaitkan dengan kekuatan dalam melawan musuh, baik yang berasal dari dalamnegeri sendiri maupun dari luarnegeri. Mereka yang dianggap sekutu direngkuh dalam perkawanan dengan memakai konsep progresif-revolusioner. Itulah kelompok yang dianggap memiliki visi dan pergerakan politik yang maju. Sebaliknya, mereka yang diposisikan sebagai lawan diberikan label sebagai kaum reaksioner atau kontrarevolusi yang berpikir terbelakang.

Yang revolusioner harus didukung. Yang reaksioner wajib digilas. Buruh pada periode rezim politik ini menjadi kata yang dianggap begitu sakti. Buruh dalam domain ini merujuk pada konsep pemikiran Karl Marx (1818- 1883) yang menekankan pada kaum proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi. Buruh dianggap sebagai kaum yang mengalami eksploitasi secara bertubi- tubi. Beban kerja mereka begitu banyak. Jam kerja mereka demikian panjang.

Tapi, upah yang mereka terima tidaklah seberapa dan tidak layak untuk hidup. Soekarno dan sejumlah partai politik begitu mengagung-agungkan buruh. Sebab, kelompok tertindas ini, seperti dikemukakan Marx, adalah kelas yang memiliki kesadaran untuk melakukan revolusi. Buruh diidentifikasi sebagai bangsa Indonesia yang tertindas yang, bersama-sama dengan bangsa-bangsa tertindas lain akan menggulirkan revolusi menuju kejayaan.

Kedua, era Orde Baru (1965- 1998). Pada era Soeharto itu muncul jenis kuasa yang justru melenyapkan konsep dan bahkan kata buruh. Orde Baru adalah tatanan politik yang menekankan pada harmoni sosial dan stabilitas politik. Orde Baru pun mengambil jarak dan secara sistematis membedakan dan selalu berhasrat dibeda-kan dengan era rezim Demokrasi Terpimpin. Orde Baru lalu melabeli periode politik itu sebagai Orde Lama. Seluruh konsep tentang politik yang revolusioner dilucuti.

Hasil yang kemudian digulirkan rezim Soeharto adalah pembangunan. Soeharto sebagai Bapak Pembangunan menggantikan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Buruh terkena imbasnya, tidak hanya dari segi kata, namun juga eksistensinya. Buruh dalam pandangan rezim Orde Baru adalah kekuatan jahat yang harus dibasmi. Buruh, bahkan lebih dari itu, dipandang sebagai konsep yang terlahirdari ideologi komunisme.

Buruh adalah anak haram  yangharus dibunuh. Karena buruh juga dinilai mengandung kekuatan revolusioner yang bisa merongrong pembangunan, maka kata buruh pun dilenyapkan dan dianggap sebagai konsep terkutuk yang harus ditumpas. Namun, sebuah negara tidak mungkin hidupdan bertumbuh secara ekonomi tanpa kehadiran buruh.

Orde Baru pun mengganti buruh yang terkesan radikal, komunis, dan serba mengancam itu dengan beberapa konsep, seperti pekerja, pegawai, atau pun karyawan. Negara pun mempraktikkan aksi korporatisme, hanya satu organisasi buruh yang diakui, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia(SPSI).

Akumulasi modal

Ketiga, era Reformasi (1998-sekarang). Pada periode politik ini jenis kuasa yang bercokol ialah pasar bebas. Indonesia tidak bisa terlepas dari jejaring korporasikorporasi multinasional yang makin menguat. Ka-pitalisme global menjadikan negeri ini sebagai pemasok tenaga kerja berharga murah, sekaligus pasar bagi konsumen yang sebegitu meriah.

Ideologi dianggap tidak penting lagi karena kapitalisme telah dilihat sebagai pemenang yang berhasil menjungkalkan komunisme dan sosialisme. Buruh ditemukan lagi kehadirannya. Bukan sebagai ancaman yang menakutkan akibat kehendak untuk menjalankan revolusi sosialisme atau komunisme, melainkan sebagai faktor produksi yang berfungsi untuk merealisasikan kepentingan akumulasi modal dan menambah keuntungan bagi para majikan.

Konklusinya ialah buruh pada masa Demokrasi Terpimpin diposisikan sebagai kekuatan politik yang radikal. Pada era Orde Baru, buruh ditelanjangi radikalismenya dan diberi predikat sebagai pekerja yang menyokong suksesnya pembangunan. Buruh dikembalikan lagi arti denotatif (makna lugasnya), pada era Reformasi sampai saat ini, sebagai pekerja yang tidak perlu ditakutkan lagi kekuatan revolusionernya.

Kata buruh pun tidak dianggap lagi sebagai ancaman. Sebab, pada kata buruh itu terdapat arti konotatif (makna kias) sebagai tenaga kerja untuk menambah pundipundi harta majikannya. Kalau 1 Mei tahun ini mulai dijadikan libur nasional ialah penghormatan bagi kaum buruh yang tanpa henti dieksploitasi untuk tumbuhnya kapital(isme).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar