Jumat, 02 Mei 2014

Kapten Rivai, Tragedi Sewol, dan Sekolah Pelayaran Kita

Kapten Rivai, Tragedi Sewol, dan Sekolah Pelayaran Kita

Anonim  ;   ……………???.
KORAN SINDO, 01 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Beberapa pekan belakangan hati kita terharu oleh berbagai tragedi transportasi. Di Malaysia, pejabat saling lepas tangan dan menyembunyikan informasi atas tragedi menghilangnya pesawat MH370.

Tapi di Korea Selatan, ada nuansa lain di balik tragedi tenggelamnya kapal feri Sewol. Kapal yang hendak berlayar dari Pelabuhan Incheon ke Pulau Jeju itu mengangkut 476 penumpang. Sebagian besar siswa sekolah yang hendak berwisata dan didampingi sejumlah guru. Belum sampai tujuan, terdengar dentuman keras sampai akhirnya tenggelam. Belum jelas apa penyebab dentuman. Sampai Senin (21/4), korban tewas 64 orang, 238 hilang, dan yang selamat 174 orang.

Masyarakat Korea Selatan menilai kasus ini sebagai insiden transportasi laut terburuk yang pernah terjadi di negaranya. Mengapa korban bisa begitu banyak? Dugaan sementara karena nakhoda terlambat memberikan perintah evakuasi. Kapten kapal, Lee Joon-seok, 69, baru memerintahkan evakuasi 30 menit setelah Pusat Pemantau Lalu Lintas Kapal Korea Selatan menginstruksikan agar penumpang dan awak kapal dievakuasi.

Menurut korban yang selamat, para penumpang diminta tetap di tempat dan baru sekitar 30 menit kemudian kru kapal memulai proses evakuasi. Bukan membantu penumpang, Lee tertangkap kamera lari meninggalkan kapal terlebih dahulu. Ia dan beberapa krunya selamat, tapi kini ditahan dan diperiksa dengan tuduhan kelalaian yang mengakibatkan korban jiwa.

Beruntung di kapal feri tersebut masih ada Park Jee-young. Park, perempuan 22 tahun, membantu para penumpang dengan membagi-bagikan pelampung sampai dia sendiri tidak kebagian. Ketika Park ditanya mengapa tidak mengenakan jaket pelampung, dia menjawab bahwa awak kapal harus mengutamakan untuk membantu para penumpang terlebih dahulu dan menjadi orang terakhir yang menyelamatkan diri.

Park akhirnya tewas. Aksi heroik Park mendatangkan banyak pujian. Sebaliknya aksi Lee menuai kecaman. Bahkan kecaman itu datang dari Presiden Korea Selatan Park Geun-hye yang menilai perilaku Kapten Lee tidak bisa diterima dan setara dengan upaya pembunuhan.

Insiden memalukan Kapten Lee mengingatkan kita akan aksi serupa yang dilakukan Francesco Schettino, kapten kapal Costa Concordia yang tenggelam pada 13 Januari 2012 silam karena menabrak karang di Pantai Isola, dekat Pulau Giglio, Italia. Kapal pesiar itu mengangkut sekitar 4.200 penumpang dan awak kapal. Akibat kecelakaan itu, 5 penumpang tewas. Kapten Schettino diketahui meninggalkan kapal sebelum semua penumpang dievakuasi.

Ajaran Konfusius

Kini, kasus tenggelamnya kapal feri Sewol bergulir ke ranah politik. PM Korea Selatan Chung Hong-won mengundurkan diri dari jabatannya dan disetujui Presiden Park. Namun, pengunduran diri PM Chung baru berlaku efektif saat krisis berhasil dikendalikan. Bagi saya, mundurnya PM Chung gambaran dari masih dijunjung tingginya etika Konfusius di kalangan masyarakat Korea Selatan.

Etika Konfusius terdiri atas nilai-nilai kerja keras, kesetiaan pada organisasi, dedikasi, menjunjung tinggi harmoni sosial, cinta pendidikan dan kebijaksanaan, serta peduli pada kesopanan sosial. Selain itu mereka juga menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan dan harga diri yang terus dipraktikkan para pemimpinnya. Beda benar dengan di sini yang juga punya nilai serupa, tetapi tak lagi dipraktikkan para pemimpin yang selalu sembunyi tangan, cari aman, dan saling menyalahkan.

Unsur-unsur etika ini memiliki semua aspek positif bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Konfusius mengakui, untuk membangun sebuah bangsa, pengorbanantertentuharusdibuat oleh individu. Pengorbanan pribadi dalam rangka memajukan kepentingan bangsa ada pada semua masyarakat Asia Timur dan Tenggara seperti di Korea Selatan, Jepang atau China. Menurut etika ini, seseorang pemimpin harus bersifat arif dan bijaksana terhadap orang yang dipimpinnya.

Seorang bawahan harus menghormati atasan dan sebaliknya. Seorang pemimpin juga diharapkan menampilkan Ren yang berarti kebajikan atau humanisme dan memiliki pemikiran Yi atau diharapkan menegakkan standar tertinggi perilaku moral. Kepentingan individu harus dikorbankan demi kebaikan organisasi dan bangsa.

Dalam kasus tenggelamnya kapal feri Sewol, apa yang dilakukan kapten Lee dan awak kapallainnya—terkecuali Park–– jelas sangat bertentangan dengan etika tersebut dan mencerminkan sejumlah kegagalan sekaligus. Mereka gagal menjaga standar keamanan transportasi lautnya. Mereka gagal membangun sistem yang mampu melakukan respons cepat dalam melaksanakan penyelamatan.

Mereka pun gagal mempertahankan kinerja sumber daya manusianya—sesuatu yang jadi faktor kunci keberhasilan Korea Selatan selama ini. Kapten kapal lambat memberikan perintah evakuasi. Kegagalan ini bukan hanya cermin kegagalan di industri transportasi laut, tapi juga cermin kegagalan pemerintahannya. Inilah yang memicu pengunduran diri PM Chung.

Kapten Rivai

Baiklah itu yang terjadi di Korea Selatan. Di Indonesia, kita sangat bangga pernah memiliki Abdul Rivai sebagai kapten kapal Tampomas II. Kapal ini tenggelam di Perairan Masalembo, LautJawa, pada 25Januari1981. Para penumpang yang selamat menyaksikan saat kapal mulai miring, kapten Abdul Rivai masih sibuk membagikan pelampung ke para penumpang.

Ketika seorang awak kapal Tampomas II mengajak kapten Rivai meninggalkan kapal, dia menolak karena belum semua penumpang bisa diselamatkan. Pada detik-detik terakhir saat kapal mulai tenggelam, kapten Rivai terlihat ada di pucuk anjungan sambil berpegang pada kusen jendela. Ia berpegang teguh pada janji seorang kapten kapal, yakni menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal saat terjadi bencana.

Kita sangat bangga memiliki kapten Rivai yang mewariskan tradisi kepemimpinan di dunia maritim. Sayangnya kita kurang bisa memelihara warisan itu. Nama kapten Rivai jarang kita sebut, bahkan tak pernah dijadikan bahan ujian di sekolah.

Sebaliknya, Minggu lalu, kita malah menyaksikan seorang siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang masih muda tewas dianiaya seniornya. Seorang siswa yang tega menganiaya siswa lain pasti tak akan menjadi kapten kapal yang sehebat kapten Rivai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar