Sabtu, 03 Mei 2014

Soalisme dan Jawabanisme

Soalisme dan Jawabanisme

Bandung Mawardi  ;   Penulis buku Pendidikan: Tokoh, Makna, Peristiwa (2014)
SUARA MERDEKA, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
DULU ada Ibu Sud (1908-1993), penggubah lagu anak-anak yang mendokumentasikan situasi bersekolah saat masa pendudukan zaman. Imajinasi belajar dan Indonesia termuat pada lagu itu, mengesankan ada kehendak besar: Indonesia ditentukan oleh pendidikan. Pesan dalam lagu terus melintasi zaman meski orang-orang mulai tak mengingat latar historis lagu dan peran penggubah lagu. Tahun 1943, Ibu Sud menggubah ”Pergi Beladjar”, lagu sederhana dan menggugah. Lagu bocah dari masa lalu pantas kembali dilantunkan, tanggapan atas situasi pendidikan dan diskursus sekolah di Indonesia. Lirik impresif, ”O iboe dan ajah selamat pagi/ koe pergi beladjar sampaikan nanti/ Selamat beladjar, nak, penoeh semangat/ Radjinlah selaloe tentoe kaoe dapat/ Hormati goeroemoe sajangi teman/ Itoelah tandanja kaoe moerid boediman.” Lirik lagu itu akrab bagi bocah, diajarkan sejak SD.

Kita mungkin lupa ada lirik lanjutan, mengungkap kebermaknaan murid dan sekolah, ”O iboe dan ajah terimakasih/ koepergi sekolah sampaikan nanti/ Latihlah badanmoe, nak, soepaja sehat/ latihlah batinmoe soepaja koeat/ Tetapkan hatimoe gagah berani/ Selaloe gembira dan loeroes hati.” Lagu beramanat pendidikan. Apakah para siswa saat mengikuti ujian nasional (UN) masih mengingat lagu gubahan Ibu Sud? Apakah para orang tua dan guru bakal mengingatkan pesan-pesan dalam lagu itu? Kita tak perlu tergesa menjawab tapi mesti mengartikan dulu ungkapan rajin belajar sebelum meributkan ujian nasional. 

Pesan orang tua dalam lagu Ibu Sud, ”Radjinlah selaloe tentoe koe dapat.” Pesan bisa digenapi ungkapan klise rajin pangkal pandai. Orang tua tak jemu menggunakan ungkapan-ungkapan lawas agar ada kesungguhan bagi para bocah bersekolah. Tujuan belajar di sekolah adalah menjadi ”moerid boediman”. Kita ”mencurigai” cara berpikir Ibu Sud. Mengapa ia tak menggunakan ungkapan ”murid cerdas” atau ”murid pandai”, sesuai kehendak pemerintah dan keluarga di Indonesia?

Kita mesti insyaf, ungkapan ”moerid boediman” sudah dimusnahkan oleh ambisi membentuk murid cerdas demi kehormatan bangsa di mata dunia. WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mengartikan budi: ”pikiran, akal, keinsjafan menentukan baik-buruk; tabiat, watak, achlak; perbuatan baik, kebaikan.” Pengertian budiman: ”bidjaksana, pandai”. Pengertian ”budi” dan ”budiman” sudah mulai dilupakan, tenggelam dalam arus sejarah. Bersekolah adalah mengajak murid menjadi berbudi atau budiman. 

Sekarang, bersekolah untuk tujuan agung: ujian. Murid mengikuti ujian harus rajin belajar agar bisa menjawab soal dengan benar. Hasil ujian menentukan murid mendapat cap pintar atau pandai meski saat pengerjaan ujian melakukan kecurangan atas kehendak sendiri atau kehendak guru dan kepala sekolah. Ujian demi pembuktian kecerdasan atau kepandaian.

Ujian adalah urusan soal dan jawaban. Kita tak pernah mendapati penjelasan bahwa belajar adalah mengasah budi supaya murid bisa memahami pelajaran dan mengerjakan pelbagai ujian dengan ”gembira” dan ”loeroes hati”. Ujian Nasional Sekarang, bersekolah memiliki tujuan pasti: pemahaman soal dan kemampuan menjawab. Peran guru dan buku pelajaran diarahkan agar tercipta paham pendidikan mutakhir: soalisme dan jawabanisme. Sejak SD sampai SMA, murid menerima propaganda bahwa keberhasilan bersekolah ditentukan oleh soalisme dan jawabanisme. Orang tua tentu turut menganjurkan ”bersekolahlah demi soalisme dan jawabanisme” Tujuan pendidikan nasional pun bergantung soalisme dan jawabanisme. Selama 12 tahun, murid menjalani harihari bersekolah dengan keberlimpahan soal dan jawaban. Puja soalisme dan jawabanisme makin dibesarkan dengan mengikutkan murid ke lembaga bimbingan belajar. Mereka dibelikan buku-buku berisi latihan soal ujian dari pelbagai penerbit. Acara pelatihan ujian sering diadakan sekolah dan pelbagai lembaga belajar. Pembuktian dari paham soalisme dan jawabanisme adalah ujian sekolah dan ujian nasional.

Hasil ujian menentukan nasib dan masa depan. Konon, menteri dan pejabat juga menganut gagasan besar bahwa ujian penentu peradaban Indonesia. Fantastis. Ujian nasional merepotkan pelbagai pihak, merangsang kemunculan obsesi dan kecurangan. Pengertian ujian tak berpijak ke pendidikan dan pengajaran. Ujian adalah urusan politis. Peristiwa ujian adalah kumpulan keganjilan pendidikan di Indonesia. Nilai jadi tujuan. Lulus jadi obsesi. Bersekolah berhenti di titik paling menentukan: ujian. Kita tentu berhak memberi ingatan agar ujian tak ”merusak” keadaban dalam pendidikan. Ki Hadjar Dewantara (1930) berpesan bahwa pendidikan dan pengajaran berperan ”membentoek manoesia merdeka segala-galanja: merdeka pikirannja, merdeka batinnja, dan merdeka poela tenanganja, soepaja dapat bermanfaat bagi bangsa dan Tanah Air.” Tujuan mulia berganti nilai dan kelulusan. 

Sekarang, rajin belajar adalah ungkapan represif. Murid dianggap rajin belajar bila sering mempelajari buku-buku latihan soal ujian dan menghapalkan jawaban. Rajin belajar juga berarti ikut lembaga bimbingan pelajar atau les tambahan di rumah. Kegembiraan dan ”loeroes hati” gampang berganti dengan derita, lelah, siksa, cemas, dan minder.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar