Sabtu, 03 Mei 2014

Menunggu Momen Lakon Mantan Adu Jago

Menunggu Momen Lakon Mantan Adu Jago

Redi Panuju  ;   Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas dr Soetomo Surabaya
JAWA POS, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
PASCAHITUNG cepat pileg, nyaris semua media seperti tersihir membingkai pemberitaannya dengan tiga koalisi besar yang dibangun oleh tiga partai papan atas (PDIP, Partai Golkar, dan Gerindra). Hal itu wajar karena lazimnya partai pemenang pemilu dalam pileg mempunyai daya tawar yang tinggi mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Namun, perkembangan demi perkembangan menunjukkan bahwa tiga partai besar di atas kesulitan membangun koalisi yang potensial untuk memenangi pilpres. Hal itu juga wajar karena perolehan suara tiga partai papan atas tersebut tidak signifikan untuk mengajukan capres sendiri. Bahkan, mereka tidak cukup percaya diri bila hanya menggandeng satu partai sekadar memenuhi ambang batas persyaratan pengajuan pasangan capres. Sebab, dengan perolehan suara yang relatif me­nyebar (tidak ada yang dominan), menyisakan pekerjaan rumah tambahan bahwa yang tidak kalah penting dari memenangi pencapresan ialah melaksanakan pemerintahan yang efektif bila memenangi pilpres. Kabinet pemerintahan tidak akan berjalan baik bila tidak didukung oleh koalisi partai di parlemen. Karena itu, saat ini posisi tawar justru berada di tangan partai-partai tengah.

Pemberitaan media mengarahkan bahwa akan ada tiga capres yang bertarung. Yakni, Joko Widodo, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto. Nyaris semua melupakan posisi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin itu terjadi karena terlalu lambatnya Partai Demokrat memutuskan capresnya melalui konvensi atau karena sikap ''diam'' SBY pasca penghitungan cepat pileg, yang seakan-akan telah ''lempar handuk''.

Perkembangan berikutnya, SBY membuat manuver-manuver yang mencengangkan dan memberikan harapan adanya koalisi keempat bakal menyeruak. Tentu itu tidak terlepas dari kecerdikan salah seorang peserta konvensi PD, Dahlan Iskan, yang menyorongkan opini publik melawan ekspektasi umum. Dahlan menyatakan bahwa meskipun kepemimpinan SBY banyak diempas oleh isu-isu tidak sedap soal korupsi yang melibatkan oknum di dalam partainya, harus disadari bahwa selama SBY memimpin Indonesia relatif stabil dan semua sektor berjalan normal. Statemen Dahlan tersebut meyakinkan publik bahwa capaian-capaian yang telah dihasilkan pemerintah SBY hendaknya tidak dipatahkan begitu saja. Sebab, akibatnya bisa buruk bagi bangsa ini.

Bersamaan dengan itu, Joko Widodo, yang menurut hasil riset mempunyai popularitas tertinggi, mendapat kritik dari kalangan intelektual sebagai capres yang tidak (belum) mempunyai visi kepemimpinan yang jelas. Bahkan, Jokowi disebut-sebut terlalu mengekor kepada kehendak ketua umum partainya sehingga memberikan kesan sebagai capres boneka. Content-nya mirip dengan apa yang dituduhkan Prabowo kepada Jokowi menjelang pileg. Masih banyak kritik terhadap keberadaan Jokowi. Misalnya, soal kepemimpinannya yang belum teruji karena belum paripurna tugasnya sebagai gubernur DKI Jakarta. Kritik terhadap Jokowi itu sedikit banyak akan menggerogoti kepercayaan publik kepadanya.

Di sisi yang lain, legitimasi Prabowo digoyang melalui kasus pelanggaran HAM pada era awal reformasi. Begitu juga, Aburizal Bakrie digoyang oleh kubu mentor sendiri, Akbar Tanjung, agar pencapresan ARB dievaluasi. Reputasi Prabowo dan ARB digerogoti melalui intrik-intrik politik.

Keadaan seperti di atas mengakibatkan dominasi Jokowi, ARB, dan Prabowo meleleh sedikit demi sedikit. Sementara itu, berembus ekspektasi baru bahwa SBY mengambil langkah-langkah kreatif agar terjadi kesinambungan karyanya. Meskipun SBY sudah tidak boleh lagi mencalonkan diri sebagai presiden pada pilpres Juli mendatang, pengaruhnya masih cukup besar. Itu terbukti dengan perolehan suara Partai Demokrat yang tidak terlalu jatuh. Angka 9-10 persen merupakan bukti masyarakat masih percaya bahwa SBY sosok yang ''bersih'' (meski banyak kader PD yang terjerembap di tangan KPK).

Lantas, partai mana yang sudi digandeng SBY? Katakan PDIP bersanding dengan Nasdem dan PPP, Gerindra bergandeng dengan PAN dan PKS, Golkar bersinergi dengan Hanura dan partai kecil tersisa, maka yang masih masuk akal PD menggandeng PKB dan partai kecil tersisa. Akan sangat bagus bila PD berhasil menghidupkan kembali peserta koalisi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, antara lain, PAN, PKS, dan PBB.

Bila SBY berhasil melahirkan jagonya, pilpres bakal menarik karena akan banyak kejutan. Pilpres bakal berjalan kompetitif dengan perolehan suara sangat berimbang. Persis dalam cerita wayang Kangsa Adu Jago. Para mentor mempertaruhkan reputasinya melalui jago-jagonya. Minimal Megawati dan SBY akan membuktikan siapa yang paling berpengaruh dan dirindukan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar