Menunggu
Momen Lakon Mantan Adu Jago
Redi Panuju ;
Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas dr Soetomo Surabaya
|
JAWA
POS, 02 Mei 2014
PASCAHITUNG
cepat pileg, nyaris semua media seperti tersihir membingkai pemberitaannya
dengan tiga koalisi besar yang dibangun oleh tiga partai papan atas (PDIP,
Partai Golkar, dan Gerindra). Hal itu wajar karena lazimnya partai pemenang
pemilu dalam pileg mempunyai daya tawar yang tinggi mengusung pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden.
Namun,
perkembangan demi perkembangan menunjukkan bahwa tiga partai besar di atas
kesulitan membangun koalisi yang potensial untuk memenangi pilpres. Hal itu
juga wajar karena perolehan suara tiga partai papan atas tersebut tidak
signifikan untuk mengajukan capres sendiri. Bahkan, mereka tidak cukup
percaya diri bila hanya menggandeng satu partai sekadar memenuhi ambang batas
persyaratan pengajuan pasangan capres. Sebab, dengan perolehan suara yang relatif
menyebar (tidak ada yang dominan), menyisakan pekerjaan rumah tambahan bahwa
yang tidak kalah penting dari memenangi pencapresan ialah melaksanakan
pemerintahan yang efektif bila memenangi pilpres. Kabinet pemerintahan tidak
akan berjalan baik bila tidak didukung oleh koalisi partai di parlemen.
Karena itu, saat ini posisi tawar justru berada di tangan partai-partai
tengah.
Pemberitaan
media mengarahkan bahwa akan ada tiga capres yang bertarung. Yakni, Joko
Widodo, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto. Nyaris semua melupakan posisi
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin itu terjadi karena terlalu lambatnya
Partai Demokrat memutuskan capresnya melalui konvensi atau karena sikap
''diam'' SBY pasca penghitungan cepat pileg, yang seakan-akan telah ''lempar
handuk''.
Perkembangan
berikutnya, SBY membuat manuver-manuver yang mencengangkan dan memberikan
harapan adanya koalisi keempat bakal menyeruak. Tentu itu tidak terlepas dari
kecerdikan salah seorang peserta konvensi PD, Dahlan Iskan, yang menyorongkan
opini publik melawan ekspektasi umum. Dahlan menyatakan bahwa meskipun
kepemimpinan SBY banyak diempas oleh isu-isu tidak sedap soal korupsi yang
melibatkan oknum di dalam partainya, harus disadari bahwa selama SBY memimpin
Indonesia relatif stabil dan semua sektor berjalan normal. Statemen Dahlan
tersebut meyakinkan publik bahwa capaian-capaian yang telah dihasilkan
pemerintah SBY hendaknya tidak dipatahkan begitu saja. Sebab, akibatnya bisa
buruk bagi bangsa ini.
Bersamaan
dengan itu, Joko Widodo, yang menurut hasil riset mempunyai popularitas
tertinggi, mendapat kritik dari kalangan intelektual sebagai capres yang
tidak (belum) mempunyai visi kepemimpinan yang jelas. Bahkan, Jokowi
disebut-sebut terlalu mengekor kepada kehendak ketua umum partainya sehingga
memberikan kesan sebagai capres boneka. Content-nya
mirip dengan apa yang dituduhkan Prabowo kepada Jokowi menjelang pileg. Masih
banyak kritik terhadap keberadaan Jokowi. Misalnya, soal kepemimpinannya yang
belum teruji karena belum paripurna tugasnya sebagai gubernur DKI Jakarta.
Kritik terhadap Jokowi itu sedikit banyak akan menggerogoti kepercayaan
publik kepadanya.
Di sisi
yang lain, legitimasi Prabowo digoyang melalui kasus pelanggaran HAM pada era
awal reformasi. Begitu juga, Aburizal Bakrie digoyang oleh kubu mentor
sendiri, Akbar Tanjung, agar pencapresan ARB dievaluasi. Reputasi Prabowo dan
ARB digerogoti melalui intrik-intrik politik.
Keadaan
seperti di atas mengakibatkan dominasi Jokowi, ARB, dan Prabowo meleleh
sedikit demi sedikit. Sementara itu, berembus ekspektasi baru bahwa SBY
mengambil langkah-langkah kreatif agar terjadi kesinambungan karyanya.
Meskipun SBY sudah tidak boleh lagi mencalonkan diri sebagai presiden pada
pilpres Juli mendatang, pengaruhnya masih cukup besar. Itu terbukti dengan
perolehan suara Partai Demokrat yang tidak terlalu jatuh. Angka 9-10 persen
merupakan bukti masyarakat masih percaya bahwa SBY sosok yang ''bersih''
(meski banyak kader PD yang terjerembap di tangan KPK).
Lantas,
partai mana yang sudi digandeng SBY? Katakan PDIP bersanding dengan Nasdem
dan PPP, Gerindra bergandeng dengan PAN dan PKS, Golkar bersinergi dengan
Hanura dan partai kecil tersisa, maka yang masih masuk akal PD menggandeng PKB dan partai kecil tersisa. Akan sangat bagus
bila PD berhasil menghidupkan kembali peserta koalisi Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II, antara lain, PAN, PKS, dan PBB.
Bila SBY
berhasil melahirkan jagonya, pilpres bakal menarik karena akan banyak
kejutan. Pilpres bakal berjalan kompetitif dengan perolehan suara sangat
berimbang. Persis dalam cerita wayang Kangsa
Adu Jago. Para mentor mempertaruhkan reputasinya melalui jago-jagonya.
Minimal Megawati dan SBY akan membuktikan siapa yang paling berpengaruh dan
dirindukan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar