NU,
Khitah 1926, dan Pilpres 2014
Khitah 1926,
Quo Vadis?
Ma’mun Murod Al-Barbasy ;
Dosen Program Studi Ilmu Politik
Universitas
Muhammadiyah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 30 Mei 2014
Menyikapi
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, jagad NU (Nahdliyin) sepertinya begitu
gaduh. Banyak elite NU, baik di lingkup jam’iyah
(organisasi) maupun jama’ah
(paguyuban) yang ikut cawe-cawe
dalam Pilpres 2014.
Tak
kurang beberapa nama yang saat ini secara jam’iyah
masih menjabat sebagai pengurus NU maupun secara jamaah merupakan tokoh-tokoh
berpengaruh di lingkup kultural NU, terlibat secara langsung dalam politik
dukung mendukung terhadap pasangan capres-cawapres yang ada, hal yang
sebenarnya hanya lazim dilakukan oleh partai-partai politik.
Misalnya
KH Said Aqiel Siradj selaku ketua umum (tanfidziyah)
PBNU, KH Maemun Zubair (mustasyar PBNU sekaligus ketua Majelis Syariah PPP),
dan Ali Masykur Musa (ketua umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) secara
terang- terangan mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Sementara As’ad Said Ali
(wakil ketua umum PBNU), KH Hasyim Muzadi (rais syuriah), Khofifah Indar Parawansa (ketua Muslimat NU)
mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Dalam
kapasitasnya sebagai ketua umum GP Ansor, berbagai pernyataan Nusron Wahid
juga tegas mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Politik dukung-mendukung
juga dilakukan oleh mereka yang dikatagorikan sebagai NU jamaah. Belum lagi
masuknya Mahfud MD, sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta yang konon
juga mendapat dukungan banyak kiai NU.
Melalui
keputusan Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo, yang diperkuat dengan keputusan
Muktamar NU ke-27 1984 di tempat yang sama, NU secara tegas menyatakan kembali
ke khitah 1926 sebagai organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah) , sebagaimana ketika NU didirikan. Keputusan
ini merupakan peristiwa politik-keagamaan yang bersejarah bagi NU. Dengan
kembali ke Khitah 1926, secara jam’iyah
NU telah memutus keterkaitan panjang relasinya dengan partai politik.
NU
termasuk ormas keagamaan yang cukup lama terlibat dalam kubangan politik
praktis. Bersama-sama dengan Muhammadiyah, NU pernah menjadi anggota istimewa
Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) baik sebelum maupun selepas
Masyumi menjadi partai politik.
Merasa
kerap dikecewakan oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh elite politik
Masyumi, terutama dalam hal pembagian jatah menteri dan menipisnya peran
ulama di Masyumi, melalui Muktamar NU ke-19 tahun 1952 di Palembang, NU
memutuskan keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai
politik.
Pada
Pemilu 1955 NU berhasil masuk tiga besar secara nasional. Tidak berbeda jauh,
pada Pemilu 1971 yang penuh intimidasi dan teror rezim Orde Baru, NU mampu
memperoleh 10.215.650 (18,7%) suara dengan 58 kursi. Ketika rezim membuat
kebijakan politik berupa penyederhanaan partai, NU dan partai Islam lainnya:
Parmusi, PSII, dan Perti menyatakan fusi ke dalam PPP pada 5 Januari 1973.
Menyadari
bahwa keterlibatannya dalam politik praktis dirasa tidak lagi menguntungkan
bagi kepentingan NU sebagai jam’iyah, termasuk terjadinya konflik vertikal
dan horizontal di tubuh PPP menjelang Pemilu 1982, yang kemudian berimbas
pada konflik internal NU yang terpolarisasi pada dua kubu, yaitu Kubu Cipete
dan Kubu Situbondo, melalui Muktamar NU ke-27, NU menyatakan kembali ke
khitah.
Kembali
ke khitah, artinya kembali ke garis perjuangan ketika NU didirikan pada 31
Januari 1926. Sesuai dengan keputusan Muktamar Situbondo terkait dengan
pokok-pokok tentang Pemulihan Khitah NU 1926 tentang Hubungan NU dan Politik
disebutkan bahwa ”Hak berpolitik adalah
salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi
anggota NU. Tetapi NU bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis.”
Rumusan
ini begitu tegas, dengan menyebutkan bahwa sebagai jam’iyah , NU bukanlah wadah bagi kegiatan politik praktis.
Artinya NU tidak boleh dan tidak bisa ditarik-tarik ke ranah politik praktis.
NU tidak selayaknya ”berpolitik”
yang orientasinya ansich pada kekuasaan, yang secara sempit kerap dimaknai
sebagai ”siapa mendapatkan apa.” NU
semestinya tidak dibenarkan terlibat dalam politik dukung mendukung terhadap
kekuatan atau kandidat politik tertentu.
Dan
secara kelembagaan, sikap politik NU tentu saja terepresentasikan oleh
elite-elite NU dengan jabatan struktural yang disandangnya. Dengan demikian,
tak sepatutnya pula elite-elite struktural NU ”memperdagangkan” NU demi kepentingan-kepentingan politik yang
bersifat sesaat, yang lebih berorientasi kekuasaan dan bersifat pribadi.
Sebab kalau ini terjadi, lantas quo
vadis khitah?
Politik Dukung-Mendukung, Tak
Patut
Dengan
rumusan Khitah 1926 tersebut, menjadi tidak elok ketika elite struktural NU
terlibat dalam politik dukungmendukung. Tak patut elite struktural NU secara
demonstratif mempertontonkan sikap politiknya yang vis a vis dengan Khitah 1926. Tentunya, selain karena
bertentangan dengan Khitah 1926, juga dirasa tidak patut ”ditonton” oleh umat
(masyarakat).
Bagaimana
mungkin NU yang sudah tegas menyatakan kembali ke Khitah 1926, tapi perilaku
elitenya justru menabrak rambu-rambu Khitah. Umat pasti akan memaknai bahwa
politik dukung mendukung yang lakukan elite NU ini beraroma–dan sekadar ingin
mendapat porsi–kekuasaan. Dan kalaulah benar bahwa politik dukung-mendukung
yang dilakukan NU sekadar ingin mendapat porsi kekuasaan dalam pemerintahan
mendatang, tentu sangat disayangkan.
Menilik
sejarah kelahiran NU, rasanya harga yang terlalu murah bila NU terlibat dalam
politik dukung mendukung yang hanya berorientasi pada kekuasaan, di kala
sudah menyatakan kembali ke khitah. Tak sepatutnya organisasi seperti NU
(termasuk juga Muhammadiyah) yang selama ini sudah diposisikan sebagai
pengayom umat (rakyat) kemudian melakukan tindakan politik yang justru
mempunyai kecenderungan untuk membentur- benturkan umat (masyarakat).
Yakinlah,
umat lebih akan memberikan apresiasi dan bangga bila NU melakukan kerja-
kerja politik yang langsung bersinggungan dengan umat (masyarakat)
kebanyakan. Semestinya NU (dan juga Muhammadiyah) tetap dalam koridor sebagai
jam’iyah islamiyah. Kalau politik
dukung-mendukung yang dilakukannya sekadar untuk memperoleh jabatan-jabatan
politik, yakinlah bahwa siapa pun pemimpin yang terpilih di Indonesia dan
pemimpin tersebut memahami sejarah bangsanya, pasti tak akan pernah
menistakan NU (dan Muhammadiyah).
NU
(1926) dan Muhammadiyah (1912) sudah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka,
dan sumbangsih NU (dan Muhammadiyah) terhadap bangsa ini juga tak bisa
dinilai dengan apa pun. Biarlah politik dukung mendukung itu menjadi wilayah
kerja dari partai-partai politik.
Dalam
konteks kepentingan politik NU, biarlah kerja-kerja politik itu dilakukan
oleh partai yang mempunyai ikatan kesejarahan dengan NU, seperti Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di mana NU
merupakan salah satu unsur yang melakukan fusi di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar