Pengukuhan
Persatuan Bangsa
Firman Noor ;
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 30 Mei 2014
”...Americans who sent a message to the world that
we have never been just a collection of individuals or a collection of red
states and blue states. We are, and always will be, the United States of
America...as Lincoln said to a nation far more divided that ours, we are not
enemies but friends ...”
(Pidato
Kemenangan Obama, 5 November 2008)
Cuplikan
pidato tanpa judul Obama yang ditahbiskan sebagai salah satu dari pidato
terhebat abad ke-21 menginspirasikan bahwa ”luka-luka pertempuran” selepas
pemilihan presiden hendaknya harus diakhiri oleh sebuah kesadaran bahwa kita
semua pada akhirnya adalah kawan.
Pemilihan
presiden atau pemimpin politik dalam sejarahnya di banyak negara memang kerap
membuat masyarakat terbelah. Tak jarang, terutama di negara-negara miskin
atau berkembang, berakhir dengan pertikaian berdarah yang mengaburkan makna
sesungguhnya dari ”pemilihan” itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, pemilihan
presiden memang belum sampai pada level yang menimbulkan histeria atau
mengerikan bagi kemanusiaan.
Namun,
keterbelahan masyarakat sulit dimungkiri nampak telah demikian terasakan.
Fanatisme pendukung dan penolak sama kuatnya. Penghormatan terhadap
figur-figur kandidat telah mulai makin tergerus digantikan oleh keasyikan
menghajar hingga pada halhal yang tidak relevan sekalipun, seperti status
perkawinan atau latar belakang primordial. Bahkan beberapa telah masuk dalam
konteks fitnah, lebih dari sekadar black campaign .
Tampak
ada sebuah kekhawatiran yang melandasi aktivitas itu semua bahwa jika seorang
kandidat terpilih maka akan runtuhlah Indonesia dan segenap cita-cita luhur
yang dimilikinya. Kekhawatiran, yang ditingkahi oleh beragam kepentingan
lainnya, itulah yang nampaknya mendorong atau memotivasi munculnya fanatisme
buta laku politik rendah.
Dalam
nuansa sedemikian, demokrasi, yang membuka peluang dan harus mewujudkan
munculnya sebentuk kampanye yang kompetitif dan berimbang (Lipsitz, 2004), justru dapat menjadi
kontraproduktif bagi upaya membangun bangsa.
Alasan untuk Tidak Perlu Khawatir
Terlepas
dari mulai mengganjalnya kecurigaan negatif, yang kerap tidak pada tempatnya,
setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan pemilihan kali ini seharusnya
tidak perlu dikhawatirkan apalagi sampai memecah belah anak bangsa. Pertama
adalah pertarungan kali ini adalah pertarungan mereka yang termasuk kategori
terbaik yang dimiliki bangsa ini.
Baik
dalam makna figur capres dan cawapres itu sendiri maupun mereka yang berada
di balik layar dari para figur itu. Mereka memang mungkin bukan yang benar-
benar terbaik sepanjang masa. Namun, setidaknya dalam keterbatasan ruang dan
waktu saat ini, hampir semua yang tokoh terbaik ada dan berpihak secara
gamblang dalam dua kubu itu, mulai dari pusat hingga daerah-daerah.
Beberapa
di antara yang terbaik itu adalah termasuk yang tecerdas dan terhebat di
bidangnya. Tidak sedikit mereka yang bergelar profesor ataupun jenderal. Di
antara mereka ada juga yang masuk dalam kategori yang paling mumpuni,
dipercaya oleh banyak orang, bahkan sudah masuk dalam kategori guru bangsa.
Kedua kubu tidak diragukan memiliki tokoh-tokoh terhormat, yang tentu saja
dapat diharapkan untuk sanggup menghindari dari kenistaan berpolitik.
Kedua ,
masing-masing kubu, baik Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, memiliki dukungan
dari latar belakang organisasi yang beragam. Keduanya pun jelas ditopang oleh
sebuah koalisi pelangi, baik dalam makna keberagaman ideologis dari
partai-partai atau ormasormas pendukungnya.
Hampir
semua jenis ormas atau organisasi profesi ada dalam barisan pendukung di
masing-masing kandidat, mulai dari kelas bawah hingga atas, mulai dari yang
sekuler hingga religius, mulai dari komunitas inteligensia hingga para artis.
Kekuatan-kekuatan
yang selama ini ditengarai berseberangan atau berbeda kepentingan justru
menyatu bahumembahu dalam pemilihan kali ini. Kalangan ”kiri” menyatu dengan
kalangan pengusaha kakap. Kalangan dan tokoh Muhammadiyah ditopang oleh
kalangan dan tokoh NU, begitu juga sebaliknya. Pun kalangan ”liberal” bahu
membahu dengan kelompok-kelompok ”konservatif”.
Dengan
demikian, kedua kubu tak pelak adalah ”miniatur Indonesia”, yang sarat dengan
keberagaman. Dalam nuansa ini sebenarnya sulit terbayangkan bahwa presiden
terpilih akan dapat dengan mudah menjadi aktor tunggal yang mengusung sebuah
gaya kepemimpinan atau ideologi politik tertentu.
Dengan
kata lain, nuansa kolegial dan keberagaman semacam ini jelas tidak kondusif
bagi mewujudnya fasisme atau neo-lib, sebagaimana yang dikhawatirkan dan
disangkakan orang pada kandidat- kandidat tertentu. Ketiga , kedua kubu
samasama dengan tegas dan meyakinkan punya kepentingan yang jauh lebih besar
ketimbang sekadar kepentingan pribadi atau golongan. Jika ditilik dengan
saksama, semua agenda yang dimajukan adalah untuk kepentingan bangsa.
Penyampaiannya
pun dilakukan secara transparan atau terbuka, yang memungkinkan setiap orang
menilai dan akhirnya meminta pertanggungjawaban kepada mereka kelak. Dengan
bercokolnya banyak pihak yang berpengalaman, kebijakan-kebijakan itu jelas
bukanlah sesuatu yang mengadaada dan sekadar lip service. Dan jika ditilik lebih secara objektif dan jernih,
tidak ada sebuah perbedaan signifikan di antara kedua kubu, kecuali
aksentuasi atau skala prioritasnya.
Beberapa Kewajiban
Sebagai
lanjutan dari situasi tersebut, para kandidat terutama elite politik yang
tahu banyak persoalan yang darinyalah masyarakat kebanyakan beroleh landasan
keberpihakan harus memastikan bahwa ajang pemilihan presiden adalah ajang
terhormat dan bermartabat untuk memberikan yang terbaik bagi peningkatan
marwah bangsa. Ajang ini bukanlah ajang fitnah yang hanya akan merusak nama
baik perorangan, organisasi yang juga pada akhirnya nama baik bangsa.
Oleh
karena itu, sudah tepat, misalnya, apa yang diminta oleh Prof. Mahfud MD
bahwa tidak sepatutnya black campaign
itu dikedepankan. Selain itu, para elite politik– terutama yang telah
mewakafkan dirinya untuk turut serta menyukseskan kemenangan seorang
kandidat–harus pula berperan paling depan dalam memastikan bahwa apa saja
yang telah dijanjikan oleh figur dukungannya dapat terealisasi.
Dengan
kata lain, mengawal pelaksanaan janji-janji untuk mengukuhkan kebaikan bagi
semua. Sikap lepas tangan atau bahkan mengambil keuntungan pasca-pilpres
jelas merupakan sebuah blunder yang
hanya menumbuhkan antipati dari rakyat. Yang terakhir para kandidat dan elite
politik harus menunjukkan semangat kenegarawanan dengan bersama-sama
memulihkan keutuhan bangsa pasca pemilihan presiden.
Sebagaimana
yang diisyaratkan dari pidato Obama, bahwa harus ditunjukkan kepada dunia
bahwa pada akhirnya kita semua bukanlah warganya partai atau koalisi
tertentu, namun warga dari sebuah negara besar bernama Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar