Pasif
Menjaga Batas Negara
Ardi Winangun ;
Pernah mengunjungi Perairan Ambalat, Pulau Sebatik,
Kalimantan Utara; Perbatasan Indonesia-PNG, Skouw; dan Perairan Pulau Weh,
Kota Sabang, Aceh
|
OKEZONENEWS,
30 Mei 2014
Untuk
kesekian kalinya Malaysia melanggar batas negara. Terakhir pelanggaran batas
negara yang dilakukan negerinya Siti Nurhaliza itu melakukan pembangunan
mercusuar di wilayah Indonesia, di titik koordinat 02.05.053 N-109.38.370 E
Bujur Timur, sekitar 900 meter dari patok SRTP 1 di Tanjung Datu, Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat.
Malaysia
berulang kali melakukan tindak pelanggaran wilayah perbatasan Indonesia bisa
jadi menganggap bahwa wilayah-wilayah itu di bawah kekuasaan Malaysia. Hal
demikian bisa jadi wilayah tersebut masih berada dalam sengketa di mana
perjanjian kedua negara belum disepakati, bisa pula karena Malaysia secara
diam-diam ingin memperluas wilayah negaranya.
Wilayah
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia sebenarnya sudah banyak yang
diselesaikan dalam sebuah perjanjian, bahkan Indonesia telah menyerahkan
Pulau Sipadan dan Ligitan kepada negeri yang banyak didatangi para TKI dan
TKW itu. Meski sudah banyak kesepakatan ditandatangani namun Malaysia tidak
mempunyai komitmen dalam menjalankan kesepakatan itu. Berulang kali mereka
entah dengan sengaja atau memancing-mancing amarah melakukan aktivitas di
darat atau laut wilayah Indonesia.
Mengapa
Malaysia gemar membuat masalah di perbatasan? faktornya, pertama, pihak
Indonesia pasif menjaga wilayah perbatasan. Pihak terkait yang mengurusi
masalah perbatasan seperti TNI, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian
Luar Negeri, menjaga perbatasan hanya berdasarkan pada peta dan perjanjian
yang disepakati. Padahal di lapangan peta itu bisa berubah, entah karena
faktor alam atau manusia. Faktor alam dan manusia itulah yang bisa jadi
membuat pihak lain dan kita sendiri keliru dalam membaca peta yang ada.
Pihak
terkait, TNI khususnya, pasif menjaga perbatasan bisa jadi dikarenakan sarana
dan tenaga yang diperlukan untuk pasang mata dan telinga di wilayah itu
sangat kurang. Misalnya karena TNI pada kondisi keterbatasan alutsista dan
anggaran membuat dirinya tak bisa melakukan patroli dan lebih banyak duduk di
pos-pos jaga saja.
Keterbatasan
sarana dan tenaga inilah yang membuat TNI dalam menjaga perbatasan tidak
bergerak aktif atau menangkal pelanggar perbatasan namun baru bereaksi ketika
ada pihak-pihak yang masuk ke wilayah Indonesia tanpa ijin dan mengganggu
kedaulatan. Akibat yang demikian, tidak hanya Malaysia namun ratusan nelayan
asing dengan lenggang kakung mencuri ikan di perairan nusantara.
Kedua,
TNI sebagai pelaksana di lapangan penjaga perbatasan tidak pernah melakukan
tindakan yang bisa menimbulkan efek jera kepada para pelanggar perbatasan.
Meski tentara Diraja Malaysia sudah kesekian kalinya melakukan tindakan yang
tak senonoh di wilayah Indonesia namun TNI selalu berbuat lembut. Tak berbuat
sesuai doktrinnya ketika ada pengganggu kedaulatan bangsa. Sikap lembut itu
membuat pihak asing tak jera melakukan kesalahan yang sama.
Memang
TNI ketika melakukan sebuah tindakan itu harus berdasarkan perintah dari
Presiden dan DPR namun alangkah gagah dan beraninya bila TNI mengambil
inisiatif melakukan tindakan yang membuat mereka jera. Contoh, aksi heroik
Usman dan Harun di McDonal House, Singapura, ketika Indonesia melakukan
konfrontasi dengan negara-negara boneka Inggris membuat Singapura takut
kepada Indonesia dan negeri singa itu sampai saat ini tidak mempunyai masalah
dengan Indonesia dalam masalah wilayah perbatasan. Contoh lain, bagaimana
tentara China sangat agresif di Laut China Selatan sehingga membuat Amerika
Serikat, Jepang, Taiwan, dan beberapa negara ASEAN merinding. Jadi di sini TNI
harus lebih agresif. Untuk itu tiang-tiang pancang pembangunan mercusuar yang
sudah berdiri di perairan Tanjung Datu harus dicabut atau diamankan oleh
personil TNI yang bertugas di sana.
Ketiga,
tidak hanya TNI entah karena keterbatasan personel dan alutsista yang membuat
pasif dalam menjaga wilayah perbatasan namun pemerintah pusat dan daerah juga
abai dan mengampangkan masalah dalam menjaga wilayah perbatasan. Presiden dan
DPR biasanya memaafkan bila Malaysia melakukan pelanggaran batas wilayah. Dengan
dalih serumpun maka sikap maaf itu muncul. Perasaan serumpun inilah yang
membuat pemerintah kita tidak berani lantang kepada Malaysia. Akibatnya
mereka terus melakukan hal yang sama.
Kebijakan
pemerintah pusat dan daerah di wilayah perbatasan sama parahnya. Kalau kita
berkunjung ke Pulau Sebatik, kita akan merasakan perbedaan yang sangat
mencolok. Pulau di seberang lebih gemerlap daripada di Pulau Sebatik,
akibatnya roda perekonomian wilayah Indonesia di daerah perbatasan itu
tergantung pada Tawau, Malaysia.
Bila
pembangunan ekonomi di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, tidak digenjot akan berakibat pada
menipisnya rasa nasionalisme masyarakat akibat ketidakadilan pembangunan.
Ketika penulis berkunjung ke Nunukan, melihat ada masyarakat yang menggunakan
jersey Timnas Malaysia, kuning-hitam. Tak hanya itu, banyak pedagang kaos
yang menjual jersey tim yang berjuluk Harimau Malaya itu.
Hal-hal
demikianlah yang membuat wilayah perbatasan kita akan selalu terusik. Bila
ketiga hal di atas tidak diselesaikan maka pelanggaran batas yang dilakukan
Malaysia di perairan Tanjung Datu itu bukan yang terakhir. Mereka akan
mengulang sebab TNI tak tegas, pemerintah pemaaf, dan terkikisnya rasa
nasionalisme sebagian masyarakat karena masalah ketidakadilan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar