Moral
Lames Luhulima ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
03 Mei 2014
Pada
Selasa (29/4) pagi, mantan Wakil Presiden Hamzah Haz berkunjung ke harian
Kompas untuk bertemu dengan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama. Kendati
pemilihan umum legislatif baru saja lewat dan pemilihan langsung presiden
menjelang, Hamzah tidak banyak menyinggung masalah-masalah yang berkaitan
dengan dua peristiwa nasional tersebut.
Pagi
itu, Hamzah lebih banyak membahas masalah bangsa yang dianggapnya sangat
serius, serta memerlukan penanganan segera dan menyeluruh, yakni miskinnya
moral bangsa. Menurut dia, hal itu terlihat dari merajalelanya korupsi di
mana-mana. Tidak ada satu pun lembaga yang terbebas dari korupsi, mulai
lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Bahkan lembaga setingkat
Mahkamah Konstitusi pun tidak terbebas dari korupsi. Dan, tidak
tanggung-tanggung, yang terlibat adalah Ketua MK sendiri (saat itu), Akil
Mochtar.
Pada saat
ini, kata Hamzah, Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap sebagai malaikat
pemberantas korupsi. KPK dipercaya sebagai satu-satunya lembaga yang bisa
memberantas korupsi. Padahal, seharusnya tidak boleh begitu. Kepolisian dan
kejaksaan yang seharusnya berada di barisan terdepan dalam memberantas
korupsi. Namun, ia mengakui, masih ada banyak praktik korupsi yang terjadi di
kedua lembaga penegak hukum itu.
Prihatin
dengan miskinnya moral bangsa yang ditandai dengan merajalelanya korupsi,
Hamzah mendatangi beberapa organisasi kemasyarakatan, seperti Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah, serta lembaga-lembaga keagamaan yang ada, termasuk Majelis
Wali Gereja se-Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Semua
organisasi dan lembaga keagamaan yang ditemui berpendapat sama seperti
dirinya.
Ia
menegaskan, miskinnya moral bangsa itu tidak dapat dibiarkan terus
berlangsung, apalagi berkembang, harus ada orang yang maju ke depan dan mulai
melakukan perbaikan. Sesulit apa pun perbaikannya, tidak boleh menghalangi
tekad kita untuk melakukan perbaikan. Namun, pertanyaannya, siapa yang mau
mengambil inisiatif untuk ke depan dan memimpin gerakan nasional untuk
mengakhiri korupsi di negara ini.
Secara
cepat, pikiran yang muncul di benak adalah presiden yang dihasilkan pemilihan
langsung presiden, 9 Juli 2014, yang harus memimpin gerakan nasional itu.
Pikiran itu pulalah yang mendorong Hamzah menemui Ketua Umum Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Senin. ”Kita memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa
perbaikan moral bangsa,” ujar Hamzah.
Bukan sekadar taat
Selain
pemimpin yang taat beragama, Hamzah juga menyatakan, perlu dibangun lebih
banyak tempat ibadah. Karena dengan semakin banyak berdoa, semakin banyak
orang yang memiliki moral yang baik.
Namun,
sesungguhnya, pernyataan Hamzah hanya penyederhanaan masalah. Hal itu karena,
untuk memperbaiki moral bangsa, diperlukan lebih daripada sekadar orang-orang
yang banyak berdoa.
Hal itu
mengingat, moral tidak hanya berkaitan dengan agama, yakni dosa atau tidak
dosa, tetapi juga soal hukum, yakni benar atau salah, serta soal etika, yakni
baik atau buruk. Apalagi, masalah yang berkaitan dengan moral tersebut
biasanya bukan hitam-putih, melainkan abu-abu.
Misalnya,
seseorang mengakali (mengutak-utik) meteran listrik di rumahnya. Secara umum
dapat dikatakan tindakan itu salah karena dapat dikategorikan sebagai tindak
pencurian. Namun, penilaiannya menjadi tidak sesederhana itu ketika petugas
Perusahaan Listrik Negara itu yang menawarkan untuk mengakali meteran listrik
di rumah, dan hampir semua tetangganya melakukan hal tersebut. Tindak korupsi
juga sering-sering abu-abu sehingga banyak orang melakukannya tanpa rasa
bersalah.
Agama
mengajarkan kepada kita untuk menghormati orangtua kita dan juga menghormati
orang yang lebih tua. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, hubungan kita
dengan orangtua dan orang yang lebih tua sangat intens dan kompleks sehingga
kadang-kadang kita tidak menyadari bahwa kita berlaku kurang baik.
Selain
itu, ada pelajaran Budi Pekerti yang juga mengajarkan soal-soal seperti itu.
Soal seperti saat orangtua kita tengah berbicara dengan kita, kita harus
memperhatikan dan mendengarkan baik-baik. Jangan menunjukkan sikap tidak
peduli, atau menengok ke tempat lain (misalnya menonton TV), atau sambil
ber-SMS. Kalaupun kita harus menjawab telepon atau SMS, kita harus meminta
izin lebih dahulu.
Ada
banyak sekali hal yang berkaitan dengan moral yang diajarkan dalam pelajaran Budi Pekerti. Sayangnya pada saat ini
tidak banyak lagi sekolah yang mengajarkan Budi Pekerti.
Seperti
telah dikemukakan di atas, memperbaiki moral yang miskin itu sungguh tidak
mudah, bagai menegakkan benang basah. Namun, sesulit apa pun perbaikannya,
tidak boleh menghalangi tekad kita untuk melakukan perbaikan.
Perlu
disadari bahwa perbaikan moral itu memerlukan waktu lebih dari satu generasi.
Sejak usia dini anak-anak harus diajarkan untuk merasa malu, dan berjanji
untuk tidak melakukannya kembali, jika melakukan perbuatan yang secara moral
dianggap buruk.
Presiden
terpilih hasil pemilihan langsung presiden, 9 Juli mendatang, harus
memulainya dengan meletakkan dasar-dasar bagi pelaksanaannya.
Hal itu penting dilakukan mengingat masa jabatan seorang presiden hanya
lima tahun, dan hanya dapat dipilih kembali untuk periode lima tahun yang
kedua. Dengan peletakan dasar-dasar bagi pelaksanaannya, diharapkan presiden
terpilih berikutnya dapat melanjutkan langkah yang sudah dimulainya. Dan,
pada akhirnya miskinnya moral bangsa dapat diperbaiki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar