Sabtu, 03 Mei 2014

Manusia Indonesia 2019

Manusia Indonesia 2019

Saifur Rohman  ;   Pengajar Psikologi, Kepemimpinan di Unika, Semarang dan di UNJ
KOMPAS,  03 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Seorang caleg yang gagal ke Senayan meminta kembali 50 kompor gas yang telah dibagikan kepada warga Kelurahan Batang Rappe, Kecamatan Bacukiki, Parepare, Sulawesi Selatan.

Atas permintaan itu, seorang warga membanting kompor gas dan melapor ke pihak berwajib (10/4/2014). Tim sukses mengaku akan melaporkan ”tindakan tak semena-mena” warga lainnya.

Kasus itu menunjukkan betapa pemilu tak didasari niat baik membangun nilai-nilai kebangsaan. Demokratisasi diterjemahkan sebagai transaksi ekonomis. Ketika masyarakat cenderung transaksional, pertanyaan mendasar, bagaimana prospek manusia Indonesia lima tahun kemudian? Bagaimana pengembangan etika politik di Indonesia sebelum dan sesudahnya?

Percaya uang

Lebih dari 30 tahun gambaran manusia Indonesia hanya mengikuti konsep Mochtar Lubis. Dikatakan, manusia Indonesia itu percaya takhayul sehingga berge- rak atas dasar tanda-tanda dari ”orang pintar”. Pada kondisi terakhir, manusia Indonesia akan bergerak dari kepercayaan terha- dap takhayul menuju kepercayaan terhadap uang, cenderung pragmatis mengembangkan konsep keindonesiaannya.

Fakta di lapangan menunjukkan pragmatisme publik itu. Sekurang-kurangnya ada empat model yang sedang berkembang untuk membentuk sebuah pribadi sosial. Pertama, manusia Indonesia akan mengambil untung untuk hal sekecil apa pun secepat mungkin. Risiko yang muncul belakangan dianggap sebagai bagian dari probabilitas yang tak perlu dipikirkan karena tak selalu terjadi. Itu sebabnya, warga negara akan menjual surat suara karena langsung memberi untung.

Sebagai contoh, seorang caleg nomor 7 sebuah partai di Kabu- paten Nunukan, Kalimantan Utara, meminta kembali uang yang telah disebarkan kepada warga pada masa politik uang. Hal itu diduga karena kecewa terhadap warga yang tak memi- lihnya. Di TPS target sang calon hanya mendapat dua suara (sumber Kompas.com). Jumlah uang yang ”ditukar” dengan surat suara diperkirakan Rp 150.000. Keuntungan tersebut dihubungkan dengan upah harian yang diterima tiap warga karena pencoblosan dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang harus menghasilkan untung langsung. Pola pikir cash and carry dalam transaksi ekonomi telah jadi bagian dari kebiasaan berpolitik.

Kedua, manusia Indonesia tak mau susah untuk cita-cita bersama. Itu sebabnya, pertimbangan paling mudah dalam pemilihan adalah iming-iming kesejahteraan bagi warga Indonesia. Jadi, tak sulit menebak motivasi sebuah kampanye dengan cara menaikkan gaji PNS paling rendah Rp 5 juta. Soal yang terjadi, kalau ada yang lebih dari sekadar janji, mengapa saya tak ambil.

Ketiga, manusia Indonesia tak memikirkan risiko. Pragmatisme publik akan berhadapan dengan risiko sosial. Probabilitas ini tidak sering, tetapi bisa saja terjadi di mana pun. Bukti, tiga warga di Kelurahan Sabilambo, Kolaka, Sulawesi Tenggara, mendatangi kantor Panwas Kolaka (Jumat, 11/4/2014). Mereka melaporkan seorang caleg karena telah mengintimidasi agar mengembalikan uang yang mereka terima. Mereka juga tak terima ketika dituduh pengkhianat. Harga tiap suara rata-rata Rp 50.000 dan diberikan dua hari sebelum pemilihan.

Risiko yang muncul dari politik uang sering berdampak sosial sehingga akan melibatkan institusi lain dalam penyelesaian. Risiko ini disadari atau tidak berdampak luas dan besar ketimbang uang yang diberikan.

Keempat, gejala mental pragmatis ini menghasilkan interaksi sosial yang kontraproduktif. Calon yang gagal akan melarikan diri. Akibatnya destruktif personal maupun sosial. Bukti, seorang caleg di TPS 2 Dusun Cekocek, Bierem, Tambelangan, Jawa Timur, mengambil paksa kotak suara (Rabu, 9/4/2014). Mereka tak puas dengan hasil pemilihan yang diduga curang. Karena tak mampu menimbang risiko, tokoh-tokoh ini cenderung bertindak spontan yang berimplikasi terhadap tertib sosial.

Perlu terapi

Ciri-ciri sosial itu tidak mudah berubah sehingga bukan tak mungkin tetap ditemui hingga Pemilu 2019. Bila temuan itu benar, secara psikologis masyarakat memerlukan terapi realitas dan idealitas. Masyarakat mengidap penyakit mental yang harus disembuhkan. Kita harus berani menghadapi kenyataan faktual agar menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam konteks ini, manusia Indonesia mesti disadarkan terkait peran dan fungsi dalam kerangka besar menjadi Indonesia.

Persoalan yang dihadapi: misi kebangsaan digadaikan. Setelah mekanisme demokratisasi mendekati kenyataan, agaknya pemerintah gagal melakukan pendidikan politik yang realistis untuk mengembangkan nilai-nilai etis dalam berpolitik. Sistem politik pemerintahan tak efektif menjalankan misi kebangsaan karena digerakkan pribadi yang mengejar untung sesaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar