Cukup
Dua Partai
Putu
Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO,
22 Mei 2014
Akhirnya,
sudah resmi ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang bertarung
pada 9 Juli nanti. Artinya, ini pemilihan presiden (pilpres) yang irit. Ini
penting disebutkan karena pilpres akan berlangsung satu putaran. Partai yang
ada mampu berkoalisi dengan dahsyat.
Poros
PDIP yang mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkoalisi dengan Partai
NasDem, PKB, dan Hanura. Poros Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto dan
Hatta Rajasa berkoalisi dengan PAN, PKS, PPP, PBB, dan Golkar. Adapun
Demokrat memilih netral, sampai batas akhir tak punya teman koalisi dan sibuk
mengurusi konvensi yang sudah jelas tak ada manfaatnya. Satu partai kecil
lagi, PKPI, tak ada kabar beritanya.
Proses
koalisi menarik. PPP sempat pecah, namun belakangan mantap ke poros Gerindra.
PPP dan PKS sempat mengancam saat Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN, menjadi
cawapres Prabowo. Tapi akhirnya bisa menerima. Golkar, pemenang kedua, paling
seru, ngebet betul ke poros PDIP.
Tapi, karena permintaannya banyak, sedangkan Jokowi mengisyaratkan koalisi
tanpa syarat, Aburizal Bakrie lari ke Gerindra. Prabowo menjanjikan Aburizal
jabatan menteri utama yang bertugas mengkoordinasi sejumlah menteri di bidang
ekonomi. Golkar pun bergabung.
Apa
artinya? Koalisi itu memang untuk membagi kekuasaan. Koalisi di poros Jokowi
pun tak akan seratus persen tanpa syarat, itu hanya kata-kata indah. Kata
indah lainnya adalah koalisi terbentuk karena kesamaan platform partai.
Bagaimana menjelaskan hal ini kalau bertahun-tahun partai itu bersaing?
Pelajaran
dari hiruk-pikuk koalisi ini, jumlah partai terlalu banyak, ada 12. Dua saja
sudah cukup. Atau, kalau ditambah, satu lagi. Caranya, resmikan koalisi saat
ini sebagai partai baru. Dengan dua atau tiga partai, kita lebih siap
menyongsong Pemilu 2019 yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai pemilu serentak. Artinya, tak ada lagi pemilu legislatif dan pemilu
presiden. Yang ada satu pemilu untuk memilih DPR, DPRD, DPD, dan Presiden.
Pasangan capres dan cawapres pun diusung oleh "partai atau gabungan
partai peserta pemilu" sesuai dengan bunyi konstitusi. Dengan dua atau
tiga partai, jumlah pasangan capres dan cawapres ada dua atau tiga pula.
Bayangkan kalau partai itu tetap 12, berarti ada kemungkinan pasangan capres
dan cawapres juga 12, karena memang dibolehkan konstitusi. Tak ada urusan
lagi dengan jumlah kursi atau perolehan suara karena kursi atau suara itu
justru dicari pada saat yang bersamaan.
Memang
koalisi boleh karena konstitusi menyebutkan pasangan capres dan cawapres bisa
diusung "gabungan partai". Tapi, kalau partai masih banyak,
bagaimana caranya koalisi sementara memilih DPR dan DPRD masing-masing partai
bersaing. Tentu rumit, partai berjuang untuk meraih kursi, sedangkan ada
pasangan capres-cawapres yang diusung dengan cara bergabung.
Pelajaran
dari pemilihan presiden 2014 ini bisa dijadikan tonggak penyederhanaan
partai. Toh, koalisi saat ini juga banyak mengecewakan rakyat karena suara
mereka seenaknya digabung. Orang mencoblos partai A karena tak suka partai B,
tiba-tiba A dan B koalisi, suara rakyat dipermainkan. Mari ciutkan jumlah
partai, hanya dua atau paling banyak tiga. Ini bisa mengurangi hiruk-pikuk
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar