Menakar
Capres Idol
Dewi
Haroen ; Pengajar Psikologi Universitas Trisaksi, Pakar Personal
Branding
|
REPUBLIKA,
02 Mei 2014
We
campaign in poetry. But when we are elected we are forced to govern in prose. Mario Cuomo (Mantan Gubernur New York)
Personal branding kini marak
digunakan di dunia politik. Salah satu pemicunya, menurut hemat saya, adalah
fenomena Obama yang membukakan mata orang tentang perlunya membangun personal
brandyang kuat untuk memenangkan persaingan yang ketat di dunia politik.
Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan presiden secara langsung
tahun 2004 dan 2009 pun tak lepas dari strategi personal branding yang tepat.
Sayangnya, akhir-akhir ini
banyak terjadi penyimpangan dari penerapan strategi personal brand oleh
politisi dan konsultan politik di Indonesia. Masyarakat tidak melihat adanya
keterkaitan antara personal brand atau citra diri yang dikomunikasikan pada
waktu "jualan" (kampanye) dengan kinerja personalnya setelah
terpilih.
Dalam kontestasi capres yang
terjadi adalah seperti ajang pencarian idola. Alhasil yang lebih riuh adalah
para suporter calon-calon presiden yang akan bertarung. Suporter capres
terjebak pada konsep saling menjelek-jelekkan dan menjatuhkan rivalnya. Hal
ini bukanlah praktik demokrasi yang sehat dan bukanlah warisan yang baik bagi
generasi mendatang dalam contoh aktualisasi demokrasi.
Dalam kontes idol bukan berarti
yang bagus yang selalu menang, melainkan yang laku di pasaranlah yang menjadi
pemenang. Elektabilitas menjadi hal yang diutamakan dan didewa-dewakan. Padahal,
sejatinya elektabilitas seseorang dapat luruh, jatuh apabila tiada ditopang
dengan kompetensi yang memadai. Menurut hemat saya, sejak semula para capres
harus menekankan bahwa masalah negeri ini begitu banyak dan kompleks. Untuk
mengurai sengkarut permasalahan ini perlu waktu dan perlu merangkul banyak
elemen di masyarakat.
Visi misi capres
Menurut hemat saya, para capres
harus mengungkap visi misinya secara benderang kepada publik. Dengan demikian,
publik akan dapat menakar para capres secara jernih. Dengan mengujarkan visi
misi serta penyikapan terhadap sejumlah isu tertentu maka rakyat juga dapat
dengan fasih menagih janji sang pemimpin apabila terpilih. Rakyat tidak
sekadar memberikan cek kosong kepada pemimpin untuk kemudian digunakan secara
ugal-ugalan ketika memerintah.
Dalam visi misi yang diungkapkan
diperlukan sikap humble dari para
capres untuk mengajak segenap elemen bangsa menyukseskan pembangunan. Semangatnya
adalah kebersamaan dan rekonsiliasi. Diterangkan kepada publik bahwa situasi
bangsa ini berat adanya. Sebut saja dengan ketimpangan yang nyata antara si
kaya dan si miskin (tecermin dalam indeks koefisien Gini sebesar 0,41), masih
banyaknya warga miskin, konflik yang meletup dan mengganggu keamanan, dan
lain sebagainya.
Para capres dalam visi misinya
dapat mengurai bagaimana caranya menyejahterakan rakyat, bagaimana caranya
mengatasi korupsi yang telah membudaya di negeri ini, bagaimana peran Indonesia
di dunia internasional, dan tentu saja masih banyak area yang dapat dijangkau
oleh visi misi para kandidat.
Dengan demikian ada
diferensiasi, ada distingsi, ada kejelasan konsep dari para capres. Dengan
mengungkapkan hal tersebut maka sejatinya para capres menunjukkan proses branding yang asli, otentik dan nyata.
Rakyat tidak dibuai dengan artifisial, suguhan konsep mitologi kepemimpinan.
Rakyat dicerdaskan untuk sama-sama membangun bangsa ini.
Saya percaya bahwa untuk mendapatkan
hasil branding yang sejati, yang mampu bertahan lama dan memberikan manfaat
yang maksimal, maka pilihannya mutlak hanya satu, yaitu kita harus melandasi
proses-proses brandingitu bersumber dari bukti-bukti yang otentik, nyata, dan
asli. Jika tidak, pasti hasilnya akan cepat sirna dan membuat publik akhirnya
kecewa.
Menakar para kandidat
Ada tiga nama yang menyeruak
sebagai kandidat capres pada Pilpres 2014. Ketiga nama yang terbentang di
benak publik adalah Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie.
Ada beberapa langkah yang perlu
dilakukan Jokowi agar personal branding-nya
menguat. Langkah itu, antara lain, fokus pada kinerja serta menampakkan
prestasi dalam sisa waktu tiga bulan memimpin Jakarta dan menunjukkan brand yang asli serta bukan manipulasi
atau hasil rekaan media. Jokowi juga harus menunjukkan
pengabdian pada kemashalatan rakyat, bukan ke partai atau kelompok. Dia perlu
bersikap tegas dan menjaga jarak dengan Megawati sehingga tidak lagi
dipersepsi sebagai capres boneka.
Pada Prabowo Subianto, untuk
menguatkan personal branding-nya
adalah dengan mengikis sifatnya agar jangan terlalu arogan. Selain itu, mantan
danjen Kopassus ini juga jangan terlalu frontal menyerang Jokowi. Ingat bahwa
publik negeri ini tidak terlampau suka dengan pemimpin yang berkarakter
agresif, ofensif, dan mencecar kelemahan lawan.
Sedangkan pada Aburizal Bakrie,
menurut hemat saya, telah mengubah strategi kampanyenya. Dalam kampanye di
media yang lebih ditekankan adalah berbuat terbaik untuk rakyat. Aburizal
Bakrie kiranya dapat lebih fokus pada sejumlah rekam jejak keberhasilannya. Hal
ini sekaligus untuk mengimbangi tone negatif yang diterimanya terkait dengan
permasalahan lumpur Lapindo ataupun tata kelola perusahaan miliknya.
We
campaign in poetry. But when we are elected we are forced to govern in prose. Kiranya
para capres dalam menarasikan "puisinya" dapat menguraikan visi
misinya, program kebijakan yang diusungnya. Sehingga, apabila nanti terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia "prosa" besar berupa
kerja-kerja nyata dapat teraktualisasikan dan terujikan bersama waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar