Senin, 05 Mei 2014

Menakar Capres Idol

Menakar Capres Idol

Dewi Haroen  ;   Pengajar Psikologi Universitas Trisaksi, Pakar Personal Branding
REPUBLIKA, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
We campaign in poetry. But when we are elected we are forced to govern in prose. Mario Cuomo (Mantan Gubernur New York)

Personal branding kini marak digunakan di dunia politik. Salah satu pemicunya, menurut hemat saya, adalah fenomena Obama yang membukakan mata orang tentang perlunya membangun personal brandyang kuat untuk memenangkan persaingan yang ketat di dunia politik. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 dan 2009 pun tak lepas dari strategi personal branding yang tepat.

Sayangnya, akhir-akhir ini banyak terjadi penyimpangan dari penerapan strategi personal brand oleh politisi dan konsultan politik di Indonesia. Masyarakat tidak melihat adanya keterkaitan antara personal brand atau citra diri yang dikomunikasikan pada waktu "jualan" (kampanye) dengan kinerja personalnya setelah terpilih.

Dalam kontestasi capres yang terjadi adalah seperti ajang pencarian idola. Alhasil yang lebih riuh adalah para suporter calon-calon presiden yang akan bertarung. Suporter capres terjebak pada konsep saling menjelek-jelekkan dan menjatuhkan rivalnya. Hal ini bukanlah praktik demokrasi yang sehat dan bukanlah warisan yang baik bagi generasi mendatang dalam contoh aktualisasi demokrasi.

Dalam kontes idol bukan berarti yang bagus yang selalu menang, melainkan yang laku di pasaranlah yang menjadi pemenang. Elektabilitas menjadi hal yang diutamakan dan didewa-dewakan. Padahal, sejatinya elektabilitas seseorang dapat luruh, jatuh apabila tiada ditopang dengan kompetensi yang memadai. Menurut hemat saya, sejak semula para capres harus menekankan bahwa masalah negeri ini begitu banyak dan kompleks. Untuk mengurai sengkarut permasalahan ini perlu waktu dan perlu merangkul banyak elemen di masyarakat.

Visi misi capres

Menurut hemat saya, para capres harus mengungkap visi misinya secara benderang kepada publik. Dengan demikian, publik akan dapat menakar para capres secara jernih. Dengan mengujarkan visi misi serta penyikapan terhadap sejumlah isu tertentu maka rakyat juga dapat dengan fasih menagih janji sang pemimpin apabila terpilih. Rakyat tidak sekadar memberikan cek kosong kepada pemimpin untuk kemudian digunakan secara ugal-ugalan ketika memerintah.

Dalam visi misi yang diungkapkan diperlukan sikap humble dari para capres untuk mengajak segenap elemen bangsa menyukseskan pembangunan. Semangatnya adalah kebersamaan dan rekonsiliasi. Diterangkan kepada publik bahwa situasi bangsa ini berat adanya. Sebut saja dengan ketimpangan yang nyata antara si kaya dan si miskin (tecermin dalam indeks koefisien Gini sebesar 0,41), masih banyaknya warga miskin, konflik yang meletup dan mengganggu keamanan, dan lain sebagainya.

Para capres dalam visi misinya dapat mengurai bagaimana caranya menyejahterakan rakyat, bagaimana caranya mengatasi korupsi yang telah membudaya di negeri ini, bagaimana peran Indonesia di dunia internasional, dan tentu saja masih banyak area yang dapat dijangkau oleh visi misi para kandidat.

Dengan demikian ada diferensiasi, ada distingsi, ada kejelasan konsep dari para capres. Dengan mengungkapkan hal tersebut maka sejatinya para capres menunjukkan proses branding yang asli, otentik dan nyata. Rakyat tidak dibuai dengan artifisial, suguhan konsep mitologi kepemimpinan. Rakyat dicerdaskan untuk sama-sama membangun bangsa ini.

Saya percaya bahwa untuk mendapatkan hasil branding yang sejati, yang mampu bertahan lama dan memberikan manfaat yang maksimal, maka pilihannya mutlak hanya satu, yaitu kita harus melandasi proses-proses brandingitu bersumber dari bukti-bukti yang otentik, nyata, dan asli. Jika tidak, pasti hasilnya akan cepat sirna dan membuat publik akhirnya kecewa.

Menakar para kandidat

Ada tiga nama yang menyeruak sebagai kandidat capres pada Pilpres 2014. Ketiga nama yang terbentang di benak publik adalah Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie.

Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan Jokowi agar personal branding-nya menguat. Langkah itu, antara lain, fokus pada kinerja serta menampakkan prestasi dalam sisa waktu tiga bulan memimpin Jakarta dan menunjukkan brand yang asli serta bukan manipulasi atau hasil rekaan media. Jokowi juga harus menunjukkan pengabdian pada kemashalatan rakyat, bukan ke partai atau kelompok. Dia perlu bersikap tegas dan menjaga jarak dengan Megawati sehingga tidak lagi dipersepsi sebagai capres boneka.

Pada Prabowo Subianto, untuk menguatkan personal branding-nya adalah dengan mengikis sifatnya agar jangan terlalu arogan. Selain itu, mantan danjen Kopassus ini juga jangan terlalu frontal menyerang Jokowi. Ingat bahwa publik negeri ini tidak terlampau suka dengan pemimpin yang berkarakter agresif, ofensif, dan mencecar kelemahan lawan.

Sedangkan pada Aburizal Bakrie, menurut hemat saya, telah mengubah strategi kampanyenya. Dalam kampanye di media yang lebih ditekankan adalah berbuat terbaik untuk rakyat. Aburizal Bakrie kiranya dapat lebih fokus pada sejumlah rekam jejak keberhasilannya. Hal ini sekaligus untuk mengimbangi tone negatif yang diterimanya terkait dengan permasalahan lumpur Lapindo ataupun tata kelola perusahaan miliknya.

We campaign in poetry. But when we are elected we are forced to govern in prose. Kiranya para capres dalam menarasikan "puisinya" dapat menguraikan visi misinya, program kebijakan yang diusungnya. Sehingga, apabila nanti terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia "prosa" besar berupa kerja-kerja nyata dapat teraktualisasikan dan terujikan bersama waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar