Potret
Pendidikan Ideal
Edi
Sugianto ; Pemerhati Pendidikan
|
REPUBLIKA,
02 Mei 2014
Generasi bangsa Indonesia saat
ini memang sudah benar-benar sakit. Pergaulan bebas yang kian marak di
tengah-tengah mereka seakan tak terbendung.
Proses modernisasi yang tak
terbendung akan menghancurkan karakter dan budaya bangsa hingga titik nadir.
Seks bebas, minum-minuman keras, dan sejenisnya sudah menjadi hal yang lumrah
di kalangan remaja. Tentu kita akan mengelus dada, apa yang salah dengan
pendidikan kita, sistem atau orang yang menjalankannya? Di mana lagi anak-anak
kita akan disekolahkan?
Tujuan pendidikan nasional kita
sepertinya sudah mati suri. Kurikulum pendidikan moral, agama, karakter di
sekolah-sekolah hanya sebatas teori kosong. Kurikulum yang sama sekali tidak
memberi bekas terhadap watak dan budaya siswa.
Tanpa maksud menafikan lembaga
lain, bahwa masalah karakter rupanya lembaga sekolah di negeri ini harus belajar
banyak dari tradisi "pesantren". Sebab, karakter bukan pelajaran di
atas kertas, melainkan sesuatu yang memerlukan pembudayaan dalam kehidupan
sehari-hari, secara kontinu selama 24 jam, dari bangun tidur sampai tidur
lagi. Dan pesantren eksis dengan budaya tersebut.
Rencana Kemendikbud menjadikan
pendidikan karakter dan antikorupsi menjadi utopis, sebab pendidikan karakter
tidak lain adalah pembudayaan itu sendiri. Budaya Islami, tarbawi dan ma'hadi (baca: pendidikan pesantren).
Pendidikan karakter dimaknai
seperti garam yang selalu memberi rasa pada setiap pembelajaran di sekolah.
Tidak seperti gincu yang hanya menghiasi kecantikan palsu belaka.
Di pesantren, kurikulum 24 jam
disebut dengan "kurikulum berbasis hidup dan kehidupan". Sejak dini
para santri/siswa dibekali pamahaman hakikat mencari ilmu (thalibul ilmi). Bahwa tujuan mencari
ilmu semata-mata untuk mengabdi kepada Tuhan Sang Pencipta semua ilmu. Bukan
ilmu untuk sekadar ijazah, title, cari kerja, dan tujuan-tujuan sempit
lainnya. (Al-Amien: 2008)
Pemahaman hakikat mencari ilmu
tersebut, sesungguhnya tecermin dari fungsi implementasi manusia sebagai
hamba (a'bit) sekaligus wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Khalifah
yang menjaga bumi dari kehancuran fisik ataupun nonfisik (fitrah manusia).
Keunggulan pesantren Idris
Jauhari (2002) menyatakan bahwa pendidikan pesantren tidak hanya berciri khas
budaya karakter. Lebih dari itu, pesantren memiliki keunggulan-keunggulan (exelences) yang sudah lama membudaya.
Dan akhir-akhir ini juga baru didengungkan dan dirasakan lembaga-lembaga
lain.
Pertama, Community Based Education. Sebagai lembaga pendidikan yang
berasal, dikelola oleh dan untuk umat. Tentu fungsi pengabdian dan pember-
dayaan masyarakat (agent of social
development) sudah menjadi praktik sehari- hari di lingkungan pesantren.
Kedua, School Based Manegemen. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi yang
digulirkan pemerintah tempo lalu, dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan
sekolah. MBS tersebut sangat penting diimplementasikan, mengingat pengelola
sekolah menempati posisi paling dekat dengan anak didik.
Penerapan sistem MBS diyakini
akan memudahkan kepala sekolah untuk mengatur para guru dan permasalahan di
sekolah dengan efektif, efisien, sehingga pembelajaran yang dilakukan lebih
produktif. Dan juga akan meningkatkan hubungan harmonis dengan masyarakat
sehingga dengan mudah melibatkan mereka secara aktif dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan sekolah dan pendidikan.
Paradigma MBS sudah lama
terpatri dalam ruh pendidikan pesantren. Sebab, pesantren berdiri di atas
prinsip-prinsip perjuangan, pengorbanan, jihad, ijtihad, mujahadah. Dan
dijiwai oleh kemandirian, keiklasan, kesederhanaan, percaya diri,
persaudaraan, kebersamaan, serta kebebasan berpikir positif dan produktif.
Ketiga, berbasis pembelajaran
bukan pengajaran. Seperti dijelaskan di atas, bah wa dalam pendidikan
pesantren yang lebih mengutamakan upaya-upaya pengasuhan, pembinaan, dan
pembudayaan. Guru tidak sekadar mengajar, namun harus siap menjadi teladan (uswah), sahabat siswa (shuhbah), dan dai (dakwah).
Keempat, Competence Oriented. Il mu nafi' (bermanfaat) menjadi orientasi
utama dalam pendidikan, karena pendidikan pesantren tidak saja bertujuan
mencetak manusia kompeten dari sisi kognitif, psikomotorik, melainkan
terintegral dengan kompetensi afektif (sikap). Sehingga ilmu yang dimiliki
siswa hendaknya diamalkan dengan benar (berilmu amaliyah) dan tindakannya di
lakukan atas dasar ilmu (beramal ilmiyah). Tak berlebihan jika dikatakan,
pesantren sebagai lembaga pendidikan, layak dijadikan contoh ideal bagi lembaga-lembaga
pendidikan modern. Sebab, di satu sisi pesantren memiliki visi dan misi yang
begitu integral, progresif, dan proporsional.
Pada sisi lain, sistem dan dinamika
pendidikan pesantren pun berjalan sangat akrab dengan kehidupan masyarakat.
Hal ini lahir dari prinsip Mutual-Binift;
pendidikan tak akan pernah berkembang tanpa masyarakat dan masyarakat pun
akan lunglai tanpa pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar