Jumat, 02 Mei 2014

Teologi Pembebasan Buruh

Teologi Pembebasan Buruh

Tom Saptaatmaja  ;   Teolog
KORAN SINDO, 01 Mei 2014

                                                                                         
                                                             
”Upah murah hanya cocok untuk orang mati” (Paus Fransiskus) Mulai tahun ini Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2014 dinyatakan sebagai hari libur nasional di negeri kita.

Menurut sejarah, pada 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja. Polisi Amerika Serikat kemudian menembaki para demonstran sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya dihukum mati. Pada bulan Juli 1889 Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai Hari Buruh Sedunia atau May Day.

Meski begitu, kita tentu menghormati mereka yang tak memilih 1 Mei sebagai Hari Buruh. Misalnya, masih ada elemen buruh yang punya agenda Hari Pekerja Indonesia setiap 20 Februari. Apapun yang dipilih, hari khusus buruh itu bisa dijadikan momentum untuk merefleksikan sepak terjang para buruh dan perjuangan mereka selama ini. Jika kita memikirkan dunia kerja, dunia kaum buruh di negeri ini, ibaratnya memang sedang berada dalam sikon dan dilema yang sangat pelik dan keruh.

Di sisi penawaran, telah terjadi ”labour surplus”, mengingat terbatasnya lapangan kerja baru. Tidak heran jika akhirnya sebagian dari penganggur itu memilih menjadi buruh migran di Hong Kong, Malaysia, Timur Tengah dengan risiko dilecehkan, diperkosa, dihamili, dihajar majikan, bahkan sampai antre untuk dihukum mati. Di negeri sendiri, bekerja menjadi buruh yang hanya menawarkan tenaga kepada para pemilik modal kadang menjadi pilihan yang dilematis.

Kahlil Gibran, pujangga asal Libanon, pernah bertutur kerja se-harusnya menjadi aktualisasi diri, menjadi ungkapan kehidupan sehingga menghasilkan karya yang berarti. Tapi dalam realita, para buruh harus bekerja dengan menjual peluh, dengan upah yang tidak mencukupi untuk hidup layak, sehingga bukan aktualisasi diri yang terjadi tetapi alienasi diri. Para buruh kita makin terasing dengan hidup dan pekerjaannya. Memang, sejak 2013 lalu ada kenaikan UMK provinsi, kota, dan kabupaten.

Semisal, UMK Surabaya naik dari Rp1.740.000 pada 2013 menjadi Rp2,2 juta per bulan. Sedangkan, UMP Jakarta pada 2014 adalah Rp2.441.301 naik 9% dari UMP 2013 sebesar Rp2.200.000. Tapi jujur, apa yang bisa dilakukan oleh para buruh dengan upah sebesar itu? Paling habis untuk biaya makan sehari-hari, apalagi jika si buruh adalah satu-satunya yang bekerja dalam keluarganya.

Jangan tanya biaya berobat atau angsuran rumah. Di sudut- sudut Jakarta atau Surabaya, masih banyak buruh terpaksa kos di tempat yang kurang memenuhi standar kesehatan. Untuk MCK saja, masih di sungai yang jelas sudah sangat tercemar. Maka beruntung sekali jika di tengah situasi demikian, para buruh masih punya majikan yang bernurani dan tidak berbisnis demi mengajar profit semata. Sayang pengusaha yang punya nurani dan peduli itu, jumlahnya kian sedikit.

Simak saja, masih banyak pengusaha yang meminta penangguhan UMK, sehingga faktanya masih banyak buruh diupah di bawah standar UMK. Apalagi di tengah arus deras globalisasi ekonomi saat ini, dunia kerja kita, kian didominasi para pengusaha dan pemodal asal mancanegara yang rata-rata hanya berorientasi uang semata. Istilah ”globalisasi” sebenarnya mengacu kepada makin menyatunya unit-unit ekonomi di dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia. Secara konkret bisa digambarkan begini.

Sepatu yang kita pakai bisa jadi kain atau karetnya dibuat para buruh di Surabaya, lemnya dari Malaysia, lambangnya dari Italia atau Prancis. Setelah jadi, sepatu dipasarkan di Amerika atau dibeli oleh para turis dari Amerika Latin. Para pemodal atau pengusaha mancanegara seperti itu sering mengukur segala hubungan dengan para buruhnya hanya dari sudut pandang uang saja. Para buruh bisa diperlakukan seperti tisu, yang bisa dipecat atau dibuang seenaknya.

 Maklum, ideologi mereka adalah kapital atau modal saja. Kapitalisme memang hanya menomorsatukan modal atau uang. Martabat manusia menjadi urusan ke sekian. Maka, dunia kerja kita pun secara umum masih menyimpan masalah laten terkait relasi buruh-pengusaha yang tidak harmonis.

Buruh merasa hanya dieksploitasi untuk terus bekerja, seperti tampak pada tingginya angka kecelakaan kerja. Pengusaha selalu melihat buruh dengan sebelah mata. Padahal, Bertrand Russel pernah menulis, kepemilikan modal (kapital) tidak akan berarti tanpa buruh (Russel, 1988).  

Pengusaha seperti diungkapkan Sofjan Wanandi (Ketua Apindo) menilai ada politisasi dalam pergolakan buruh akhirakhir ini; padahal para buruh sebenarnya hanya memperjuangkan aspirasi mereka demi upahyanglayak. Jikasetiappihak hanya melihat semua masalah dari sudut pandangnya sendiri dan tidak ada yang memediasi, ke depan bisa mendorong terciptanya situasi ”zero sum game” yang mengakibatkan perusahaan dan buruh sama-sama terkapar.

Dalam kondisi terkapar, jelas para buruh lebih menderita. Dalam kondisi seperti itu, para buruh jelas tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri. Perlu solidaritas dari kalangan nonburuh, seperti agamawan, wartawan, atau orang-orang media dan para aktivis kemanusiaan yang memiliki kepedulian. Siapa pun perlu menjadi mediator agar relasi buruh-pengusaha ke depan tidak saling meniadakan.

Dalam situasi demikian, boleh jadi memang diperlukan teologi pembebasan buruh. Sudah sejak lama agama apa pun memikirkan mereka yang tertindas dan menderita. Namun dalam realita, baru teologi pembebasan yang lahir pada akhir dekade 1960-an di Amerika Latin yang sungguh memikirkan secara khusus penindasan atas kaum miskin (dalam hal ini buruh).

Karena, basis refleksi teologi pembebasan adalah kaum miskin, lalu dari sana membuat sistematisasi teologi tentang kaum tertindas dan solusi pembebasannya (lihat M Maier: Theologie der Befreiuang Latein Amerikaa, hal 730-731). Lagi pula teologi pembebasan tidak dimulai dari teori, tapi langsung dengan praksis (praktik sekaligus teori) agar yang lemah tidak dibiarkan ditindas terus.

Maka, lewat teolog pembebasan, siapa pun yang peduli pada kaum buruh yang masih tertindas tidak diajak untuk mengantar orang pada refleksi teoritis yang abstrak, tapi bagaimana menuntun siapa pun untuk sampai pada pilihan etis memperjuangkan tegaknya keadilan bagi perbaikan nasib kaum buruh. Tentu caranya tidak harus konfrontatif. Bahkan, pengusaha pun, yang tercerahkan oleh teologi ini, bisa mengambil keputusan sendiri semisal dengan tidak lagi memberi upah murah.

Seperti ditulis di awal tulisan ini, Paus Fransiskus memang mencoba mengetuk hati para pengusaha sejagatraya untukmemberiupah layak. Upah layak perlu bagi para buruh demi hidup. Sedangkan, upah murah hanya cocok bagi orang mati, karena orang mati tidak punya banyak kebutuhan sebagaimana orang yang hidup.

Tak heran, Paus di manamana mengecam ketamakan dan kerakusan yang mendorong sebagian orang untuk memuja kekayaan di atas penderitaan kaum tertindas. Paus juga mengecam kesenjangan upah di berbagai korporasi sehingga terjadi piramida penindasan: yang di atas menindas yang di bawah.

Menurut Paus, bila yang kuat mau sedikit saja berkorban bagi yang lemah, jelas tidak perlu ada yang ditindas di atas altar pekerjaaan. Dengan demikian, akan tercipta keadilan dan relasi pengusaha-buruh yang sama-sama saling menghargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar