Skandal
Kebudayaan Kita
Radhar Panca Dahana ;
Sastrawan
|
KOMPAS,
03 Mei 2014
Maka,
dimulailah kini pasar suara rakyat dalam ruang-ruang elite bursa politik
pascapemilu di Indonesia.
Para
pemilik kapital dan pialangnya hilir mudik melirik dan melongok, menilai, dan
menawar kumpeni-kumpeni mana yang terkira dapat memberi profit besar pada
kapital(isasi) suara yang dimilikinya. Mungkin kita, pengamat, dan rakyat
umumnya tak lagi bisa mengira atau mengharap transaksi sama suara itu terjadi
berbasis pada dasar dan tujuan bisnis yang sama. Dalam bursa yang sudah
terartifisialkan bahkan termanipulasi maknanya, melalui harga yang dicitrakan
itu, nilai dasar yang menjiwai semua pertukaran semata kepentingan sektarian.
Kepentingan modal atau kapital alias profit finansial dalam bursa ekonomi,
kekuatan, dan kapital sosial alias profit kekuasaan dalam bursa politik.
Boleh
jadi inilah tragik berikut dari selebrasi demokrasi, ketika kekuasaan bukan
lagi dilihat, dipahami, dan diimani sebagai amanah atau tanggung jawab
sosial, konstitusional, dan spiritual, tetapi semata meja perjamuan di mana
kursi dibagi untuk teman yang diundang saja. Lalu, mereka makan dan minum
dengan nikmat dalam fasilitas nyaman yang dibiayai rakyat, direkam televisi
nasional, ditonton semua rakyat pemilik saham, pembayar tagihan makan-minum
itu. Hati jernih, pikiran bening, sebenarnya mampu memahami dan menyadari
itu. Namun, logika kontemporer, pragmatisme, dan desakan hidup mutakhir tak
bisa kita elakkan sehingga realitas pahit itu akhirnya harus diterima bahkan
kita lakoni juga.
Bagaimana
lagi? Hidup harus terus berlangsung. Ya, berlangsung dalam opera tragik
seperti gambaran di atas. Menjadi jeratan dramatik yang bahkan nurani dan
naluri kita pun sudah (di)lemah(kan) untuk berani mengingkarinya. Partai
pemenang pemilu, PDI Perjuangan, dengan perolehan suara jauh di luar target
rasionalnya dipaksa bernegosiasi (berkoalisi) agar bisa pertama kalinya jadi
pengundang jamuan makan itu secara sah melalui mekanisme demokratis, pemilu.
Begitupun
pemenang kedua dan ketiga, Golkar dan Gerindra, yang juga gagal mencapai
target suara. Seperti PDI-P, partai lain akan melakukan negosiasi koalisional
hanya dengan satu pertimbangan praktis: dapat jatah kekuasaan, maksimal yang
bisa dinegosiasikan. Faktor penghambat tak ada. Tidak agama, ideologi, latar,
karakter, hingga profil/struktur partai, kecuali satu: psikologisme pucuk
pemimpin. Ketika semua organisasi dalam analisis sosiologi kulturalnya masih
berbasis tradisi paternalistik, kenyataan mental-psikologis pemimpin
tertinggi jadi variabel cukup desisif dalam kebijakan yang ditetapkan partai.
Karenanya perlu mencermati sejarah dan latar hidup semua tokoh puncak partai
itu. Pertimbangan ini akan menjelaskan PDI-P akan sulit bahkan mustahil
berkoalisi dengan Gerindra, Golkar, atau Demokrat karena latar sejarahnya
yang traumatik menyangkut ketua umumnya. Begitupun Gerindra akan kesulitan
besar berkoalisi dengan Hanura, atau Demokrat dengan Golkar dan PKS, dan
seterusnya.
Hitungan di atas kalkir
Koalisi
yang dibangun PDI-P pasti akan berhadapan dengan lawan yang tak ”pernah
diam”, dimotori Gerindra dan Golkar dengan capres mereka. Gerindra akan
berusaha keras memboyong PKS dan PPP yang memang cenderung berpihak
kepadanya, dan mungkin PAN dengan menawarkan posisi cawapres kepada Hatta.
Golkar pun, bila cerdik dan cekatan, dapat merengkuh Demokrat dengan jumlah
suara sangat cukup untuk maju, mungkin ditambah dua partai yang tak lolos ambang
batas syarat pencalonan presiden.
Para
kandidat presiden itulah yang akan bertarung walau sesungguhnya skenario jadi
berbeda jika SBY dapat melakukan terobosan luar biasa dengan menggandeng
kembali koalisi lama paling bersahabat, PKB, PAN, dan PPP. Ditambah Hanura
yang kesulitan posisi dalam berkoalisi, gabungan partai terobosan ini sudah
amat kuat dalam persentase suara. Kesulitannya: SBY harus ikhlas melepas
capres konvensinya yang tak populer dengan meminta jatah kursi kabinet lebih
banyak demi pemilu berikutnya.
Ah,
begitulah meja kalkulasi. Dalam situasi itu, para pemilik saham politik
sesungguhnya, rakyat, tinggal bisa berdoa dan berharap apa pun dan siapa pun
yang jadi pemenang berkapasitas cukup untuk mengatasi hambatan lokal maupun
global (beserta kompradornya) yang begitu hebar hari ini, untuk menciptakan
ruang dan peluang jalan keluar dari beberapa krisis utama negeri ini:
pemerataan, energi, perampokan legal sumber daya dan penghasilan nasional,
penegakan hukum, ancaman lingkungan, dan skema perdagangan multilateral yang
sarat jebakan.
Skandal budaya itu
Semua
masalah kritis di atas jadi emergensial karena bom waktu yang membu- atnya
jadi bencana tak lebih dari hitungan tahun jari tangan kita. Bila
pemerintahan mendatang tak memiliki basis nilai, moral, etik, dan estetika,
ia akan kesulitan besar bahkan hanya untuk menghindarkan nasib bangsa ini
dari transaksi kapital di meja perundingan dan meja di mana proses legislasi
berlangsung. Ketangguhan, keuletan, dan kecerdasan yang harus dimaksimumkan
oleh presiden mendatang akan berbalik jadi bencana bila ia dijalankan melalui
cara yang melangkahi bahkan mengkhianati dimensi kebudayaan di atas, yang
sesungguhnya sudah termaktub baik dalam konstitusi 1945. Persoalan itu jadi
kecemasan dengan satu fakta alasan, kampanye yang tak santun selama kampanye
pileg yang baru saja usai, satu realitas baru yang cenderung jadi skandal
dalam kerja kebudayaan kita.
Harus
diakui, untuk pertama kali, kampanye politik dibumbui keras merica slogan dan
retorika negatif bahkan hitam. Cara-cara melakukan delegitimasi hingga pada
diskredit bahkan pembunuhan karakter terjadi sehingga kesadaran jernih
masyarakat terganggu dan terkelabui. Bahkan, bahasa literer, sastra, atau
puisi dalam hal ini digunakan sebagai arsenal perang melakukan kampanye
hitam. Satu hal yang bukan saja jadi preseden buruk, melukai dalam hidup
kesusastraan kita yang sejak mula dimuliakan, dan menjadikannya skandal dalam
kebudayaan kita. Inilah tragik besar dalam kebudayaan yang kian keropos belakangan
ini: skandal yang justru kian merendahkan nilai, posisi, dan fungsi kesenian
dalam peri hidup kita sebagai bangsa. Poin tiga dari trisakti Bung Karno,
yang selama ini masih dianggap tetap kuat berdiri, ”berkepribadian dalam
kebudayaan”, ternyata telah runtuh mengikuti dua poin sebelumnya.
Saya mengimbau dan mendesak dengan keras, siapa pun yang akan memimpin
penyelenggaraan negara nanti harus menambahkan hal di atas sebagai krisis
yang emergensial untuk segera ditangani. Politik tanpa budaya di dalamnya,
dan kebudayaan yang involutif harus segera dikoreksi dan diperbaiki, dengan
perhatian yang lebih sungguh, infrastruktur yang kian kuat, anggaran yang
sungguh cukup (tak hanya 0,05 persen dari anggaran Kemdikbud), dan program
yang jelas output dan outcome. Siapa capres yang mampu mengemban tugas itu?
Anda bisa menilai sendiri. Anda juga bisa menilai siapa capres yang tak
kapabel, bahkan tak mungkin menjalankan tugas itu. Dengan dasar itu, saya
kira merenung, menetapkan: jangan sampai pilihan kita nanti jadi dosa sejarah
yang tak bakal diampuni anak, cucu, dan keturunan kita selanjutnya. Dan,
mohon ampun saja tidaklah cukup untuk itu. Manusia harus berjuang,
mempertahankan kehidupan juga kemuliaannya. Itu tugas konstitusi, tugas
sejarah, tugas adab, juga tugas yang ilahiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar