Jumat, 23 Mei 2014

Pesan Kedaulatan Pangan dalam Pilpres

Pesan Kedaulatan Pangan dalam Pilpres

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
KORAN SINDO,  22 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pesta demokrasi untuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) yang sudah dan akan berlangsung pasti akan memberi pengaruh pada perjalanan kehidupan bangsa ini ke depan.

Mereka yang terpilih untuk duduk di Senayan sebagai wakil rakyat akan berperan untuk mengawasi jalannya pembangunan dan sekaligus membuat undang-undang. Sementara itu, presiden yang terpilih akan menyusun kabinetnya yang akan berperan sebagai eksekutif untuk mengelola republik ini. Dinamika pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan pengembangan mutu kesehatan masyarakat akan amat bergantung pada kualitas anggota DPR yang terhormat dan kinerja presiden beserta kabinetnya untuk mengelola negara ini dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Salah satu yang terpenting dan tak bisa dilupakan adalah bagaimana pembangunan kedaulatan pangan guna mengurangi pangan impor yang selama ini membanjiri pasar Indonesia yang berdampak pada kesejahteraan petani lokal yang makin menurun. Indonesia sudah terperangkap dalam sistem pangan impor berbiaya mahal. Revitalisasi pertanian yang diproklamasikan pemerintahan SBY pada tahun 2005 ternyata tidak membawa perubahan dalam cara kita mengelola pembangunan kedaulatan pangan.

Pemerintah masih dengan gampang membuka keran impor pangan strategis seperti beras, daging sapi, gula, jagung, dan kedelai. Para elite politik dan ekonomi terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan pangan tanpa memikirkan konsekuensi terhadap petani lokal. Sungguh ironis ketika Indonesia sudah merdeka 69 tahun dan memiliki kekayaan sumber daya pangan lokal tetapi masih mengandalkan pangan impor untuk memperkuat ketahanan pangan.

Harga Mati

Presiden Soekarno yang menempatkan pembangunan kedaulatan pangan sebagi prioritas utama. Dalam pidatonya saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor, enam puluh dua tahun lalu, Presiden pertama RI ini mengatakan ”... apa yang saya hendak katakan itu, adalah amat penting, bahkan mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari ... oleh karena, soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat”.

Implikasi pidato ini adalah kebijakan pemerintah dalam pertanian mesti berpihak pada petani sebagai fondasi untuk membangun kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan terkait dengan kemandirian petani dalam melakukan kegiatannya. Petani yang berjumlah sekitar 100 juta jiwa atau 26,13 juta rumah tangga (BPS 2013) merupakan komunitas terbesar di negeri ini acap dilupakan. Namun di kalangan politikus saat berlangsung kampanye pileg, kaum tani menjadi primadona guna mendulang suara. Konon, dalam setiap pidato “politik” ketua umum partai disebutkan akan membela petani dan berjanji meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan.

Pemilihan tema kedaulatan pangan akan mewarnai kampanye Pilpres 2014. Hal ini patut diapresiasi mengingat Indonesia kaya dengan pangan berbasis sumber daya lokal yang memiliki nilai gizi tinggi. Sebagai kebutuhan dasar, pangan senantiasa harus tersedia dalam bentuk beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk dikonsumsi. Namun, belakangan ini negeri agraris ini terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Patut disadari, ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia.

Harga pangan yang makin mahal menjadi bola liar yang sulit dikendalikan, menggelinding mendominasi konstelasi dan arsitektur geopolitik. Krisis pangan yang terus membayangi warga dunia membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan masing-masing dan membatasi ekspor. Fenomena ini perlu disikapi dengan mengoptimalkan pemantapan sumber daya lokal untuk perwujudan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan lokal berarti melepas kebergantungan impor, sekaligus menjadi langkah awal menuju kebangkitan nasionalisme pangan.

Memperkenalkan kembali budaya makan lokal yang saat ini sedang tren di sejumlah daerah patut mendapat apresiasi dari para capres. Sekadar menyebut contoh masyarakat Sumatera Utara mengampanyekan manggadong (mengonsumsi produk olahan ubi) sebagai salah satu program yang mendukung penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti tertuang dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Saat sarapan, makan siang, maupun malam, ritual manggadong bisa dinikmati bersama anggota keluarga. Kearifan lokal seperti ini patut diangkat kembali guna menumbuhkan nasionalisme pangan di tengah masyarakat. Hilangnya budaya makan lokal tidak terpisahkan dari pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangantelah menghabisi napas kearifan lokal manggadong. Dengan penguasaan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi dan perdagangan pangan. Harga pun mereka kendalikan.

Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism Persoalan pangan mulai dari hulu hingga hilir kini dimainkan dalam irama pasar global. Di tengah kian terbukanya pasar bebas, Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius dalam memperkuat kedaulatan pangan. Urusan pertanian dan pangan yang seharusnya mendapat kontrol negara secara penuh kini diserahkan kepada mekanisme dan kebuasan pasar. Tak pelak lagi, ketahanan pangan nasional akan semakin rapuh karena dikuasai korporasi kapitalistik yang makin liberal.

Padahal, sejarah mencatat bahwa energi yang mampu menggerakkan kedaulatan pangan (food sovereignty) adalah kearifan lokal. Nenek moyang kita telah membuktikan itu. Bahan pangan lokal mulai jagung, pisang, sagu, sorgum hingga berbagai jenis ubi tersebar di seantero negeri. Lewat kearifan lokal yang dimiliki, bahan pangan tersebut dikembangkan secara baik sebagai makanan pokok sekaligus memperkuat ekonomi domestik. Namun, kedaulatan pangan yang diwariskan para leluhur kini digadaikan kepada negara maju yang menganut paham ekonomi neoliberal. Indonesia dibanjiri pangan impor, baik dalam bentuk segar maupun olahan.

Kampanye masif produk pangan olahan terigu yang dilakukan negara-negara penghasil gandum selama 40 tahun lebih berhasil menggeser kearifan lokal ke produk pangan global. Roti dan mi “balap” instan berbahan terigu menjadi makanan keseharian kita. Manggadong dan berbagai pangan lokal lain tinggal kenangan.

Penjajahan Model Baru

Harapan masyarakat kepada presiden terpilih ialah untuk mewaspadai penjajahan model baru yang diperkenalkan negara-negara maju. Mereka mengendalikan pangan lewat penguasaan ilmu dan teknologi pangan untuk menjadi senjata ampuh guna menjajah bangsa lain. Bagi negara yang amat bergantung pada pangan impor, akan mudah diintervensi oleh negara kaya untuk memasarkan berbagai produk pangan olahannya. Dalil Henry Kissinger yang amat terkenal “control oil and you control nations; control food and you control the people” terus menggema hingga kini.

Implikasinya sebagian besar produk pangan dunia ada dalam genggaman Amerika Serikat. Jargon AS memberi makan dunia menjadi sebuah kenyataan yang fenomenal. Dengan penguasaan ilmu dan teknologi pangan, Negeri Paman Sam mengontrol rantai pasokan makanan secara integratif dari hulu hingga hilir. Bibit, pupuk, pestisida, pengolahan, distribusi, perdagangan dan harga berada di bawah kendali mereka. Bahkan, mereka mampu mengintervensi kebijakan pemerintah dalam pengembangan ketahanan pangan berbasis transgenik (GMOs), produk dari sebuah korporasi yang sarat modal.

Kebijakan pemerintah yang sedang menggalakkan program rumah pangan lestari lewat pemanfaatan lahan pekarangan dalam memperkukuh sumber penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya untuk memperkuat kedaulatan pangan. Untuk itu, pemerintah patut mempromosikan keberlanjutan produksi pertanian keluarga, berskala kecil dan terdiversifikasikan guna menggantikan peran pertanian industrial kapitalistik yang acap merugikan petani lokal guna meraup untung besar.

Belajar dari peristiwa krisis pangan yang turut menjatuhkan Soeharto dari singgasana kekuasaan, DPR dan presiden hasil Pemilu 2014 patut membangkitkan kembali roh nasionalisme pangan di seluruh negeri. Nasionalisme yang satu ini kian penting dimaknai di tengah perjalanan waktu dan isyarat zaman yang memosisikan pangan sebagai kekuatan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar