Kamis, 22 Mei 2014

Jokowi-JK dan Papua

Jokowi-JK dan Papua

Jimmy Demianus Ijie  ;  Koordinator Gerakan Papua Optimis
SINAR HARAPAN,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sudah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Mei 2014. Kemudian, disusul pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada 20 Mei 2014.

Dengan adanya kedua pasangan calon itu dan melihat peta dukungan partai politik (parpol), dapat dipastikan Pilpres 2014 hanya berlangsung satu putaran. Tentu ini juga sesuatu yang positif karena terjadi efisiensi biaya dan energi politik.

Dalam tulisan ini, penulis hanya melihat dari kacamata Papua. Artinya, bagaimana pemimpin nasional mendatang mengelola berbagai persoalan di Tanah Papua. Kalau mau jujur, sejak awal, ada harapan terhadap figur Jokowi untuk mengelola Papua secara damai.

Dengan kesederhanaan dan mau mendengarkan pihak yang berbeda pendapat, tentu merupakan modal besar Jokowi untuk mengupayakan solusi bagi Papua.

Untuk itu, tidak heran jika pada 21 Maret 2014, masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Papua Optimis spontan mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi di Sorong (Papua Barat), setelah didahului penetapan Jokowi sebagai calon presiden (capres) dari PDI Perjuangan. Gerakan ini juga mendeklarasikan Jokowi-Jusuf Kalla pada 4 April 2014 di Manokwari, Papua Barat.

Harapan terhadap pasangan ini bukan tanpa dasar, melainkan memang sesuai arus besar di Tanah Papua. Jusuf Kalla (JK) ketika menjadi wakil presiden, barangkali menjadi pejabat negara yang paling banyak dan mudah ditemui berbagai elemen masyarakat Papua.

Asalkan ada waktu, JK tidak melalui birokrasi bertele-tele, tetapi langsung meluangkan waktu untuk menemui orang Papua. Ada keinginan untuk mendengarkan dan mencarikan solusi yang ada di Tanah Papua. Sayangnya, satu periode terlalu singkat sehingga JK hanya mampu mendorong perdamaian di Aceh.

Jadi, tidak keliru kalau ada harapan JK diberikan kesempatan, bukan mustahil Jokowi-JK akan mampu menyelesaikan masalah Papua secara damai melalui dialog dalam bingkai NKRI. Sesungguhnya orang Papua secara tradisi memiliki kearifan lokal untuk menyelesaikan persoalan secara damai.

Ketika pendekatan kultur, dialog, dan diskusi yang dikedepankan, bukan mustahil akan melahirkan solusi damai di Tanah Papua. Penulis percaya, Jokowi dan JK mampu mengajak anak Papua yang berseberangan untuk duduk berdiskusi dalam suasana damai, sebagai orang tua yang mengayomi anak-anak.

Rekam jejak Jokowi di Solo dan Jakarta juga memiliki keunggulan untuk mengatasi masalah melalui jalan damai. Rekam jejak JK juga terbukti menjadi pendorong menyelesaikan persoalan Aceh. Dengan kegesitan dan kelincahan JK dan blusukan Jokowi merupakan modal untuk mendengarkan apa sesungguhnya yang ada di hati anak-anak Papua.

Nada pesimistis dari orang Papua sudah selalu terdengar sehingga muncul berbagai pikiran untuk mendirikan “rumah baru”. Namun, itu semua tidak lepas dari rasa frustrasi, ketidakadilan, terpinggirkan, dan sebagainya.

Sudah saatnya pemerintahan yang baru nanti untuk membangkitkan harapan, optimis, kedamaian, dan kenyamanan sehingga orang Papua bisa bangkit mengejar berbagai ketertinggalan yang ada.

Kepribadian

Pemimpin nasional mendatang sudah saatnya untuk menghentikan “stigma” kalau Indonesia hanya terdiri atas ras Melayu. Itu karena fakta menunjukkan, bangsa Indonesia merupakan bagian dari ras Melanesia di kawasan timur. Sudah saatnya Indonesia mengakui sebagai bagian dari ras Melanesia dan merupakan bagian dari jati diri Indonesia, selain ras Melayu.

Pengakuan terhadap ras Melanesia ini bukan saja menegaskan jati diri atau kepribadian Indonesia, melainkan merupakan penggenapan atau wujud nyata dari Trisakti Bung Karno, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dalam ekonomi, serta berkepribadian dalam kebudayaan.

Ketika mengakui orang Papua, Maluku, dan rakyat di kawasan timur sebagai ras Melanesia, Melanesia merupakan kepribadian Indonesia.

Kebudayaan Melanesia pun merupakan kebudayaan Indonesia. Pengakuan ini penting karena sejatinya orang Papua dan daerah lain di kawasan timur tidak merasa sebagai Melayu, tetapi warga Indonesia dengan ras Melanesia.

Hal ini bukan saja merupakan realisasi dari Trisakti, melainkan sesungguhnya sudah menjadi agenda PDI Perjuangan. Itu karena dalam kongres III di Bali tahun 2010, pengakuan terhadap ras Melanesia dan kebudayaan Melanesia ini merupakan salah satu butir hasil Kongres Bali 2010.

Jadi, tidak keliru kalau Jokowi dan JK merealisasikan ini, bukan saja karena dicalonkan PDI Perjuangan, melainkan juga akan mengusung agenda besar Trisakti.

Untuk itu, orang boleh bebas berpendapat dan mendukung siapa pun yang dikehendaki. Namun, kesigapan JK dalam merespons persoalan dan kerendahan hati Jokowi mendengarkan siapa pun merupakan duet ideal untuk membawa Indonesia yang beragam ini ke arah yang lebih baik.

Kecintaan Papua terhadap Jokowi juga tidak bertepuk sebelah tangan. Dari semua bakal calon presiden dalam pemilihan legislatif lalu, praktis hanya Jokowi yang menyapa rakyat Papua secara langsung dalam kampanye legislatif.

Sangat benar Jokowi berkampanye untuk PDI Perjuangan. Namun secara hitungan politik, Jokowi bisa memilih daerah yang berpenduduk padat dan lebih dekat untuk meraih dukungan lebih besar.

Kalau Jokowi memilih mengunjungi Papua, itu karena ada cinta. Ia tidak melihat Papua yang minoritas sebagai pelengkap di republik yang kita cintai ini.

Jokowi tidak memandang Papua dari jumlah kursi dan jumlah penduduk, tetapi melihat ada rakyat di Papua yang juga perlu didengar, disapa, diperhatikan, dan dipedulikan. Itu disebabkan kalau perhatian saja tidak ada, mungkinkah ada sebuah gairah untuk bertindak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar