Jokowi-JK
dan Papua
Jimmy
Demianus Ijie ; Koordinator
Gerakan Papua Optimis
|
SINAR
HARAPAN, 21 Mei 2014
Pasangan
calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla
(JK) sudah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Mei 2014.
Kemudian, disusul pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada 20 Mei 2014.
Dengan
adanya kedua pasangan calon itu dan melihat peta dukungan partai politik
(parpol), dapat dipastikan Pilpres 2014 hanya berlangsung satu putaran. Tentu
ini juga sesuatu yang positif karena terjadi efisiensi biaya dan energi
politik.
Dalam
tulisan ini, penulis hanya melihat dari kacamata Papua. Artinya, bagaimana
pemimpin nasional mendatang mengelola berbagai persoalan di Tanah Papua.
Kalau mau jujur, sejak awal, ada harapan terhadap figur Jokowi untuk
mengelola Papua secara damai.
Dengan
kesederhanaan dan mau mendengarkan pihak yang berbeda pendapat, tentu
merupakan modal besar Jokowi untuk mengupayakan solusi bagi Papua.
Untuk
itu, tidak heran jika pada 21 Maret 2014, masyarakat yang tergabung dalam
Gerakan Papua Optimis spontan mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi di
Sorong (Papua Barat), setelah didahului penetapan Jokowi sebagai calon
presiden (capres) dari PDI Perjuangan. Gerakan ini juga mendeklarasikan
Jokowi-Jusuf Kalla pada 4 April 2014 di Manokwari, Papua Barat.
Harapan
terhadap pasangan ini bukan tanpa dasar, melainkan memang sesuai arus besar
di Tanah Papua. Jusuf Kalla (JK) ketika menjadi wakil presiden, barangkali
menjadi pejabat negara yang paling banyak dan mudah ditemui berbagai elemen
masyarakat Papua.
Asalkan
ada waktu, JK tidak melalui birokrasi bertele-tele, tetapi langsung
meluangkan waktu untuk menemui orang Papua. Ada keinginan untuk mendengarkan
dan mencarikan solusi yang ada di Tanah Papua. Sayangnya, satu periode
terlalu singkat sehingga JK hanya mampu mendorong perdamaian di Aceh.
Jadi,
tidak keliru kalau ada harapan JK diberikan kesempatan, bukan mustahil
Jokowi-JK akan mampu menyelesaikan masalah Papua secara damai melalui dialog
dalam bingkai NKRI. Sesungguhnya orang Papua secara tradisi memiliki kearifan
lokal untuk menyelesaikan persoalan secara damai.
Ketika
pendekatan kultur, dialog, dan diskusi yang dikedepankan, bukan mustahil akan
melahirkan solusi damai di Tanah Papua. Penulis percaya, Jokowi dan JK mampu
mengajak anak Papua yang berseberangan untuk duduk berdiskusi dalam suasana
damai, sebagai orang tua yang mengayomi anak-anak.
Rekam
jejak Jokowi di Solo dan Jakarta juga memiliki keunggulan untuk mengatasi
masalah melalui jalan damai. Rekam jejak JK juga terbukti menjadi pendorong
menyelesaikan persoalan Aceh. Dengan kegesitan dan kelincahan JK dan blusukan
Jokowi merupakan modal untuk mendengarkan apa sesungguhnya yang ada di hati
anak-anak Papua.
Nada
pesimistis dari orang Papua sudah selalu terdengar sehingga muncul berbagai
pikiran untuk mendirikan “rumah baru”. Namun, itu semua tidak lepas dari rasa
frustrasi, ketidakadilan, terpinggirkan, dan sebagainya.
Sudah
saatnya pemerintahan yang baru nanti untuk membangkitkan harapan, optimis,
kedamaian, dan kenyamanan sehingga orang Papua bisa bangkit mengejar berbagai
ketertinggalan yang ada.
Kepribadian
Pemimpin
nasional mendatang sudah saatnya untuk menghentikan “stigma” kalau Indonesia
hanya terdiri atas ras Melayu. Itu karena fakta menunjukkan, bangsa Indonesia
merupakan bagian dari ras Melanesia di kawasan timur. Sudah saatnya Indonesia
mengakui sebagai bagian dari ras Melanesia dan merupakan bagian dari jati
diri Indonesia, selain ras Melayu.
Pengakuan
terhadap ras Melanesia ini bukan saja menegaskan jati diri atau kepribadian
Indonesia, melainkan merupakan penggenapan atau wujud nyata dari Trisakti
Bung Karno, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri) dalam ekonomi, serta berkepribadian dalam kebudayaan.
Ketika
mengakui orang Papua, Maluku, dan rakyat di kawasan timur sebagai ras
Melanesia, Melanesia merupakan kepribadian Indonesia.
Kebudayaan
Melanesia pun merupakan kebudayaan Indonesia. Pengakuan ini penting karena
sejatinya orang Papua dan daerah lain di kawasan timur tidak merasa sebagai
Melayu, tetapi warga Indonesia dengan ras Melanesia.
Hal ini
bukan saja merupakan realisasi dari Trisakti, melainkan sesungguhnya sudah
menjadi agenda PDI Perjuangan. Itu karena dalam kongres III di Bali tahun
2010, pengakuan terhadap ras Melanesia dan kebudayaan Melanesia ini merupakan
salah satu butir hasil Kongres Bali 2010.
Jadi,
tidak keliru kalau Jokowi dan JK merealisasikan ini, bukan saja karena
dicalonkan PDI Perjuangan, melainkan juga akan mengusung agenda besar
Trisakti.
Untuk
itu, orang boleh bebas berpendapat dan mendukung siapa pun yang dikehendaki.
Namun, kesigapan JK dalam merespons persoalan dan kerendahan hati Jokowi
mendengarkan siapa pun merupakan duet ideal untuk membawa Indonesia yang
beragam ini ke arah yang lebih baik.
Kecintaan
Papua terhadap Jokowi juga tidak bertepuk sebelah tangan. Dari semua bakal calon
presiden dalam pemilihan legislatif lalu, praktis hanya Jokowi yang menyapa
rakyat Papua secara langsung dalam kampanye legislatif.
Sangat
benar Jokowi berkampanye untuk PDI Perjuangan. Namun secara hitungan politik,
Jokowi bisa memilih daerah yang berpenduduk padat dan lebih dekat untuk
meraih dukungan lebih besar.
Kalau
Jokowi memilih mengunjungi Papua, itu karena ada cinta. Ia tidak melihat
Papua yang minoritas sebagai pelengkap di republik yang kita cintai ini.
Jokowi
tidak memandang Papua dari jumlah kursi dan jumlah penduduk, tetapi melihat
ada rakyat di Papua yang juga perlu didengar, disapa, diperhatikan, dan
dipedulikan. Itu disebabkan kalau perhatian saja tidak ada, mungkinkah ada
sebuah gairah untuk bertindak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar