Kasus
HP dalam Pajak BCA
Romli Atmasasmita ;
Profesor
Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
|
KORAN
SINDO, 03 Mei 2014
GEBRAKAN
KPK di masa iklim politik yang memanas akhir-akhir ini adalah penetapan HP,
mantan Dirjen Pajak 2002-2004 dan mantan Kepala BPK RI. HP telah menjadi
berita nasional.
Pertanyaan
tentu menyeruak, yaitu bagaimana KPK dapat menetapkan suatu kasus pajak
menjadi kasus korupsi sehingga merupakan kewenangan KPK untuk menjalankan
tugas dan wewenangnya berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor Tahun 1999 yang
diubah pada UU Tipikor Tahun 2001?
Hal yang
sangat menarik perhatian kita, dengan gebrakan KPK ini justru terkait
kewajiban pajak dari bank BCA yang dikenal sebagai bank take over (BTO) yang
telah memperoleh bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai akibat
dampak krisis perbankan pada 1998.
Menarik
perhatian dan patut diteliti kemungkinan telah terjadi tax evasion atau
bahkan tax fraud di dalam permohonan keberatan pajak terutang dari BCA. Perlu
kita bersama mendudukkan perkara pajak HP sesuai dengan Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 1983 yang telah diubah ketiga
kalinya pada tahun 2009 (UU KUP). Karena keputusan Dirjen Pajak, HP, yang
dipersoalkan KPK adalah masih dalam ranah hukum pajak yang merupakan hukum
(pidana) administratif; bukan ranah Undang-Undang Tipikor 1999/2001.
Pengalihan
perkara hukum pidana administratif ke hukum pidana khusus cq UU Tipikor
tersebut secara doktrin dan secara normatif hampir mustahil oleh karena
terganjal ketentuan Pasal 14 UU Tipikor/1999 yang berbunyi: ”Jika pelanggaran terhadap undang-undang
lain disebutkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku
ketentuan sanksi dalam undang-undang ini.”
Atau
secara a contrario, dapat dikatakan
bahwa, ”Jika di dalam undang-undang
lain, selain Undang-Undang Tipikor tidak ditegaskan bahwa pelanggaran
terhadap undang-undang lain itu sebagai tindak pidana korupsi, maka yang
berlaku ketentuan undang-undang lain itu.”
Ketentuan
tersebut merupakan rujukan bagi penegak hukum, bahwa ketentuan UU Tipikor
tidak boleh digunakan layaknya ”pukat harimau”. Sehingga sejatinya
pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif serta-merta merupakan
tindak pidana korupsi, asalkan ada kerugian negara di dalamnya. Lagipula,
keputusan Dirjen Pajak ketika itu, HP, jelas merupakan kewenangan yang
diberikan oleh UU KUP. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang berbunyi.
”Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Direktur Jenderal Pajak,”; Pasal 26 ayat (1) UU KUP
berbunyi, ”Direktur Jenderal Pajak
dalam waktu 12 (duabelas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.”
Sehingga
menjadi absurd dan terlalu dini untuk menyatakan bahwa, keputusan Dirjen
Pajak, dalam hal ini HP, menerima keberatan pajak yang diajukan BCA
(korporasi) merupakan penyalahgunaan wewenang yang ditengarai merugikan keuangan
negara sebesar Rp 375 miliar.
Bahkan
juga terlalu dini untuk menetapkan HP dalam kedudukan dan jabatan sebagai
dirjen pajak ketika itu selaku tersangka. Hal ini disebabkan untuk penetapan
sebagai tersangka dalam konteks UU KUP merupakan kewenangan penyidik PNS
pajak atau penyidik kepolisian sesuai dengan KUHAP dan UU KUP.
Uraian
normatif ini terlepas dari fakta bahwa HP selaku pegawai tinggi di Kemenkeu
memiliki harta kekayaan yang sangat signifikan, bahkan jauh melebihi
penghasilannya yang sah selaku dirjen pajak.
Karena
fakta tersebut harus disertai bukti yang cukup untuk dapat dijadikan petunjuk
atau alat bukti lainnya sehingga diperoleh dua alat bukti permulaan yang
cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Ketua KPK beralasan, penetapan
HP si mantan Dirjen Pajak selaku tersangka dengan alasan fakta terdapat
keganjilan-keganjilan dalam proses pengambilan keputusan oleh HP terhadap
permohonan keberatan BCA.
Menurut
pendapat saya, alasan-alasan tersebut baru merupakan kecurigaan semata- mata
atau dugaan belaka tentang ”ada udang di balik batu” dalam keputusan (mantan)
Dirjen Pajak, HP, ketika itu, untuk menerima keberatan pajak BCA. Namun
dugaan itu pun harus didukung bukti materiil yang kuat di hadapan pemeriksaan
sidang pengadilan.
Dalam
konteks UU Tipikor 1999/2001, pernyataan Ketua KPK yang merujuk pada Pasal 3
atau Pasal 2 UU Tipikor merupakan terobosan hukum baru, di luar ketentuan UU
KUP 1983/2007 yang hanya memberikan celah hukum pemberlakuan UU Tipikor
tersebut pada perbuatan pemerasan semata-mata, eks Pasal 12 UU Tipikor
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 36 A ayat (4) UU KUP. Pimpinan KPK dan
penyidik dalam perkara HP memang harus bekerja keras.
Pertama,
untuk membuktikan telah terjadi penyalahgunaan wewenang karena kedudukan atau
jabatan sebagai dirjen pajak, yang dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; sehingga negara dirugikan
karenanya (Pasal 3). Atau harus membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan
melawan hukum yang telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 2).
Namun,
menjadi pertanyaan normatif, apakah setiap kerugian negara yang terjadi
karena keputusan pegawai pajak serta-merta dapat digolongkan sebagai tindak
pidana korupsi? Selain terkait ketentuan Pasal 36A UU KUP khusus ditujukan
pada Pasal 12 UU Tipikor (pemerasan dalam jabatan), juga terkait ketentuan UU
Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Bab XI (Penyelesaian
Kerugian Keuangan Negara).
Aturan
tersebut intinya menegaskan bahwa perbuatan baik yang disengaja maupun karena
kelalaian oleh pejabat publik dan negara mengalami kerugian, maka
penyelesaiannya adalah cukup jika pejabat negara itu mengembalikan kerugian
keuangan negara tersebut kecuali jika ada temuan/bukti oleh BPK bahwa ada
unsur pidana di dalamnya.
Ketentuan
Bab XI UU Nomor 1/2004 hakikatnya menegaskan bahwa perbuatan tersebut
termasuk pelanggaran administratif sehingga cukup dengan sanksi
administratif; tidak harus serta-merta merupakan pelanggaran pidana dan
sanksi pidana.
Mungkin
bagi pimpinan KPK yang dipersoalkan adalah fakta atau LHKPN HP selaku mantan
dirjen pajak dan dari hasil penyelidikan KPK telah menimbulkan dugaan bahwa
ada harta kekayaan yang bersangkutan yang dinilai sangat signifikan
dibandingkan dengan penghasilan yang bersangkutan yang sah selaku pegawai/dirjen
pajak.
Begitu
pula, pimpinan KPK ada kemungkinan hendak menggunakan perkara pajak BCA dalam
kaitan tersangka HP sebagai pintu masuk masalah kronis kasus BLBI terkait BCA
sebagai BTO yang ditengarai tidak ”clear
and clean” dalam proses pengambilalihan aset BCA oleh BPPN.
Inti dari sikap KPK dalam menghadapi perkara keputusan Dirjen Pajak HP
adalah apakah keputusan mantan Dirjen Pajak HP telah benar-benar ”clear and clean” karena dua unsur ini
sangat penting untuk mengetahui motif (niat) dari dikeluarkannya keputusan
dirjen pajak menerima permohonan keberatan pajak dari BCA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar