Korupsi
dan Laju Pembangunan
Elfindri ;
Profesor
Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi, Universitas Andalas
(Unand), Padang
|
KORAN
SINDO, 03 Mei 2014
PRAKTIK
pungutan liar (pungli) dengan berbagai bentuk masih masif di jalan raya.
Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah, sangat marah melihat kenyataan korupsi
di jalan raya masih berlangsung di daerahnya.
Model
korupsi jalan raya adalah korupsi kelas teri. Berdampak pada beban biaya
ekonomi ‘high cost economy”, dan
mengurangi umur ekonomis jalan raya. Kejadian korupsi ini tetap berlangsung
kendati akhirakhir ini KPK sudah sangat intensif menangkap para politisi dan
para birokrat koruptor. Kemudian majelis hakim telah menjatuhkan hukuman yang
jauh lebih berat dibandingkan dengan kejadian korupsi besar pada lima tahun
sebelumnya.
Model korupsi ”ikan teri”
Fenomena
ini ditayangkan oleh televisi saat Ganjar Pranowo berkunjung secara mendadak
ke jembatan timbang di Jawa Tengah. Saat itu terlihat para sopir truk yang
melewati timbangan truk membawa uang yang dimasukkan ke dalam amplop.
Kemudian
mereka meninggalkan uang tersebut ke petugas penjaga timbangan. Korupsi
kecil-kecilan skala ikan teri berdampak besar. Fenomena sopir sebagai penyuap
dan petugas sebagai penerima suap mungkin saja terjadi di hampir kebanyakan
jembatan timbang.
Uang
resmi berupa retribusi yang dibayar oleh setiap truk yang melewati suatu
jalan tertentu ditetapkan oleh peraturan daerah setempat. Penerimaan itu
merupakan pemasukan pemerintah daerah secara resmi.
Setiap
truk yang melewati jalan raya, dengan ukuran bobot beban yang dibawanya akan
dikenai sejumlah tarif. Persoalannya, banyak di antara truk yang melewati
jembatan timbang tidak melakukan penimbangan. Pada kasus ini sopir truk lebih
mudah menyerahkan uang kepada petugas dengan jumlah yang biasa sudah lazim
disetujui oleh petugas yang bertugas.
Praktik
ini sudah bertahun-tahun dan jarang pemimpin daerah yang menggubris. Atau
mereka purapura tidak tahu. Cara lainnya, truk melewati jembatan timbang dan
ketika mereka membawa berat bobot truk lebih dari yang sudah ditetapkan, maka
mereka biasa menutupinya dengan uang agar tidak terkena denda tambahan. Kasus
terakhir ini juga terjadi. Bagi supir truk, hal ini biasanya sudah disiapkan
sebagai unit costs tambahan untuk
membawa barang-barang dari tempat asal ke tempat tujuan.
Biasanya
kelebihan angkutan akan menyebabkan tambahan keuntungan bagi pengusaha truk
agar mereka masih tetap untuk mengembangkan bisnis angkutan. Namun,
persoalannya tidak sesederhana itu saja. Selain kasus di jembatan timbang,
biasa sopir truk juga akan melalui berbagai kelompok yang sangat membebankan
biaya produksi.
Studi
yang dilakukan oleh mahasiswa kami menemukan bahwa sopir juga mendapatkan
beban tambahan dari setiap praktik razia yang dilakukan oleh aparat di
jalanan. Setiap kedok ”razia” di jalanan juga membawa implikasi, biasanya
pemeriksaan kendaraan tidak dilakukan.
Sopir
truk cukup membawa tas kecil dan di dalam tas berisi uang yang langsung
diserahkan kepada petugas razia yang ada. Ini sudah lazim dilakukan dan
membebani juga tambahan sopir truk. Selain dari petugas razia jalan raya,
para sopir juga dibebani oleh setoran yang mesti diserahkan kepada preman
yang mangkal pada titik-titik tertentu.
Menurut
penelitian mahasiswa kami, besaran beban yang diberikan kepada preman secara
relatif sama dengan beban yang juga diberikan kepada petugas yang melakukan
razia sepanjang hari. Angkanya Fantastis. Jika membawa truk kosong dari Medan
ke Padang memerlukan biaya Rp2 juta. Sebaliknya jika membawa barang, sopir
telah menganggarkan sekitar Rp 4 juta rupiah untuk jarak yang sama.
Konsekuensi
Konsekuensi
dari terbiasanya praktik pungli di jalan raya ini adalah beban jalan raya
selalu lebih dari ambang batas beban yang bisa ditanggungnya— sesuai kualitas
pembuatan jalan. Alhasil, umur ekonomis jalan menjadi lebih pendek dari
teknis yang ditetapkan.
Pada
2014 ini saja, misalnya untuk pengaspalan kembali jalan yang rusak di jalan
raya pantai utara Jawa direncanakan sepanjang 1.200 km, anggaran Kementerian
PU adalah Rp1,2 triliun. Program tahunan ini biasanya dilakukan sekitar tiga
bulan menjelang Lebaran. Dan Kementerian PU lebih memilih program penyusutan
jalan ketimbang membangun ruas jalan atau pelebaran jalan baru di luar Jawa.
Pantas
Wakil Presiden Boediono mengemukakan Indonesia adalah sebuah negara ”darurat
infrastruktur”, mengingat sepanjang dua dekade terakhir pembangunan
infrastruktur di Indonesia boleh dibilang tidak signifikan.
Padahal,
kebutuhan infrastruktur yang tidak saja diperlukan di daerah Jawa, namun juga
pembangunan ruas jalan baru atau pelebaran di sepanjang ruas Sumatra, Trans
Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan berbagai pulau yang juga belum memiliki
infrastruktur memadai. Aksi Ganjar Pranowo telah menyadarkan kita akan aib
bangsa, yaitu praktik korupsi kecil-kecilan memang sangat banyak terjadi.
Sekali-sekali,
selain dari jembatan timbang, baiknya blusukan dengan memeriksa meja para
pegawai rendahan. Di sana akan diketahui bahwa praktik korupsi tidak saja
muncul pada top management, tapi
juga pada middle, dan lower management. Fenomena sopir truk
yang membuka aib itu. Biasanya setelah hasil blusukan demikian, sanksi
berikutnya tidak terjadi.
Alias persoalan yang sama dibiarkan atau para aparat dipindahkan. Hanya
dengan cara yang tegas yang bisa menuntaskan persoalan: kepada sopir truk
sebaiknya SIM mereka dicabut jika melanggar. Petugas jembatan timbangan
sebaiknya dipensiunkan lebih cepat, daripada memelihara dan melanggengkan
praktik korupsi. Selamat mencoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar