Rombak
UU Pemilu
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 03 Mei 2014
Pemilu
Legislatif (Pileg) 2014 adalah pileg yang paling buruk dalam sejarah pemilu
kita. Terjadi kecurangan masif para caleg yang meruntuhkan moral masyarakat
karena politik uang yakni dijualbelikan suara sehingga yang seharusnya kalah
menjadi menang dan yang menang menjadi kalah.
Pemilu
kita sudah menjadi industri kapitalisasi politik yang merusak demokrasi dan
menjatuhkan martabat bangsa. Banyak mengusulkan, sistem pemilu untuk 2019
harus dirombak. Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2014 ini harus memprioritaskan
perubahan sistem pemilu agar daya merusaknya bisa dihentikan dan kita lebih
beradab. Seperti yang akan dijelaskan pada akhir kolom ini, sistem yang
sekarang, sistem suara terbanyak, bukanlah berdasar vonis Mahkamah Konstitusi
(MK), melainkan berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang dibuat DPR
dan pemerintah. MK hanya membuang persyaratan ambang bilangan pemilih pembagi
(BPP)-nya.
Sehari
sebelum pencoblosan pada 9 April 2014 itu dari Yogyakarta, saya mengatakan
kepada pers tentang kecurangan-kecurangan yang harus diantisipasi oleh semua
pihak. Berdasar pengalaman saya menangani sengketa Pileg 2009, ada beberapa
modus kecurangan yang diperkarakan ke MK. Benar, pada Pileg 2014 modus-modus
terjadi secara lebih masif. Modus yang paling banyak adalah politik uang
dalam bentuk penyuapan kepada para pemilih. Pada pemilu tahun ini politik
uang begitu marak.
Saya
bertemu banyak caleg yang dengan enteng bercerita telah membagi lebih dari
200.000 amplop yang masingmasing berisi Rp50.000 kepada pemilih menjelang
hari pencoblosan. Ada juga jual beli suara antara caleg dan petugas-petugas
resmi dari KPU seperti panitia pemungutan suara (PPS). Modus ini dilakukan
dengan cara mengubah rekapitulasi suara tingkat berikutnya sehingga tidak
sama dengan hasil rekapitulasi di tingkat TPS. Si caleg tinggal membayar
berapa untuk mendapat suara berapa. Pekan lalu saya bertemu seorang calon
anggota DPD yang dihubungi seorang oknum PPS untuk memberi 68 suara di
TPS-nya asal membayar Rp4.000.000.
Katanya,
ada pemilih yang tidak datang sebanyak 68 orang dan semua surat suaranya bisa
diberikan kepada calon DPD tersebut dengan dicobloskan oleh si oknum PPS itu.
Ini modus lain yakni menjual suara-suara mereka yang tidak datang ke TPS. Di
berbagai tempat bahkan ada surat suara yang tidak dibagikan kepada yang
berhak, tetapi langsung ditahan atau dibeli oleh oknum PPS untuk kemudian
dijual lagi kepada caloncalon yang saling bersaing. Ada juga caleg-caleg yang
mendapat suara sedikit dan pasti tak terpilih lalu menjual perolehan suaranya
kepada caleg lain yang hanya kurang sedikit untuk memperoleh kursi.
Serunya,
pengalihan atau jual beli suara seperti ini dilakukan oleh dan untuk caleg
yang sama-sama berasal dari satu partai politik. Benarlah kata Nurul Arifin,
caleg Golkar yang gagal ke Senayan, Pileg 2014 ini seperti perang saudara
yang terjadi di Suriah, saling bantai di antara sesama saudara. Seperti
diberitakan secara meluas, pengalihan atau jual beli suara itu terjadi begitu
telanjang, terbuka, seperti di pasar tradisional. Ini yang memalukan,
memilukan, dan menjatuhkan martabat kita sebagai bangsa. Sebab itu, sistem
pemilu ini harus segera dirombak sebelum merusak lebih jauh lagi.
Banyak
yang mengatakan bahwa sistem pemilu dengan suara terbanyak ini dilakukan
karena vonis MK. Itu sama sekali tidak benar. Yang menentukan sistem pemilu
dengan suara terbanyak adalah pemerintah dan DPR melalui Undang- Undang Nomor
10 Tahun 2008. MK hanya menghilangkan persyaratannya yang tidak adil yakni
menghapus syarat 30% dari BPP untuk ditentukan berdasar suara terbanyak
seperti yang diatur di dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Intinya,
pasal tersebut mengatur caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan
suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.
Jika
tidak ada yang mendapat 30% dari BPP, caleg terpilih ditetapkan berdasar
nomor urut. Menurut MK, ketentuan ambang 30% itu tidak adil. Misalnya seorang
calon di nomor urut 7 mendapat 74.500 suara di dapil yang BPP-nya 250 bisa
dikalahkan oleh calon nomor urut 1 dan 2 yang hanya mendapat 1.000 atau 100
suara sebab 74.500 suara belum mencapai 30% BPP (yakni 75.000 suara). Ini
sungguh tidak adil. Sebab itu, MK menghapus persyaratan ambang 30% agar ada
keadilan. Soal ketentuan suara terbanyak itu murni dibuat DPR dan pemerintah.
MK di dalam putusannya menyatakan, sistem distrik atau sistem
proporsional tertutup sama konstitusionalnya asal tidak dimanipulasi dengan
ambang perolehan minimal dari BPP. Maka itu, kalau ke depan kita akan membuat
sistem proporsional tertutup, itu sama sekali tidak bertentangan konstitusi.
Ini sudah saya sampaikan kepada dua tokoh PDIP yaitu Taufik Kiemas dan
Sidarto Danusubroto saat saya memberi ceramah di Megawati Centre pada
pertengahan 2011. Tapi, ide ini tak disepakati di DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar