Mencari Arah Pendidikan Indonesia
Guru
Belum Merdeka
Ester Lince Napitupulu ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Mei 2014
Pendidikan
harus diarahkan untuk memikul agenda bangsa. Dengan mengacu pada agenda
bangsa yang sebenarnya sudah diletakkan pendiri bangsa, arah pendidikan pun
bisa lebih fokus dan sejalan dengan terwujudnya perubahan dalam masyarakat
serta meningkatnya martabat bangsa.
Ketika
arah pendidikan sudah jelas, tentu saja butuh aktor penggerak yang tepat.
Dalam hal ini, pendidik atau guru. Guru yang dibutuhkan haruslah yang selaras
dengan upaya menyiapkan anak-anak bangsa sesuai visi dan mimpi bangsa. Sebab,
peran guru cukup signifikan untuk membuat generasi pewaris negeri mampu
memikul agenda yang dimulai dari dirinya, keluarganya, masyarakatnya, lalu
bangsanya, dan terlibat dalam dunia global.
Sayangnya,
dalam situasi arah pendidikan yang tak jelas, sosok guru yang dibutuhkan pun
jadi tidak jelas. Justru, guru-guru bangsa dibelit beragam persoalan akibat
kentalnya politisasi pendidikan, mulai di tingkat pusat hingga daerah.
Guru
terpasung dalam keharusan mengikuti kehendak penguasa. Kemerdekaan guru di
dalam ruang kelas pun dirampas dengan muatan pendidikan yang memisahkan siswa
dari pengenalan akan potensi dirinya, wilayahnya, dan bangsanya.
Tidak
terlihat ruang yang dibangun untuk pribadi guru yang merdeka, mampu
mengembangkan pembelajaran, dan membekali siswa untuk menjadi pembaru sosial.
Wawasan kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan luput dari pembelajaran guru
di dalam ruang kelas.
Kurikulum
baru yang digembar-gemborkan akan membawa generasi saat ini menjadi generasi
emas saat 100 tahun Indonesia merdeka dinilai tetap memasung guru. Sebab,
guru semakin terikat dengan buku teks yang disediakan. Guru tetap ditargetkan
untuk menyiapkan siswa lulus ujian nasional (UN).
Segala
daya upaya guru di ruang kelas pun jadi tereduksi untuk menyiapkan siswa yang
kuat dalam menghafal, tanpa mengerti cara memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk
memecahkan beragam masalah kehidupan pribadi, apalagi persoalan bangsa yang
dibelit kekerasan, korupsi, dan ketidakpedulian.
Jika
guru beranggapan puncak pencapaian prestasi anak dan pendidikan lewat
penyamaan UN, itu merupakan kecelakaan dalam dunia pendidikan. Jadi, esensi
pendidikan terabaikan.
Guru
yang belum merdeka mengamini kekeliruan tersebut. Pendidikan tanpa
kemerdekaan itu menjadi semacam indoktrinasi. Inilah sesat pikir dalam
pendidikan. Bangsa ini butuh guru yang berpikiran merdeka dan kritis, tidak
membeo ketika ada yang salah. Sebab, guru yang punya cita-cita besar pada
bangsa juga punya semangat dalam pembelajaran untuk menyiapkan generasi yang
luar biasa.
Persoalan guru
Guru
yang merdeka dan kritis masih jadi angan-angan. Guru terbelit banyak
persoalan, mulai dari dirinya, birokrasi, hingga politik. Pemerintah tidak
punya strategi yang matang untuk menyediakan sosok guru yang mampu membawa
pendidikan agar berperan bagi kemajuan bangsa.
Persoalan
kualitas atau kinerja guru sampai saat ini belum memuaskan. Pun ketika
sertifikasi guru menjadi amanat untuk menyediakan guru profesional dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Ditambah pula,
manajemen guru yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah membuat
problematik guru semakin menjadi-jadi.
Guru
yang tidak berkualitas menjadikan proses pembelajaran di kelas-kelas seperti
ritual yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, begitu-begitu saja. Ini
akibat kelalaian pemerintah yang tidak mengawasi guru selama berpuluh-puluh
tahun. Begitu dia diangkat menjadi guru, tidak ada kontrol, tidak ada
pengembangan, sangat jarang ada pelatihan.
Sedemikian
besar peran penting guru, tetapi kondisi guru di Indonesia dari jumlah, mutu,
kesejahteraan, perlindungan, dan penghargaan justru masih memprihatinkan.
Sebanyak 2,9 juta guru di Kemdikbud dan lebih dari satu juta guru di
Kementerian Agama belum terkelola dengan baik, baik distribusi maupun
peningkatan kualitasnya.
Dualisme
pengelolaan memunculkan kesan diskriminatif. Hal itu dialami guru di bawah
Kemdikbud ataupun Kemenag. Demikian pula guru dengan status pegawai negeri
dan swasta, ataupun honorer. Guru tidak dilihat dari fungsinya sebagai
pendidik anak bangsa, tetapi berdasarkan statusnya.
Guru
yang sudah ada dikeluhkan mutu dan kinerjanya. Namun, persoalan ini perlu
juga ditarik mundur pada penyiapan calon guru di lembaga pendidik tenaga
kependidikan (LPTK) yang memproduksi calon guru.
Institusi
penghasil guru menjamur hingga mencapai 429 LPTK, di antaranya 46 LPTK
negeri, seiring membaiknya kesejahteraan guru pasca kebijakan sertifikasi.
Namun, dengan standar yang tak terkontrol, calon guru yang dihasilkan
bervariasi mutunya dan belum sesuai harapan.
Dukungan
untuk LPTK juga rendah. Di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud
terlihat anggaran untuk perguruan tinggi non-guru lebih besar dibandingkan
untuk guru. Pendidikan guru yang harusnya berasrama belum juga terealisasi.
Pendidikan profesi guru yang seharusnya efektif sejak tahun 2006 belum juga
mantap.
Lembaga
pendidikan guru memerlukan reformasi, terutama perlunya penyadaran profesi
yang bertujuan membangun paradigma baru dan ideologi pendidikan serta
kebanggaan profesi. Pilihan profesi sebagai pendidik mesti memiliki fondasi filosofis
yang terhubung dengan eksistensi, misi hidup, serta tujuan pendidikan
nasional mengingat profesi guru sebagai tugas pengabdian.
Masalah
yang membelit guru bukan hanya di lembaga pendidikan guru atau pendidikan
profesi guru. Problematik lainnya ialah terkait data guru, kekurangan guru,
seleksi guru honorer, guru swasta, distribusi guru, pembinaan, pengembangan
profesi dan karier guru, kenaikan pangkat dan jabatan, tunjangan khusus,
tambahan penghasilan, penghasilan minimal guru, perlindungan hukum,
penghargaan, mutasi, politisasi, organisasi profesi guru, kode etik, dan
dewan kehormatan guru.
Resentralisasi
Penurunan
mutu guru dituding akibat politisasi guru di daerah. Otonomi daerah yang
menciptakan raja-raja kecil membuat guru harus takluk. Akibatnya, guru tak
bisa lepas dari dinamika politik di tingkat kabupaten atau kota. Desakan
untuk mengkaji kembali desentralisasi pendidikan, utamanya kewenangan
pengelolaan guru, menguat. Wacana resentralisasi guru dikaji demi membuat
guru bebas dan merdeka dari politisasi kepentingan penguasa.
Resentralisasi
itu perlu dikaji dengan benar supaya jangan sekadar memindahkan persoalan,
bagaikan keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Sistem pengelolaan
guru harus ditata dengan benar dan komprehensif, termasuk struktur ketenagaan
dan kelembagaannya.
Guru
hendaknya dikelola dalam satu direktorat jenderal, dalam hal perencanaan,
pengadaan, pembinaan, kesejahteraan, dan penegakan kode etik. Pemerintah
perlu menyeleksi tenaga guru yang ada saat ini. Seleksi itu dengan rasa
keberpihakan yang tulus kepada guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar