Selasa, 06 Mei 2014

Human Capital

Human Capital

Iman Sugema  ;   Ekonom IPB
REPUBLIKA,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pada Mei, ada tiga hari penting, yakni Hari Buruh, Hari Pendidikan, dan Hari Kebangkitan Nasional. Dalam ingar-bingar pemilu legislatif dan pemilu presiden, tentunya kita ingin melihat bangsa ini bangkit dan menjadi lebih makmur.

Tak lupa tentunya, kemakmuran yang terjadi harusnya dinik mati secara lebih merata. Justru yang terjadi selama lima tahun terakhir ini adalah semakin melebarnya ketimpangan antara golongan kaya dan miskin. Silakan cek sendiri angka Gini Ratio yang diterbitkan oleh Badan Pusat Sta tistik (BPS). Karena itu, adalah menjadi sah bila setiap tahun, buruh menuntut perbaikan kesejahteraan.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa kunci dari kebangkitan ekonomi nasional yang disertai dengan pertumbuhan yang tinggi dan pemerataan yang lebih baik adalah pendidikan murah yang berkualitas. Karena itu, sudah saat nya kita mendorong agenda pendidikan yang bersifat broad based, berkualitas, dan terjangkau untuk dititipkan kepada capres yang sebentar lagi kita pilih. Mengapa demikian?

Penelitian yang dilakukan Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menunjukkan bahwa setiap investasi dalam human capitalsebesar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) akan menciptakan tambahan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,37 persen. Angka ini cukup mencengangkan mengingat dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedikit lebih tinggi dibanding dampak dari investasi fisik. Sebagai perbandingan, investasi fisik sebesar 10 persen dari PDB hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi tak lebih dari dua persen.

Selain itu, hampir tak ada bangsa yang makmur tanpa pendidikan yang maju. Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat merupakan contoh di mana kemajuan dalam dunia pendidikan telah mampu mem bawa kemajuan dalam perekonomian secara berkelanjutan. Tiongkok dan India sekarang ini juga sedang mengejar ketertinggalan melalui pendidikan dan penguasaan teknologi.

Adalah Lucas (1990), seorang pemenang Nobel di bidang ekonomi, yang memberi saran agar pendidikan umum disediakan oleh negara secara masif. Argumen dia adalah bahwa pendidikan yang bersifat broad based sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan itu tidak mungkin bisa diserahkan sepenuhnya melalui mekanisme pasar. Jadi, negara harus turun tangan. Padahal, dia adalah seorang neoklasik yang liberal. Khusus untuk bidang pendidikan, dia lebih mirip dengan seorang sosialis.

Contoh yang cukup ekstrem dalam dunia pendidikan dan teknologi mungkin adalah Jerman. Di Negeri Panser ini, pendidikan dari TK sampai universitas hampir sepenuhnya menjadi tanggungan negara. Di beberapa negara bagian bahkan pendidikan sama sekali bebas pungutan.

Di beberapa negara tetangganya yang tingkat kemakmurannya sejajar, ternyata pendidikan tinggi sangatlah mahal. Perbedaannya jelas terletak pada politik anggaran yang lebih memberi prioritas pada pendidikan. Bukan karena apakah uang negara cukup tersedia atau tidak.

Di beberapa kabupaten dan kota di Indonesia, pendidikan sampai sekolah menengah atas negeri telah bebas dari pungutan alias gratis sepenuhnya.
Jakarta adalah salah satu contohnya. Mungkin ada yang mengira itu karena Jakarta adalah daerah yang cukup `kaya'. Tetapi, beberapa kabupaten di Bali dan Jawa Tengah yang relatif lebih miskin ternyata sudah lebih dulu menggratiskan pendidikan 12 tahun. Sekali lagi, itu sangat bergantung pada apakah pemimpin di daerah yang bersangkutan memandang penting tersedianya pendidikan yang terjangkau oleh kalangan termiskin sekalipun. Bukan bergantung pada apakah APBD-nya besar atau tidak.

Barangkali tidaklah berlebihan bila dalam lima tahun mendatang kita bisa mewujudkan pendidikan bebas pungutan sampai S-1 di sekolah atau universitas negeri. Tentunya, kita tidak bisa memaksa sekolah swasta supaya gratis.

Hitungan saya menunjukkan bahwa dengan dana sekitar Rp 300 triliun atau 20 persen dari APBN, sudah cukup untuk bisa membuat pendidikan sampai SMA/SMK dibebaskan dari pungutan. Untuk menggratiskan pendidikan tinggi, mungkin kita harus menunggu lima tahun lagi. Caranya relatif sederhana, yakni mengubah 80 persen dana bantuan operasional sekolah (BOS) menjadi tunjangan guru agar tidak ada lagi guru atau kepala sekolah yang mengutip pungutan terhadap siswa. Secara teoretis, 20 persen dari BOS yang sekarang mampu untuk membiayai operasional inti sekolah, yakni listrik, air, dan alat bantu pengajaran. Pembangunan fisik sekolah ditanggung renteng oleh pemerintah pusat dan daerah.

Selebihnya adalah komponen biaya operasional harian yang sulit untuk dikendalikan secara terpusat. Karena itu, jenis biaya ini harusnya dikendalikan oleh pemerintah daerah. Pengalaman di Jakarta menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam mengendalikan jenis biaya ini akan sangat menentukan apakah biaya sekolah akan mahal atau tidak.

Terakhir, mungkin sudah saatnya kita memberi prioritas terhadap pendidikan yang murah dan berkualitas. Dengan pendidikan yang lebih baik, kita akan lebih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara broad based melalui peningkatan produktivitas pekerja. Kalau produktivitas para pekerja sudah sejajar dengan negara yang lebih maju, dengan sendirinya para pengusaha akan mampu memberikan upah yang lebih menyejahterakan. Bukankah teori ekonomi selalu mengatakan bahwa tingkat upah ditentukan berdasarkan produk marginal?

Kunci kesejahteraan memang adalah produktivitas dan faktor yang paling menentukan produktivitas dalam jangka panjang adalah kualitas pendidikan. Itulah kunci dari pembangunan melalui human capital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar