Human
Capital
Iman
Sugema ; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA,
05 Mei 2014
Pada
Mei, ada tiga hari penting, yakni Hari Buruh, Hari Pendidikan, dan Hari
Kebangkitan Nasional. Dalam ingar-bingar pemilu legislatif dan pemilu
presiden, tentunya kita ingin melihat bangsa ini bangkit dan menjadi lebih
makmur.
Tak lupa
tentunya, kemakmuran yang terjadi harusnya dinik mati secara lebih merata.
Justru yang terjadi selama lima tahun terakhir ini adalah semakin melebarnya
ketimpangan antara golongan kaya dan miskin. Silakan cek sendiri angka Gini
Ratio yang diterbitkan oleh Badan Pusat Sta tistik (BPS). Karena itu, adalah
menjadi sah bila setiap tahun, buruh menuntut perbaikan kesejahteraan.
Tulisan
ini ingin menegaskan bahwa kunci dari kebangkitan ekonomi nasional yang
disertai dengan pertumbuhan yang tinggi dan pemerataan yang lebih baik adalah
pendidikan murah yang berkualitas. Karena itu, sudah saat nya kita mendorong
agenda pendidikan yang bersifat broad based, berkualitas, dan terjangkau
untuk dititipkan kepada capres yang sebentar lagi kita pilih. Mengapa
demikian?
Penelitian
yang dilakukan Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menunjukkan bahwa setiap
investasi dalam human capitalsebesar 10 persen dari produk domestik bruto
(PDB) akan menciptakan tambahan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,37 persen.
Angka ini cukup mencengangkan mengingat dampak pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi sedikit lebih tinggi dibanding dampak dari investasi
fisik. Sebagai perbandingan, investasi fisik sebesar 10 persen dari PDB hanya
menciptakan pertumbuhan ekonomi tak lebih dari dua persen.
Selain
itu, hampir tak ada bangsa yang makmur tanpa pendidikan yang maju. Jerman,
Jepang, dan Amerika Serikat merupakan contoh di mana kemajuan dalam dunia
pendidikan telah mampu mem bawa kemajuan dalam perekonomian secara berkelanjutan.
Tiongkok dan India sekarang ini juga sedang mengejar ketertinggalan melalui
pendidikan dan penguasaan teknologi.
Adalah
Lucas (1990), seorang pemenang Nobel di bidang ekonomi, yang memberi saran
agar pendidikan umum disediakan oleh negara secara masif. Argumen dia adalah
bahwa pendidikan yang bersifat broad
based sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan itu tidak
mungkin bisa diserahkan sepenuhnya melalui mekanisme pasar. Jadi, negara
harus turun tangan. Padahal, dia adalah seorang neoklasik yang liberal.
Khusus untuk bidang pendidikan, dia lebih mirip dengan seorang sosialis.
Contoh
yang cukup ekstrem dalam dunia pendidikan dan teknologi mungkin adalah
Jerman. Di Negeri Panser ini, pendidikan dari TK sampai universitas hampir
sepenuhnya menjadi tanggungan negara. Di beberapa negara bagian bahkan pendidikan
sama sekali bebas pungutan.
Di
beberapa negara tetangganya yang tingkat kemakmurannya sejajar, ternyata
pendidikan tinggi sangatlah mahal. Perbedaannya jelas terletak pada politik
anggaran yang lebih memberi prioritas pada pendidikan. Bukan karena apakah
uang negara cukup tersedia atau tidak.
Di
beberapa kabupaten dan kota di Indonesia, pendidikan sampai sekolah menengah
atas negeri telah bebas dari pungutan alias gratis sepenuhnya.
Jakarta
adalah salah satu contohnya. Mungkin ada yang mengira itu karena Jakarta
adalah daerah yang cukup `kaya'. Tetapi, beberapa kabupaten di Bali dan Jawa
Tengah yang relatif lebih miskin ternyata sudah lebih dulu menggratiskan
pendidikan 12 tahun. Sekali lagi, itu sangat bergantung pada apakah pemimpin
di daerah yang bersangkutan memandang penting tersedianya pendidikan yang terjangkau
oleh kalangan termiskin sekalipun. Bukan bergantung pada apakah APBD-nya
besar atau tidak.
Barangkali
tidaklah berlebihan bila dalam lima tahun mendatang kita bisa mewujudkan
pendidikan bebas pungutan sampai S-1 di sekolah atau universitas negeri.
Tentunya, kita tidak bisa memaksa sekolah swasta supaya gratis.
Hitungan
saya menunjukkan bahwa dengan dana sekitar Rp 300 triliun atau 20 persen dari
APBN, sudah cukup untuk bisa membuat pendidikan sampai SMA/SMK dibebaskan
dari pungutan. Untuk menggratiskan pendidikan tinggi, mungkin kita harus
menunggu lima tahun lagi. Caranya relatif sederhana, yakni mengubah 80 persen
dana bantuan operasional sekolah (BOS) menjadi tunjangan guru agar tidak ada
lagi guru atau kepala sekolah yang mengutip pungutan terhadap siswa. Secara
teoretis, 20 persen dari BOS yang sekarang mampu untuk membiayai operasional
inti sekolah, yakni listrik, air, dan alat bantu pengajaran. Pembangunan
fisik sekolah ditanggung renteng oleh pemerintah pusat dan daerah.
Selebihnya
adalah komponen biaya operasional harian yang sulit untuk dikendalikan secara
terpusat. Karena itu, jenis biaya ini harusnya dikendalikan oleh pemerintah
daerah. Pengalaman di Jakarta menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah daerah
dalam mengendalikan jenis biaya ini akan sangat menentukan apakah biaya sekolah
akan mahal atau tidak.
Terakhir,
mungkin sudah saatnya kita memberi prioritas terhadap pendidikan yang murah
dan berkualitas. Dengan pendidikan yang lebih baik, kita akan lebih mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi secara broad
based melalui peningkatan produktivitas pekerja. Kalau produktivitas para
pekerja sudah sejajar dengan negara yang lebih maju, dengan sendirinya para
pengusaha akan mampu memberikan upah yang lebih menyejahterakan. Bukankah
teori ekonomi selalu mengatakan bahwa tingkat upah ditentukan berdasarkan
produk marginal?
Kunci kesejahteraan memang adalah produktivitas dan faktor yang paling
menentukan produktivitas dalam jangka panjang adalah kualitas pendidikan. Itulah
kunci dari pembangunan melalui human
capital. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar