Selasa, 06 Mei 2014

Setop Kekerasan di Kampus

Setop Kekerasan di Kampus

Asmadji As Muchtar  ;   Wakil Rektor III Unsiq Wonosobo Jawa Tengah
REPUBLIKA,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di dunia persilatan tidak ada juara nomor dua. Di dunia persuratan, tidak ada juara nomor satu. Pepatah lama ini relevan untuk didengungkan lagi karena setiap tahun selalu terjadi kasus kekerasan di kampus yang dilakukan mahasiswa senior terhadap mahasiswa juniornya. Baru-baru ini, kasus kekerasan di sebuah kampus kembali terjadi dan menelan korban jiwa.

Apa pun motivasinya, kekerasan tidak layak dilakukan, khususnya di kampus karena merupakan dunia untuk menyemai ilmu persuratan (intelektual)
yang harus dibedakan dengan ilmu persilatan yang identik dengan kekerasan.
Di kampus, mereka yang senior seharusnya membina mereka yang junior untuk mengembangkan intelektual dalam arti luas. Karena itu, yang harus diutamakan adalah spirit asah asih asuh, bukan spirit hajar hingga hancur-hancuran.

Harus dilestarikan

Spirit asah asih asuh merupakan formula penting yang harus dilestarikan di kampus agar setiap individu yang masuk dan keluar dari kampus menjadi manusia yang cerdas, bijak, dan sayang kepada sesama. Dalam praktiknya, spirit asah asih asuh tidak akan menelan korban karena tidak ada kekerasan psikis atau kekerasan fisik. Justru, spirit asah asih asuh akan menyenangkan bagi semua pihak. Misalnya, semula masing-masing belum saling mengenal, tapi setelah melewati proses asah asih asuh kemudian saling mengenal, sayang, dan hormat menghormati.
Bahkan, spirit asah asih asuh yang harus dilestarikan tidak sebatas sikap dan perilaku sehari-hari di kampus antara senior dengan junior, tapi juga terkait biaya pendidikan. Misalnya, kebijakan subsidi silang yang berlaku sebetulnya merupakan implementasi spirit asah asih asuh, agar mahasiswa dari keluarga tidak mampu tidak akan putus kuliah karena mendapat subsidi dari mahasiswa dari keluarga mampu.

Di kampus, seharusnya tidak boleh ada pihak yang menghajar hingga babak belur yang identik dengan kekerasan biadab. Dalam hal ini, pihak senior tak perlu mengajar pihak junior dengan sikap emosional dan tindakan kekerasan, hingga menelan korban cedera atau meninggal dunia.

Harus diakui, kasus-kasus kekerasan yang masih sering terjadi di kampus yang dilakukan pihak senior terhadap pihak junior merupakan kekonyolan yang harus disetop. Dalam hal ini, ada mata rantai dendam yang disemai pihak senior kepada pihak junior yang harus diputus.

Karena itu, upaya menghentikan kekerasan di kampus perlu didukung semua pihak dan jika masih ada yang melakukannya harus diganjar hukuman berat agar betul-betul jera. Tanpa ada hukuman berat, kekerasan di kampus yang dilakukan senior terhadap juniornya mungkin akan terus terjadi setiap tahun mewarnai hiruk-pikuk penerimaan mahasiswa baru yang bisa memalukan bangsa dan menimbulkan dukacita.

Bisa menakutkan

Jika kekerasan di kampus tidak dihentikan, imbasnya kampus bisa menakutkan bagi calon mahasiswa baru yang notabene generasi penerus bangsa. Hal ini tentu bisa merugikan bangsa dan negara dalam arti luas. Misalnya, betapa ruginya bangsa dan negara jika semakin banyak lulusan sekolah menengah atas merasa takut melanjutkan pendidikan gara-gara di kampus selalu terjadi kekerasan yang menyertai proses penerimaan mahasiswa baru.

Untuk konteks Indonesia yang penduduknya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, kekerasan di kampus bisa juga terkait mahalnya biaya kuliah bagi rakyat yang kurang mampu. Karena itu, upaya memopulerkan kebijakan subsidi silang harus semakin digalakkan.

Untungnya, rakyat Indonesia beragama, sehingga subsidi silang bisa dikaitkan dengan ajaran agama. Misalnya, subsidi silang identik dengan sedekah bagi yang berkelebihan kepada mereka yang kekurangan, sebagaimana yang diperintahkan agama.

Jika di kampus sudah tidak ada lagi kasus kekerasan dalam arti luas terhadap pihak junior, pada masa yang akan datang jumlah sarjana S-1, S-2, dan S-3 mungkin akan semakin banyak, sehingga bangsa dan negara berpotensi un tuk semakin cepat meraih kemajuan di berbagai bidang. Sebaliknya, jika kasus kekerasan dalam arti luas tetap saja terjadi di kampus, bukan tidak mungkin akan semakin banyak anak bangsa yang takut kuliah, sehingga menjadi generasi yang hilang pada masa yang akan datang.

Jika hal ini betul-betul terjadi, bangsa dan negara kita bisa semakin terbelakang dibanding dengan bangsa dan negara lain. Oleh karena itu, pemerintahan baru hasil pemilu legislatif dan pilpres 2014 harus mampu menghapus ketakutan anak-anak bangsa (khususnya dari keluarga miskin) untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar