Sekularisasi
Politik dalam Pemilu 2014
Rumadi ; Dosen FSH UIN Jakarta,
Peneliti Senior
the Wahid Institute, Komisioner Komisi Informasi Pusat
|
KORAN
SINDO, 23 April 2014
Beberapa
waktu sebelum Pemilu 9 April 2014 digelar, banyak lembaga survei yang
meramalkan, sejumlah partai berasas dan berbasis massa Islam akan jeblok
dalam perolehan suara.
Namun,
dalam hitung cepat hasil pemilu yang dilakukan sejumlah lembaga survei menunjukkan,
partai-partai Islam mem-peroleh suara yang cukup baik meskipun ada juga yang
tidak lolos threshold. Kisaran
perolehan suara partai Islam: PKB 9,12%; PAN 7,51%; PKS 6,99%; PPP 6,68%; dan
partai yang tidak lolos threshold PBB 1,5%. Jika digabung, angka tersebut
berjumlah 31,8%. Perolehan ini memang belum bisa melampaui hasil Pemilu 1955
di mana perolehan suara partai-partai Islam mencapai 45%.
Jika
dibanding dengan perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu
pascareformasi, perolehan Pemilu 2014 bisa dikatakan lebih baik dari Pemilu
2009 (29,6%), namun tidak bisa melampaui perolehan Pemilu 1999 (36,52) dan
Pemilu 2004 (38,35%). Bagaimana memberi makna terhadap perolehan partaipartai
Islam dalam Pemilu 2014 ini. Apakah ini menunjukkan ada reislamisasi, dalam
arti menguatnya kembali ideologi Islam politik melalui jalur parlemen?
Ataukah
fenomena ini soal pragmatisme politik biasa yang tidak ada hubungan dengan
persoalan menguatnya Islam politik. Melalui tulisan singkat ini penulis
berargumen, peningkatan perolehan suara partai Islam dalam Pemilu 2014 tidak
selalu tepat dimaknai sebagai penguatan Islam politik. Namun, perolehan suara
partai Islam yang tidak bisa melampaui perolehan suara yang diperoleh pada
Pemilu 1955 juga tidak bisa diklaim sebagai kegagalan Islam politik di
Indonesia. Ada banyak faktor di luar perolehan suara dalam pemilu yang perlu
dilihat lebih jauh.
Sekularisasi Politik
Harvey
Cox yang terkenal dengan buku klasiknya, The
Secular City (1965), mengemukakan tiga aspek sekularisasi. Pertama,
pembebasan alam dari ilusi (disenchantment
of nature) yaitu pembebasan alam dari pengaruh kekuatan supranatural yang
bersifat ilahi. Kedua, desakralisasi politik (desacralization of politics) yaitu penghapusan legitimasi
kekuasaan dan kewenangan politik dari agama. Ketiga, pembangkangan terhadap
nilai-nilai (deconsecration of values).
Ini berarti
nilai-nilai agama terbuka untuk perubahan di mana manusia bebas menciptakan
perubahan itu. Dalam sejarah masyarakat Barat, sekularisasi tidak hanya
terjadi pada kehidupan sosial dan politik, tapi juga masuk ke wilayah
kultural. Identitas kultural tidak lagi ditentukan oleh agama, tapi
ditentukan simbol-simbol baru yang nonreligius. Melalui proses seperti ini,
semakin lama masyarakat semakin terbebaskan dari nilai-nilai agama sehingga
terjadi diferensiasi nilai-nilai religius.
Dengan
mengikuti penjelasan tersebut, secara singkat dapat dikatakan, sekularisasi
politik merupakan proses membebaskan pilihan-pilihan politik dari
pertimbanganpertimbangan agama. Jika demikian, sepanjang sejarah pemilu di
Indonesia sejak 1955 sampai 2014 di mana partaipartai berasas agama (Islam)
dan berbasis massa Islam tidak pernah memperoleh lebih dari 50% dukungan
menunjukkan dalam masyarakat Islam Indonesia terjadi proses sekularisasi
politik. Sekularisasi politik di sini tidak sama dengan sikap antiagama.
Masyarakat Islam Indonesia cukup mempunyai kecerdasan untuk membedakan urusan
politik dan agama.
Meskipun
masyarakat Indonesia dikenal religius dan mempunyai orientasi keislaman yang
tinggi, ini tidak selalu diekspresikan melalui pilihan partai politik dalam
pemilu. Di samping soal kecerdasan masyarakat tersebut, ada beberapa hal yang
bisa menjelaskan ini. Pertama, dalam konteks politik Indonesia, asas partai
baik Islam atau Pancasila tidak memberi diferensiasi yang tegas. Perbedaan
asas partai sama sekali tidak menunjukkan ideologinya. Ideologi partai
politiknyarissama, pragmatisme kekuasaan dengan menghalalkan segala cara,
termasuk korupsi.
PKS yang
dulu pernah ”ditakuti” karena ideologi Islam sekarang sudah menjadi partai
yang ”normal”. Kedua, karena pragmatisme partai politik, pilihan masyarakat
terhadap partai akhirnya juga pragmatis. Masyarakat yang memilih partai Islam
tidak bisa serta-merta mereka bisa dikatakan mendukung agendaagenda Islam
politik. Tidak sedikit pemilih dalam pemilu yang menjatuhkan pilihan karena
ikatan kultural, ketokohan, bahkan karena politik uang. Ketiga, partai Islam
juga tidak pernah satu.
Sejak
awal sejarah politik di Indonesia tidak pernah bergerak dan bekerja karena
kesamaan ideologi, tapi semata-mata karena kesamaan kepentingan. Hal mutakhir
yang bisa menjelaskan ini adalah hampir mustahilnya partai-partai Islam
bersatu dan berkoalisi untuk mengusung calon presiden dalam Pemilu 2014. Ini
bukan saja karena ketiadaan figur kuat yang bisa menyatukan mereka, melainkan
di dalam partai Islam ada kepentingan yang berbeda-beda. PKB dan PAN
misalnya, meskipun sering diidentifikasi sebagai partai Islam, dua partai
tersebut tak punya agenda islamisme.
Kegagalan Islam Politik?
Meski
perolehan suara politik Islam tidak pernah mayoritas, ini tidak bisa
sertamerta dikatakan sebagai kegagalan Islam politik. Sebagaimana dikatakan
Oliver Roy (1992), boleh saja perolehan suara pengusung ideologi Islam tidak
besar, bahkan tererosi dari waktu ke waktu, ini bukan berarti partai politik
Islam akan segera mati. Mereka boleh saja masih ada, bahkan memperoleh
dukungan suara yang tinggi, namun itu bukan karena ideologi Islam. Sekarang
ini hampir seluruh partai politik di Indonesia menyatakan diri sebagai partai
terbuka.
PKS yang
dulu dicurigai sebagaipartai yang eksklusif, kini bahkan sudah lebih terbuka
meskipun ideologisasi pengaderannya masih cenderung tertutup. Iniberarti,
dari segi ideologi, tidak relevan lagi perlu ketakutan ada partai politik
yang mempunyai ideologi untuk mengganti ideologi bangsa, Pancasila. Artinya,
pada level konsensus nasional terkaitdasarnegara partai-partai berasas Islam
tidak perlu dicurigai berlebihan. Ancaman dan upaya mengganti konsensus
nasional dasar negara justru muncul dari gerakan Islam politik nonparlemen.
Melihat
perjalanan Islam politik di Indonesia, ada arus gerakan yang bisa saling
berlawanan. Meskipun partai-partai Islam tidak
memperoleh suara mayoritas, agenda islamisasi masyarakat dan negara tidak
pernah berhenti. Agenda islamisasi tidak identik dengan partai Islam.
Partai-partai yang tidak berasas Islam sekalipun bisa menjadi pendukung
islamisasi, terutama islamisasi regulasi. Ini terjadi bukan hanya pada
penyusunan regulasi level nasional, tapi juga regulasi daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar