Demi
Tegaknya Demokrasi
Ivan Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy
Education)
|
KORAN
SINDO, 24 April 2014
Dalam
Pemilu 2014 ini, semakin terasa kerinduan rakyat terhadap sosok (para)
pemimpin sejati, yaitu dia yang dicintai dan dipercaya luas. Tindakannya
terasa dipenuhi niat baik untuk kemaslahatan rakyat. Ketegasannya,
menyiratkan kecintaan pada keadilan.
Keberpihakannya,
teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua. Perilakunya tulus, bukan
sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih dari tindakan koruptif dan
manipulatif, memiliki sense of crisis,
dan menunjukkan keprihatinan atas berbagai beban yang sedang dan bakal
dipikul rakyat, terutama rakyat miskin. Harus diakui bahwa saat ini pemimpin
sejati belum banyak bermunculan. Mereka seolah ”barang langka” yang perlu
diperbanyak dalam sebuah sistem demokratis yang benar-benar sejati. Dalam
gegap gempita kampanye Pemilu 2014, saya teringat buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002).
Dalam
bab tentang demokrasi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia,
dan Denmark, di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau
menggunakan kendaraan umum ke kantor. Seorang gubernur, menteri, atau
presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal belasan mobil dan motor
polisi dengan sirene meraung-raung diyakini mengurangi suara untuk terpilih
kembali, apalagi jika harus menutup jalan-jalan vital karena alasan pribadi.
Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno
Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh
terakhir hidup mereka.
Jelas,
jauh berbeda dengan ”istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk
Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, makin miskin sebuah bangsa, sering
kali semakin mewah kehidupan dan ”perilaku aneh” elite penguasanya. Hal yang
juga lumrah di negeri ini. Betapa tidak. Ketika cerita busung lapar masih
menyisakan keprihatinan mendalam dan seruan penghematan dari pemerintah,
mencuat berita keinginan (mayoritas) anggota parlemen menaikkan penghasilan
dari gaji yang sudah puluhan juta rupiah.
Lalu,
”studi banding” ke luar negeri berbiaya miliaran rupiah. Parkiran gedung
parlemen pun sering disindir bagaikan show room mobil mewah. Dan seakan
”kebakaran jenggot”, anggota DPR pun balik menuding eksekutif. Konon, beda
dengan negara tetangga yang lebih kaya dan hanya membawa lima staf, rombongan
presiden ketika ke luar negeri bisa berjumlah 75 orang. Alangkah borosnya.
Tiga Pilar Demokrasi
Tampaknya,
dari tiga pilar Revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi
kecenderungan berikut. Ketika ”kebebasan” politik relatif merebak secara
global, termasuk di negeri ini, padanannya berupa ”kesetaraan atau pemerataan” dan ”persaudaraan atau solidaritas” nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara
memberi perlindungan bagi warga miskin dianggap ”jalan sesat” Eropa.
Dalam
paradigma neoliberal yang mendominasi praktik ekonomi global—termasuk di
negeri ini, pemerataan dianggap bukanlah alat ampuh dalam melawan kemiskinan,
bahkan hal tersebut dianggap memperparah keadaan. Semua itu dilandasi
argumentasi yang sekilas terkesan plausible.
Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon
diinvestasikan kaum kaya bersifat produktif, sebaliknya hanya akan
”dikonsumsi” kaum papa. Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai
sasaran karena dikorup birokrasi.
Ketiga,
yang menjadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan stabilitas
politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah para
”elite” (World Bank Report, Attacking
Poverty, 2000:56f). Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, E+Z, 2005: 6), semua itu secara teoretis
rapuh, secara empirissalah, danbila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis.
Masalahnya, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli
makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan
marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan
strategi pembangunan pro-poor
mungkin realistis.
Namun,
apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang
miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignorance. Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada
”investasi produktif” adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan
pendidikan anak-anak. Dulu banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil,
misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu, berlaku ”lingkaran setan”. Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan
pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.
Dengan
pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor
growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael
Lipton, ”kesenjangan ekstrem adalah penyebab
utama terganjalnya pertumbuhan”. Kemiskinan massal, menurutnya, bukan
hanya akibat stagnasi ekonomi, melainkan juga penyebab terpenting stagnasi
ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth
and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications,
2000). Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas Pro-Growth Poverty Reduction.
Dalam
kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya
sia-sia, tetapi investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita
sukses di Brasil, Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan
analisis Lipton. Pada tataran makroekonomi, Howard White (National and International Redistribution
as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak
positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan.
Pemerataan,
ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan dan persaudaraan antaranak
bangsa. Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang
berarti solidaritas belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi
sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak akan dilupakan,
atau bahkan dihujat oleh rakyatnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar