SBY
Tak Peduli Sikapi Ukraina
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
07 Maret 2014
Tidak
adanya penyikapan terhadap krisis Ukraina, bisa dinilai sebagai sebuah bukti kukuhnya
Indonesia sebagai negara non-blok. Tetapi bisa juga sikap non-blok atau tidak
berpihak tersebut sebetulnya lebih menunjukkan sudah tidak fokusnya lagi SBY
sebagai Presiden pada persoalan luar negeri.
Perhatian
SBY lebih banyak ke dalam negeri. Celakanya, kalau pergeseran perhatian ini
bukan murni alasan formal. Tapi lebih diakibatkan oleh alasan-alasan personal
atau pribadi. Masalah bangsa yang dikesampingkan dan yang dijadikan perhatian
persoalan yang lebih sarat dengan kepentingan pribadi.
Masalah
pribadi yang dimaksud berupa melorot kewibawaan dan kepercayaan rakyat
terhadap SBY sebagai presiden. Hal ini akibat Presiden SBY lebih banyak
mengurusi Partai Demokrat termasuk persoalan politik yang terkait dengan
keluarganya.
Indonesia
seperti sindir para pengeritik Presiden SBY, tak ubahnya dengan pesawat,
diterbangkan dengan sistem "auto pilot". Indonesia dikelola seperti
tanpa pemimpin. Inilah yang antara lain menyebabkan rakyat mulai marah,
semakin marah atau menyimpan amarah.
Sadar
akan adanya gejala itu, membuat SBY bersikap. Menjelang masa jabatannya
berakhir pada 20 Oktober 2014, konsentrasi penuh dialihkan ke dalam negeri.
Khususnya mengamankan dan memagari diri dan keluarga dari potensi ancaman,
pasca berakhirnya kekuasaan.
Hal ini
antara lain tercermin dari pembentukan grup baru dalam Pasukan Pengamanan
Presiden (Paspampres) yang tugas mereka mengamankan para mantan presiden dan
wakil presiden. Pembentukan itu dicurigai sebagai persiapan SBY menghadapi
tibanya hari-hari dia menjadi seorang mantan presiden.
Sebelum
pembentukan grup baru di Paspampres, SBY menunjuk pengacara yang tugasnya
antara lain melakukan somasi kepada pihak-pihak yang dinilai mencemarkan nama
baik SBY dan keluarganya. Penyiapan pengacara ini antara lain untuk mengantisipasi
maraknya serangan terhadap SBY dan keluarga melalui berbagai cara seperti
lewat media.
Tumbangnya
Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych melalui kudeta rakyat sipil atau semacam
people power, semakin memberi alasan dan peringatan. Hal serupa bisa terjadi
di Indonesia. Demo kecil-kecilan yang kian hari terus membesar dan
berakumulasi menjadi sebuah kekuatan politik, mampu menumbangkan sebuah
kekuasaan sekalipun rezim yang berkuasa dipilih langsung oleh rakyat.
Yanukovych dan SBY sama-sama dipilih melalui Pemilu.
Mengapa
analisa seperti ini mengemuka? Tidak lain karena selama ini bahasa tubuh SBY
menunjukkan, beliau sangat kritis atau peduli pada persoalan dan perkembangan
internasional.
Kekritisan
dan kepeduliannya itu dicerminkan oleh keputusannya yang hampir tidak pernah
absen menghadiri berbagai acara dan undangan di luar negeri. Persoalan yang
terjadi di sebuah negara kecil di Afrika, sekalipun tak mencuat ke
media-media internasional, tapi oleh Presiden RI bisa menjadi 'sesuatu' yang
penting.
Krisis
Ukraina yang mencuat sejak akhir Februari lalu, bukanlah persoalan yang
'tersembunyi' di sebuah sudut dunia. Krisis Ukraina sangat terang benderang.
Tak satupun media raksasa di dunia yang tidak melaporkan apa yang terjadi di
Ukraina.
Lantas
mengapa tak ada reaksi dari Presiden RI? SBY dikenal sebagai Presiden yang
paling banyak melakukan lawatan ke luar negeri. Ini berarti pengetahuan dan
wawasannya terhadap dunia, sangat luas.
Saking
banyaknya agenda di luar negeri yang dihadiri Presiden, sekretariat negara
akhirnya memutuskan untuk membeli pesawat kepresidenan yang harganya lumayan
mahal, sekitar Rp800 miliar. Alasan pembelian pesawat kepresidenan, agar
biaya perjalanan Presiden (ke luar negeri) lebih hemat.
Krisis
Ukraina, memang bisa saja dianggap sebagai persoalan internal bangsa Eropa.
Oleh sebab itu, Indonesia yang berada di Asia Tenggara tak perlu sibuk
memperhatikannya. Tetapi masalahnya bukan sesederhana itu. Ketika Amerika
Serikat - sebagai negara adidaya menyikapinya dan yang menonjol keinginan
kuatnya menyudutkan Rusia, krisis tersebut tidak bisa dianggap enteng.
Penyikapan
yang berlebihan oleh Washington terhadap Moskow, sebetulnya merupakan
tindakan yang dapat mengancam perdamaian dunia. Kecaman variatif yang
dilancarakan Presiden Barack Obama terhadap pemerintahan Presiden Vladimir
Putin dapat memicu reaksi resiprokal.
Lihat
saja sikap Rusia yang langsung menggelar latihan militer, latihan perang di
perbatasan Ukraina, di saat kecaman Obama terhadap kehadiran pasukan Rusia di
Ukraina berada pada tensi yang tinggi. Hal ini mengisyaratkan, Rusia siap
berperang, sekalipun yang dilakukan Amerika Serikat baru terbatas pada
ofensif diplomasi plus perang urat syaraf.
Jadi
potensi meletusnya perang antara Amerika Serikat dan Rusia, sangat besar.
Antara lain karena kedua negara sudah pernah terlibat dalam apa yang disebut
Perang Dingin.
Situasi
yang dapat menyebabkan pecahnya perang seperti ini, seharusnya dicampuri
Indonesia. Kondisi dunia yang sedang mendidih, perlu didinginkan Indonesia. SBY
perlu mendinginkan emosi Obama dan Putin. SBY punya akses kepada kedua
pemimpin itu, melalui G-20 dan APEC. SBY dan kedua persiden itu saling
mengenal.
Putin
dan Obama sudah pernah ke Indonesia. SBY juga sudah pernah ke Rusia dan
Amerika Serikat. Tak ada alasan bagi SBY menyaksikan dan membiarkan Obama dan
Putin bertengkar.
Indonesia
perlu berperan dalam menciptakan perdamaian dunia. Peran ini sudah dipesankan
oleh para pendiri bangsa melalui konstitusi. Sehingga cukup kuat alasan bagi
Presiden untuk juga menyikapi krisis Ukraina.
Terdapat
sejumlah pilihan sikap yang bisa dilakukan Indonesia. Mulai dari mengakui
atau tidak pemerintahan baru di Ukraina sampai dengan menentang keputusan
Rusia yang mengirim pasukannya ke Ukraina Selatan, provinsi Krimea.
Suara-suara
yang menyatakan pemerintahan baru di Ukraina, tidak punya legitimasi, perlu
disikapi Indonesia. Suara dari Indonesia, negara berpenduduk ke-4 terbesar di
dunia, tidak terdengar sekalipun Presiden terguling yang mengasingkan diri di
Rusia mengklaim masih sebagai Presiden.
Tak ada
alasan bagi Indonesia untuk membisu. Indonesia bisa meminta Amerika Serikat
untuk menghentikan provokasinya terhadap Rusia. Bisa juga meminta
negara-negara anggota Non-Blok dan ASEAN bersikap.
Pendek
kata, tidak ada alasan bagi Indonesia menyaksikan krisis Ukraina dari jauh
dan rakyat yang berjumlah 240 juta orang tak perlu diberi wacana atau
perspektif oleh pemimpin nasional.
Tidak
bermaksud mengada-ada. Hanya saja, jika krisis Ukraina ditelaah secara
mendalam, elemen yang menjadi pemicu bergolaknya negara bekas bagian dari
wilayah Uni Sovyet itu, memiliki kesamaan dengan Indonesia.
Krisis
atau tragedi Ukraina bisa berimbas ke Indonesia. Krimea, provinsi yang
beretnis mayoritas Rusia berstatus otonom khusus. Diam-diam ingin memisahkan
diri dari Ukraina. Kesamaan ini terjadi pada provinsi Aceh dan Papua serta
Papua Barat.
Sekelompok
elit Krimea bahkan sudah memproklamasikan kemerdekaan provinsi tersebut.
Mengingatkan sikap serupa yang diusung oleh Gerakan Aceh Merdeka dan
Organisasi Papua Merdeka di Indonesia.
Kalau
Krimea bisa melegitimasi kehadiran ribuan pasukan pasukan asing di
wilayahnya, karena merasa tidak sejalan dengan pemerintah pusat di Kiev,
bukan mustahil hal serupa bisa dilakukan oleh dua provinsi di Indonesia yang
disebutkan di atas. Krimea merupakan provinsi terujung di Ukraina.
Keinginan
menjadi negara merdeka, dari dua provinsi paling ujung, juga ada di
Indonesia. Semangat untuk memisahkan diri dari NKRI, juga terus berproses di
provinsi paling Barat (Aceh) dan paling Timur (Papua).
Ketidakpuasan
terhadap pemerintah pusat di Ukraina, juga terjadi di Indonesia. Masalah
perbedaan suku dan agama di Krimia, menjadi pemicu perpecahan politik di
Ukraina. Persoalan suku dan agama atau yang lazim disebut masalah primordial,
juga terjadi di Indonesia.
Sehingga
tidak bersikapnya Indonesia terhadap krisis Ukraina, tak bisa dianggap
sebagai sebuah persoalan sepele. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar