Tragedi
Ukraina, Niat Bersatu Hasilkan Perpecahan
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
04 Maret 2014
Konflik
yang melanda Ukraina, negara bekas bagian dari Uni Sovyet, pantas disebut
sebagai tragedi. Sebab dalam waktu seminggu, Ukraina berubah dari sebuah
negara yang pemerintahannya punya legitimasi, menjadi negara tanpa pemimpin
atau pemerintahan.
Benar
sejak 26 Februari 2014, Ukraina memiliki presiden dan perdana menteri baru.
Presiden dan PM tersebut dipilih setelah Viktor Yanukovych Presiden terpilih
sejak 2010 tiba-tiba menghilang atau melarikan diri per 22 Februari 2014.
Tapi Presiden dan PM Ukraina sekarang ini, hanya bertugas sementara, tiga
bulan. Tugas utama, mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu Juni 2014.
Perubahan
politik secara drastis di Ukraina kelihatannya bukan hanya mengejutkan bangsa
dan rakyat Ukraina. Tetapi juga mengejutkan seluruh dunia. Rakyat dari bekas
negara bagian Uni Sovyet ini, tidak menduga, perubahan yang diharapkan oleh
para penentang pemerintah, bisa mengubah Ukraina menjadi seperti 'negara
tidak bertuan' atau 'negeri tanpa pemimpin'.
Karena
kekosongan 'pemimpin' itulah, berbagai persoalan pelik bermunculan. Persoalan
itu semuanya memerlukan penyelesaian segera. Di antaranya, kemungkinan
hilangnya provinsi Krimea, salah satu provinsi penting dan strategis dalam
politik global.
Ukraina
saat ini punya pejabat Presiden Oleksandr Turchynov dan Perdana Menteri
Arseniy Yatsenyuk. Tetapi pemerintahan mereka hanya semacam simbol saja agar
eksistensi Ukraina sebagai sebuah negara, secara de facto masih ada.
Pemerintahan
di Ukraina, dibentuk secara terburu-buru. Pembentukan terburu-buru terpaksa
dilakukan karena Presiden Viktor Yanukovych diam-diam melarikan diri pada
akhir Februari. Dengan cara terburu-buru itu, menghasilkan 20 anggota kabinet
yang dipilih secara acak dari kerumunan demonstran yang sedang bereforia.
Perdana
Menteri Arseniy Yatsenyuk, ketika mengumumkan susunan kabinetnya, pada 26
Februari 2014, tidak memilih gedung pemerintahan sebagai lokasi untuk sebuah
pengumuman penting. Ia memilih mimbar Lapangan Independen. Kalau di Jakarta
seperti Bundaran Monas atau Bundaran Hotel Indonesia.
Cara itu
sebagai simbol penghargaan dan peringatan atas tewasnya sekitar 800
demonstran penentang pemerintahan presiden terguling Yanukovych. Mereka tewas
di sekitar lapangan merdeka tersebut.
Dari
atas panggung, tempat dimana para tokoh demonstran membakar emosi para
penentang pemerintah yang berkuasa, Yatsenyuk satu persatu menyebut nama
anggota kabinet pilihannya. Saat menyebut nama setiap menteri pilihannya,
dari bawah, kerumunan massa, ada yang berteriak setuju ada yang menentang.
Mirip pengumuman sebuah lomba dan undian berhadiah
Dengan
situasi seperti itu, Ukraina digambarkan oleh para wartawan Barat sebagai
negara yang diperintah oleh parlemen jalanan. Mereka yang tiba-tiba muncul di
jalan sebagai tukang protes, tiba-tiba bisa menjadi penguasa. Mudah-mudahan,
keadaan dan cara seperti ini tidak menular ke Indonesia.
Mereka
bukanlah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan tentang
bagaimana mengelolah sebuah negara. Tetapi cukup bermodalkan suara kencang,
keberanian menggertak serta tahan berteriak-teriak manakala berdemonstrasi. Bagi
perdana menteri yang baru terpilih pun, tak ambil pusing soal kredibilitas
setiap anggota kabinetnya. Yang terpenting, Ukraina punya pemerintahan.
Di sisi
lain, negara-negara luar terutama dari Blok Barat seperti Amerika Serikat dan
Uni Eropa, mengalami kesulitan untuk berunding dengan pemerintahan sementara
saat ini. Sebab secara hukum atau sesuai UU Ukraina sendiri, rezim yang baru
berkuasa dan hanya punya kekuasaan selama tiga bulan ini, tidak sah.
Oleh
sebab itu ada kekhawatiran apakah negosisasi yang akan dilakukan oleh negara
luar, baik dalam rangka pemberian bantuan atau bentuk lainnya, punya landasan
hukum atau tidak.
Selasa 4
Maret 2014 ini, Menlu Amerika Serikat John Kerry berkunjung ke Kiev, Ibukota
Ukraina. Tujuannya jelas untuk 'menyelamatkan' Ukraina dari kemungkinan jatuh
ke tangan Rusia.
Kerry
sadar misinya ke Kiev, bukan perjalanan yang gampang. Tapi pilihan sulit
tetap harus dilakukannya, jika Washington tidak ingni kehilangan momentum.
Tragedi
Ukraina, termasuk salah satu pertaruhan Amerika Serikat di dunia. Terlambat
bereaksi, gagal meyakinkan Ukraina dan negara-negara Eropa Barat, negeri ini
bisa kembali menjadi bagian dari Rusia (baca Uni Sovyet). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar