Menakar
Kepartisanan Bos Jawa Pos Group
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
19 Maret 2014
Dahlan
Iskan, tokoh pers nasional, Minggu 16 Maret 2014, batal dilantik Ketua Umum
DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai anggota sekaligus
kader Partai Demokrat.
Sekalipun
batal, pembatalan tersebut tak mengurangi persepsi dan citra Dahlan Iskan
sebagai tokoh Partai Demokrat saat ini. Pembatalan itu bahkan bisa saja
sebagai bagian dari strategi kampanye Partai Demokrat, mengawali kampanye
Pemilu 2014. Karena, sekalipun tidak jadi dilantik, toh Dahlan Iskan tetap
berkampanye di daerah Magelang dan sekitarnya dengan membawa sekitar 10.000
relawan.
Mengapa
disebut sebagai bagian dari strategi? Buktinya liputan media atas "acara
yang batal" tersebut tetap saja marak. Dahlan tetap saja berkampanye
bagi partai yang memberinya panggung untuk pencalonan dirinya sebagai
Presiden 2014 - 2019.
Dahlan
Iskan memang sosok yang menarik. Ia bukan politisi, tetapi kiprahnya di
berbagau arena telah memberinya porto folio sebagai seorang politikus yang
diperhitungkan. Sebagai tokoh pers nasional, Dahlan tergolong fenomenal. Ia
seorang wartawan sejati yang menjadi industriawan media.
Pada
1980-an, oleh pimpinannya di majalah Tempo, di Jakarta, Dahlan
"dibuang" ke Surabaya. Tugasnya untuk membangun Jawa Pos, sebuah
harian lokal yang secara bisnis sudah gagal. Penugasan itu bagaikan sebuah
misi yang tidak masuk akal.
Karena
di era itu, tidak gampang mengangkat sebuah bisnis media yang telah gagal.
Tapi yang terjadi kemudian, koran gagal itu, dalam waktu relatif singkat
sudah menjelma menjadi media sukses.
Di era
Orde Baru, dimana perusahaan pers dibayangi keputusan Menteri Penerangan yang
sewaktu-waktu mencabut izin penerbitan, harian Jawa Pos yang dia pimpin,
selalu berada dalam posisi aman.
Dalam
posisi seperti itu, Dahlan berhasil mengembangkan Jawa Pos menjadi sebuah
konglomerasi media. Di saat banyak media di ibukota terus bergelut dengan
kesulitan mengembangkan bisnis sebuah suratkabar, Dahlan dari kota Surabaya,
secara pelan tetapi pasti berhasil membangun harian-harian di daerah. Dahlan
mampu membuktikan, untuk menjadi pengusaha pers yang sukses, tidak harus
berusaha menjadikan Jakarta sebagai basis.
Saat
ini, konon Jawa Pos Grup memiliki sekitar 180 penerbitan. Tidak termasuk
belasan televisi lokal dan kantor berita JPNN (Jawa Pos News Network). Dengan
jaringan yang cukup luas seperti itu, tidak heran jika ada yang menyebut,
Dahlan Iskan merupakan salah seorang manusia terkaya di Indonesia.
Bahwasanya
lembaga pemeringkat tentang orang-orang kaya di Indonesia, tidak atau belum
mencantumkan nama Dahlan Iskan, hal itu semata-mata karena terkendala oleh
metode pemeringkatan.
Metode
pengumpulan data sejauh ini baru menggunakan data perusahaan yang sudah masuk
pasar bursa. Dari sana kemudian diselidiki, siapa pengusaha yang menjadi
pembayar pajak terbesar.
Dan Jawa
Pos Grup, belum atau tidak masuk pasar bursa. Saham Jawa Pos hanya dikuasai
Dahlan dan beberapa sahabatnya. Belum satu lembar saham Jawa Pos yang
diperdagangkan di bursa saham. Sehingga sulit bagi pemeringkat mendeteksi
berapa kekayaan ril Dahlan Iskan.
Tanpa
harus mencari konfirmasi dari Dahlan, melihat volume aktiftas promosinya
dalam pencapresan Partai Demokrat, Ia tercatat yang paling banyak kuat
keuangannya.
Penampilan
Dahlan memang sangat bersahaja. Tetapi sejatinya Dahlan sudah menjelma
seperti Raja Media warga Amerika Serikat, Ruport Murdoch. Skala perbandingannya
mungkin masih terlalu jauh. Tapi tidak begitu berlebihan bila Dahlan dijuluki
"Ruport Murdoch"nya Indonesia.
Tidak
heran, jika keberhasilan "Ruport Murdoch Indonesia" ini membuat
penguasa seperti Presiden SBY tertarik merangkulnya. Dengan merangkul Dahlan
Iskan, maka semua media yang berada di bawah kendali kepemilikannya, secara
manusiawi akan lebih bersahabat atau jinak menghadapi pemerintahan SBY.
Dahlan
mula-mula ditawari menjadi Direktur Utama PLN. Saat pro kontra muncul
menjelang penetapannya sebagai Orang Nomor Satu di perusahaan 'lilin'
Indonesia itu, Dahlan dengan entengnya berreaksi. Katanya, dia tidak pernah
melamar melainkan dilamar.
Setelah
'berhasil' sebagai Dirut PLN, di 2009, Dahlan Iskan dipercaya Presiden SBY
memimpin Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menjelang Pilpres 2014,
SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, mengundang Dahlan Iskan sebagai salah
seorang peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat.
Menghadapi
Pilpres 2014, Dahlan Iskan dan SBY memiliki kepentingan yang hampir sama.
Yaitu terbentuknya citra yang positif. Bagi Dahlan Iskan, citra positif itu
tidak hanya dia butuhkan untuk mendukukung pencapresannnya, tetapi juga
karena hingga saat ini masih terus diganggu oleh pemberitaan tentang mega
korupsi di PLN.
Sementara
bagi SBY pencitraan penting, terutama menjelang berakhirnya masa jabatannya
sebagai Presiden. Jangan sampai setelah tidak berkuasa lagi, lalu media
mengungkit masa lalu yang tidak positif selama SBY menjadi Presiden.
Oleh
sebab itu bergabungnya si Raja Media, Dahlan Iskan dengan kekuasaan, tidak
sekadar sebuah kisah kebetulan. Khusus bagi Dahlan keputusannya bergabung
dengan partai penguasa, hal ini menjadi sebuah pertaruhan. Bagaimana dia
mempetaruhkan reputasinya dari seorang wartawan yang independen menjadi
non-independen atau partisan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar