SBY
dan Dahlan Saling Memanfaatkan
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
19 Maret 2014
Keputusan
Dahlan Iskan memihak kepada Partai Demokrat, harus diakui sebagai bagian dari
hak azasinya. Tetapi publik terutama komunitas pers, berhak bersuara,
bertanya dan bersikap.
Sebab
sebagai tokoh pers nasional, Dahlan Iskan sudah menjadi milik masyarakat pers
Indonesia. Dia bukan hanya menjadi milik Jawa Pos Grup. Jadi Dahlan tidak
lagi mewakili dirinya sendiri.
Dia
merupakan pemilik lebih dari seratus media. Tetapi di dalam media yang dia
pimpin, pasti tidak semuanya setuju dengan keputusan Dahlan Iskan menjadi
politisi Demokrat. Terutama bagi mereka, para wartawan yang tetap ingin
bersikap sebagai jurnalis independen atau non-partisan.
Tapi
karena hak kepemilikan itu, maka begitu dia bergabung dengan Demokrat, itu
berarti dia ikut menyeret ribuan jurnalis. Bukan mustahil mereka yang tidak
ada pilihan terpaksa ikut arus, sekalipun belum tentu sejalan dengan
keberpihakan Dahlan.
Keberpihakan
Dahlan inilah yang perlu dicermari sekaligus dikhawatirkan. Karena ratusan
media miliknya dapat menjadi penentu opini publik. Yang paling berbahaya jika
opini publik yang dibentuk media di bawah kendali Dahlan Iskan selalu
digiring untuk menguntungkan dirinya dan Partai Demokrat.
Dengan
jumlah media sebanyak itu dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, semuanya
dapat menjadi kekuatan tak tertandingi oleh pers manapun di Indonesia. Ditambah
lagi semua media cetak milik Dahlan Iskan masih disokong oleh jaringan
televisi dan kantor berita JPNN (Jawa Pos News Network).
Dan
mengingat setiap medianya memiliki website yang bisa diakses dan tersambung
secara global melalui jaringan internet, membuat Jawa Pos Grup menjelma
seperti raksasa yang super kuat.
Oleh
sebab itu berpihaknya Dahlan Iskan ke Partai Demokrat tak bisa dianggap
enteng. Masuknya Dahlan Iskan ke partai penguasa, cepat atau lambat, panjang
atau singkat dapat mengubah peran media secara keseluruhan.
Tidak
berarti media tak boleh berpihak kepada penguasa. Tetapi keberpihakan itu
harus terukur. Jangan sampai terjadi keberpihakan itu bersifat membabi buta.
Terutama karena Dahlan sebagai pemilik media, sudah menjadi bagian dari penguasa.
Sehingga segala yang berbau penguasa, tak peduli ada kekurangan dan
negatifnya, tapi bagi Jawa Pos grup wajib dilaporkan semua positif!
Keputusan
Dahlan Iskan menjadi kader Demokrat, tak dapat disamakan dengan masuknya
pengusaha pers Hary Tanoe ke Partai Hanura. Dahlan dan Hary dua konglomerat
pers yang berbeda.
Masuknya
Dahlan ke Demokrat melalui sebuah proses. Sementara Hary Tanoe ke Hanura,
terlalu mendadak, tiba-tiba sehingga lebih terkesan seperti kutu loncat.
Dahlan Iskan sekalipun sudah menjadi seorang konglomerat pers, tetapi dia
lebih pantas disebut sebagai tokoh pers nasional. Dalam nadinya mengalir
darah kewartawanan.
Dahlan
paham seluruh beluk dan liku-liku pekerjaan di dunia pers. Dia mengakar ke
bawah dan ke samping. Dia yang membangun Jawa Pos Grup sehingga menjadi
sebuah raksasa. Atas prestasi dan reputasi itu, dia disegani dan ditakuti
oleh seluruh anak buahnya. Jadi apa kata Dahlan, begitu yang dilakukan anak
buahnya.
Di
lingkungan Jawa Pos Grup, Dahlan sudah hampir setara 'dewa'. Itu sebabnya
yang dikuatirkan, kalau sampai Dahlan memerintahkan ke semua pelaksana
seluruh medianya, bahwa Jawa Pos Grup hanya untuk Demokrat. Bila ini terjadi,
opini publik tentang Partai Demokrat plus SBY bisa berubah total.
Yang
berbahaya kalau perubahan itu hanya menguntungkan Partai Demokrat dan SBY.
Sedangkan partai-partai lainnya serta para pemimpin partai itu, oleh Jawa Pos
Grup sengaja dimarjinalkan.
Hal
tersebut sama saja penyelewengan fungsi paling hakiki dari pers. Yaitu
menjadi pilar demokrasi dan penyeimbang bagi semua kekuatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar