Politik
Balas Budi ala Wartawan
Derek Manangka ;
Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
20 Maret 2014
Presiden
SBY, tergolong tokoh nasional yang tidak pernah lepas dari kritikan. Terutama
sejak 2009, di masa pemerintahannya yang kedua.
Demikian
ekstensifnya kritik pers terhadap SBY, telah memunculkan plesetan:
"tiada hari tanpa kritik untuk pak Beye..". Kata yang terakhir ini
merujuk pada nama BY yang artinya Bambang Yudhoyono.
Kendati
banyak dikritik, yang terkesan dari reaksi SBY, ia tidak terlalu marah. Ia
tahan emosinya atau coba tunjukkan sikap seorang yang berjiwa besar. Bahwa
dia cukup siap dikritik oleh pers.
Kalaupun
SBY mengeluh, keluhannya hanya berhenti di keluhan. Tidak pernah tersirat SBY
ingin menggunakan "otot militer"-nya untuk memberangus pers,
sebagaimana dulu dilakukan rezim militer di era Orde Baru. Ini menandakan,
SBY seorang jenderal yang cukup paham tentang peran pers. Dia sadar
pentingnya sebuah kebebasan pers.
Indonesia,
negara yang dipimpinnya membutuhkan pers yang bebas dan demokratis. Pers
sebagai pilar keempat demokrasi sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Tanpa pers
yang bebas, demokrasi tidak akan eksis. Tanpa demokrasi akan sulit
menggerakan negara maju ke depan. SBY pun menjaga jarak dengan kelompok
militer yang nota bene merupakan keluarga dan induk semangnya.
Apapun
kekurangan Presiden SBY selama memerintah 2004-2014, yang patut diberi kredit
poin terbesar adalah sikap dan tindakan SBY yang menghormati kebebasan pers
dan institusinya. Sikap SBY seperti tak rentan terhadap kritik pers, agak
berbeda dengan langkah (politik) yang dilakukan oleh Dahlan Iskan.
SBY
sebagai seorang militer, seperti ingin "menjauhkan" diri termasuk
pemerintahannya dari militer. Sebaliknya Dahlan Iskan yang merupakan seorang
wartawan sejati, seperti ingin "menjauhkan" pers miliknya dari
komunitas pers nasional. Seperti pendulum, pers yang dipimpin Dahlan bergerak
berat ke arah pemerintah atau penguasa.
Jika hal
ini dilakukan Dahlan di era represif, langkah itu masih bisa dipahami. Bahkan
setiap komunitas pers, pasti mendukungnya. Sebab cara tersebut dapat menjadi
pencegah atas kemungkinan pembreidelan pers oleh penguasa.
Hanya
saja karena langkah itu dilakukan oleh Dahlan di era reformasi, di saat pers
tidak memiliki ketakutan dan kekhawatiran sama sekali terhadap bentuk ancaman
apapun dari penguasa, inilah yang dirasakan sebagai sebuah kejanggalan.
Inilah yang menimbulkan pertanyaan ada apa di balik agenda politik Dahlan Iskan
?
Pertanyaan
ini terus mengemuka, karena sesungguhnya bagi komunitas pers, Dahlan Iskan
banyak melakukan perubahan dan terobosan. Hal itu tercermin dari sikap anak
buahnya Margiono.
Semenjak
terpilih sebagai Ketua Umum di 2003, Margiono banyak melakukan perubahan
dalam sistem dan manajemen kepengurusan PWI Pusat. Konon hal tersebut atas
restu dan dorongan Dahlan Iskan. Salah satu contoh kecil tetapi punya dampak
besar adalah pembenahan yang dilakukannya di kantor PWI Pusat.
Margiono
merenovasi sekretariat dan ruang kerja PWI Pusat yang berada di Gedung Dewan
Pers, Jl Kebon Sirih Jakarta. Renovasi ini sangat berarti. Sebab selama lebih
dari 20 tahun PWI Pusat berkantor di situ, belum satupun pengurus yang
berpikir seperti Margono atau Dahlan Iskam.
Hasil
renovasi membuat suasana kantor PWI Pusat terasa nyaman. Ruang rapat
dilengkapi oleh perangkat yang diperlukan dan ruangannya terkesan punya
estetika. Hal ini menimbulkan semangat baru di kalangan pengurus. Mereka
lebih sering memanfaatkan kantor tersebut.
Di
tengah hadirnya semangat baru dari pengurus PWI, Dahlan Iskan yang juga salah
seorang anggota senior PWI kemudian mengambil sebuah keputusan yang sifatnya
reposisi. Mengapa reposisi Dahlan Iskan mengundang pertanyaan? Tidak lain
karena keputusannya itu terjadi di saat usia pemerintahan SBY sudah berada di
ufuk senja.
Selain
itu pada saat Dahlan merapat ke rezim pemerintahan SBY, akuntabilitas dan
kredibilitas Presiden ke-6 RI tersebut sedang berada pada titik yang sangat
rendah.
Dan
posisi SBY yang tidak kondusif ini, bukan sebuah penilaian subyektif.
Melainkan didasarkan pada berbagai hasil survei dari lembaga-lembaga survei.
Oleh sebab itu logika sehat beranggapan, Dahlan Iskan semestinya tahu kondisi
tersebut.
Ketika
keberpihakan Dahlan Iskan dikaitkan dengan keberhasilan Margiono menjadi
pimpinan tertinggi di PWI Pusat, dimana disebut-sebut keberhasilan itu juga
antara lain didukung oleh modal hubungan baik antara Margiono dan SBY maka
timbul pertanyaan: langkah Dahlan merupakan balas budi kepada Presiden?
Keberhasilan
Margono menjadi Ketua Umum PWI berturut-turut selama dua periode, juga
ditengarai karena hubungan pribadinya dengan Presiden SBY, sangat kuat.
Dengan latar belakang ini, yang dikhawatirkan adalah jika seluruh langkah
politik Dahlan Iskan tidak lepas dari kebijakan balas budi.
Komunitas
wartawan Indonesia pasti akan senang jika seorang warganya berhasil menjadi
calon kemudian Presiden. Tapi kebanggaan itu harus tetap ditunjang oleh
martabat. Martabat itu antara lain ditunjukkan oleh almarhum Adam Malik.
Bekas
wartawan Kantor Berita Nasional Antara itu mula-mula menjadi Menteri Luar
Negeri. Sebagai diplomat ia berhasil mendapat kepercayaan PBB untuk memimpin Sidang
Umum badan internasional itu. Selepas menjabat Menlu, Adam Malik terpilih
sebagai Ketua DPR/MPR/RI pada Oktober 1977. Kemudian Maret 1978 menjadi Wakil
Presiden RI.
Promosi
Adam Malik tidak memberi dampak perubahan secara signifikan terhadap profesi
wartawan. Tetapi pada era ketika kebebasan pers dikekang di masa itu, Adam
Malik masih suka membantu media dan wartawan - manakala mengalami kesulitan
dengan penguasa.
Penegakkan
kebebasan pers dan demokrasi, sekalipun di era itu mustahil dilakukan, tetapi
lewat berbagai jaringannya, Adam Malik terus meyakinkan rezim otoriter bahwa
kebebasan pers dan demokrasi mutlak dibutuhkan oleh negara yang mau maju.
Pers tetap dikontrol ketat oleh rezim Orde Baru. Tetapi ketika pers sudah
terlalu terbebani oleh sikap opresif pemerintah, Adam Malik masih mau
bersuara membela pers.
Wartawan
Indonesia pasti bangga jika Dahlan Iskan bisa melampaui prestasi Adam Malik.
Warga media nasional tentu berharap agar Dahlan Iskan masih tetap menjadi
seorang tokoh pers yang bisa jadi panutan.
Diceritakannya
kembali peran Adam Malik dalam ikut membangun kebebasan pers dan demokrasi,
karena adanya kekhawatiran baru. Bisa saja tokoh pers seperti Dahlan terjebak
dalam dikotomi bahwa sebagai orang yang sudah sukses di dunia pers, tak ada
lagi orang yang paling tahu tentang pers di Indonesia, kecuali dirinya.
Yang
kita kuatirkan, jangan sampai gara-gara Dahlan Iskan sudah masuk dalam
'lingkar dalam kekuasaan' paradigmanya tentang peranan pers, kebebasan pers
dan demokrasi, juga serta merta berubah. Dan perubahan paradigma itu kemudian
diterjemahkan oleh Jawa Pos Grup
Kita
tetap berharap sebagai satu korps di dunia jurnalistik, apapun yang
diputuskan Dahlan Iskan, Jawa Pos Grup, berikut personalia wartawannya, tetap
menjadi pilar demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar