Selasa, 25 Maret 2014

Mengubah Kultur Militeristik Polisi

Mengubah Kultur Militeristik Polisi

Andy Suryadi  ;   Dosen Sejarah, Pegiat di Pusat Kajian Kepolisian Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
TAHUN 2007, korps Bhayangkara dan masyarakat diguncang oleh peristiwa tragis. Wakil Kepala Polwiltabes (kini Polrestabes) Semarang AKBPDrs H Lilik Purwanto SH MHum tewas di kantornya setelah ditembak anak buahnya, Briptu Hance Christanto.

Diyakini Hance kalap mengingat hendak dimutasi ke luar kota (Kendal) karena dianggap sering bermasalah. Hasil pemeriksaan saat itu menyebutkan pelaku berada di bawah pengaruh narkoba jenis MDMA sehingga berbuat nekat. Meski pelaku akhirnya tewas di tangan personel resmob, kengerian dan kegetiran atas peristiwa tersebut menghantui masyarakat.

Muncul keprihatinan berkait kesehatan psikologi anggota Polri, terutama mereka yang memegang senjata. Peristiwa tersebut seolah-olah menjadi cambuk bagi Polri, dan sontak berbagai pemeriksaan psikologi, tes bebas narkoba, dan pengecekan senjata dilakukan pada hampir seluruh markas kepolisian di Tanah Air.

Namun budaya hangat-hangat tahi ayam masih menjadi penyakit, buktinya hampir tiap tahun sejak itu bentrok antarpolisi bersenjata masih terjadi. Total sejak 2007, sudah tujuh peristiwa saling tembak antaraparat terungkap ke publik. Itu belum ditambah aksi koboi polisi bersenjata terhadap warga sipil di berbagai tempat umum semisal kafe, diskotek, dan jalanan.

Terkini, pada Selasa (18/3/14), Kepala Detasemen Pelayanan Markas Polda Metro Jaya AKBP Pamudji harus menghembuskan napas terakhir karena tembakan dua peluru di kepala. Pelaku adalah anak buahnya, Brigadir Susanto. Peristiwa ini seperti menjadi de javu kejadian di Semarang 7 tahun lalu.

Brigadir Susanto tega menembak atasannya di kantor karena diyakini tidak terima ditegur korban mengingat tak berseragam dinas di tempat tugas. Adapun pelaku membantah menembak atasannya, dan menyatakan korban bunuh diri. Sontak kengerian dan kekhawatiran kembali menggelayut di masyarakat, mendasarkan minimal lima alasan.

Pertama; jika hanya karena emosi sesaat atas teguran komandan, bagaimana responsnya terhadap rakyat sipil yang lemah dan tak begitu paham peraturan? Kedua; bila di markas polisi yang banyak saksi dan petugas jaga saja brutalisme bisa terjadi, bagaimana di tempat umum atau lokasi sepi? Ketiga; fakta bahwa pelaku membantah menembak korban juga pantas dikhawatirkan.

Bila ada saksi objektif (pelaku dan korban sama-sama polisi) dengan bukti kuat, pelaku berani membuat skenario pembenar, bagaimana bila korbannya rakyat sipil dengan saksi rekan sekorpsnya, yang tentunya sulit objektif? Janganjangan dugaan sebagian masyarakat selama ini benar adanya. Artinya, seringkali ada korban tewas ditembak polisi bukan karena kejahatannya melainkan kemungkinan karena tindak gegabah aparat.

Hanya saja korban dikriminalisasikan. Keempat; melihat usia, keluarga, dan pengalamannya, Brigadir Susanto tergolong anggota yang sudah matang dan berpengalaman, tapi fakta menunjukkan ia mudah kalap. Bagaimana dengan polisi muda yang belum mencapai tingkat kematangan emosional dan kemapanan keluarga?

Ubah Kultur

Kelima; Brigadir Susanto petugas Detasemen Pelayanan Masyarakat, yang rutin berhadapan dengan pengaduan/keluhan masyarakat. Secara logika mestinya petugas di tempat itu dipilih memiliki kematangan mental dan sikap dalam menghadapi masyarakat.

Jika itu saja masih mudah kalap, bagaimana dengan polisi yang bertugas di unit/detasemen lain? Masyarakat tentunya berharap ada langkah serius dari pimpinan Polri untuk menjamin bahwa brutalisme antarpolisi, atau antara polisi dan rakyat sipil tidak terulang.

Langkah cepat beberapa polres/polsek yang melakukan tes psikologis dan pemeriksaan senjata anggota begitu ada kejadian adalah langkah positif. Tapi budaya seperti itu tidak selamanya efektif. Sebenarnya Polri ada agenda rutin pemeriksaan kejiwaan pemegang senjata api tiap 6 bulan, tapi pelaksanaannya acap tidak maksimal.

Andai pemeriksaan rutin berkala tiap 6 bulan dianggap belum cukup semestinya ada tindakan lain, misal tiap 3 bulan atau merekrut psikolog profesional dari luar yang secara berkala melakukan pendampingan pada anggota polisi. Kabar yang menyebutkan bahwa emosi Brigadir Susanto meluap karena kelelahan mempersiapkan upacara pisah sambut kapolda baru mestinya disikapi serius.

Andai itu benar, Polri harus mulai memperhitungkan beban kerja fisik dan mental anggotanya, dan tidak menempatkan mereka seperti pasukan militer yang harus selalu siap kapan pun dan di mana pun. Polri perlu makin memperkuat kultur sipil, dan sebaliknya sedikit demi sedikit mengikis kultur militer. Polisi berbeda dari militer yang berhadapan dengan musuh negara.

Polisi dihadapkan pada persoalan sosial masyarakat yang lebih kompleks dan lebih memerlukan sikap mental ketimbang fisik. Karena itu, perlu meninjau ulang seremoni yang bernuansa militeristik dan melelahkan. Acara seperti pisah sambut pimpinan polisi adalah hal rutin dan kerap dilakukan.

Lebih baik kapolri mengeluarkan perintah untuk menyederhanakan upacara semacam itu. Bila Jokowi-Ahok bisa menyederhanakan acara pelantikan wali kota dan pejabat lainnya, mengapa pimpinan Polri tidak? Lebih-lebih bila kegiatan itu memukul ketahanan fisik dan mental personel polisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar