Minggu, 02 Februari 2014

Dangdut Politik

Dangdut Politik

Aris Setiawan  ;   Etnomusikolog, Pengajar Institut Seni Indonesia, Surakarta
KORAN JAKARTA,  01 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Dangdut dan pemilu tak dapat dipisahkan. Kampanye tanpa dangdut bagai sayur tiada garam. Dangdut berdaya pikat untuk mengumpulkan masyarakat. Hari-hari kampanye menjadi musim panen uang penyanyi dangdut. 

Panggung dan goyangan kemudian bergambar, berstempel para caleg, nomor dan warna partai. Tak jarang di ruang itu, ekspresi erotika dijual dan pertontonkan.
Dangdut memberi nafas bagi kehidupan politik. Sejarah politik negeri ini kemudian tak jauh dari narasi goyangan sensual di atas panggung dangdut.

Sesedih apa pun lagu dangdut, hampir mustahil tak dapat digoyangi. Dengan demikian, dangdut menjadi musik yang mengisahkan goyang. Dangdut hingga detik ini masih identik dengan masyarakat akar rumput. Kisah-kisah nukilan hidup masyarakat abangan itu dapat terlukiskan dengan gamblang lewat musik ini. 

Di kala musik-musik lain hanya menempatkan publik sebagai penikmat dan penonton, dangdut bisa melibatkan publik sebagai subjek, laksana aktor atau pemeran utama. Jangan heran kemudian jika lagu-lagu penyanyi tertentu begitu digemari. Bukan semata karena lagunya enak didengar, namun kekuatan liriknya turut mengisahkan kehidupan kelas bawah. 

Musik dangdut kemudian dianggap sebagai representasi kultural dari kebanyakan masyarakat Indonesia. Philip Yampolsky lewat Smithsonian Folkways (1991) menempatkan dangdut sebagai musik "kebangsaan" Indonesia.

Dangdut juga berusaha memanjakan mata lelaki melotot menyaksikan pinggul bergoyang, berlenggak-lenggok.

Bagi penonton, berjoget dangdut menjadi ritus pelampiasan himpitan persoalan hidup. Hiburan yang melenakan masyarakat dari masalah ekonomi dan kesenjangan sosial. Perayaan goyang dangdut hampir dapat diamati setiap panggung hiburan sala musim kampanye pemilu. 

Pertanyaannya kemudian, apa yang unik dari panggung-panggung dangdut di musim pemilu? Di area panggung itulah ekspresi "kenaturalan" mencoba untuk dipertontontan. Tanpa ada usaha dalam memoles "muka dangdut" seperti yang sering tampak di layar televisi. Dangdut di televisi cenderung permisif, santun, dan kadang justru kelihatan banal penuh kepura-puraan. 

Bahkan tak jarang, dangdut dalam layar kaca menjadi musik yang temarjinalkan, kalah bersaing dengan musik-musik pop. Ruang tampilnya pun hanya dibatasi pada jam-jam yang tidak menguntungkan untuk dilihat. Atau sekadar sebagai pelengkap dalam keseluruhan sajian acara musik pop, tergilas, dan kalah.

Akibatnya banyak pengamat musik yang memprediksi dangdut segera akan menemui titik nadir kematiannya. Benarkan demikian?

Anggapan tersebut salah. Arus perkembangan musik dangdut berbeda dengan pop.
Jika perkembangan musik pop terpusat di ibu kota, dangdut lebih bersifat arus bawah. Artinya, musik-musik pop membutuhkan Jakarta sebagai ruang pijak untuk produksi dan publikasi, sementara dangdut membutuhkan kampung sebagai ruang hidup dan sosialisasi. 

Produser-produser musik ibu kota berburu gaya "dangdut jalanan" untuk diadopsi, dijadikan sebagai struktur budaya musik kota. Kemudian lahirlah hentakan-hentakan musikal dangdut yang selama ini banyak didengar lewat acara komedi di stasiun televisi swasta. 

Hentakan-hentakan musikal itu sejatinya justru lahir dari rahim panggung "dangdut kampung" - musik koplo di Jawa Timur misalnya. Dengan demikian, dangdut tak membutuhkan Jakarta sebagai pusat kebertahanan.

Dangdut justru akan senantiasa bertahan dari satu kampung ke kampung lain. Dia melebur dan menjadi musik wajib dalam setiap prosesi dan pesta. 

Banyak lagu "dangdut ala desa" yang kemudian diaransemen ulang produser musik ibu kota sehingga tampak baru dan segar. Lihatlah Iwak Peyek, Keong Racun, Nyanyian Pengamen, Cicilalang dan lain sebagainya.

Pada titik inilah lajur kehidupan musik dangdut berlawanan dengan pop. Karena menjadi musik kerakyatan, dangdut adalah sarana ideal dalam mengemban misi menyemarakkan kampanye. 

Tak mengherankan kemudian diberitakan bahwa pentas dangdut menjadi sarana efektif menggalang massa di musim politik. Di balik itu, banyak para politikus dan birokrat telah jatuh hati pada kemolekan penyanyi dangdut. 

Dilupakan

Moh Muttaqin lewat tulisannya berjudul Dangdut and its Existence in the Society (2006) menjelaskan, dangdut menjadi ruang ideal dalam misi propaganda politik, terutama lewat erotika. Wajar kemudian jika jadwal pementasan kelompok dangdut di Jawa Timur dan Pantai Utara Jawa (Pantura) penuh menjelang pemilu. 

Musim panen sedang berlangsung. Erotika menjadi pemandangan lumrah. Para politikus disemai dari hasil goyang. Walaupun kadang mereka lupa, setelah menjadi birokrat sibuk mengurusi tentang undang-undang pornografi dalam musik dangdut. Tak sadar bahwa lewat dangdut dan erotikalah politisi itu dibentuk.

Namun panggung dangdut juga seringkali minta korban karena berdesakan, tawuran, dan kekerasan. Dangdut boleh dikata sebagai musik paling banyak mendulang kerusuhan. Adu joget menjadi adu jotos. 

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, presiden yang dibesarkan lewat dangdut itu mencoba melarang kampanye dengan medium dangdut (Koran Jakarta, 16/01/2013). Menurutnya, saat ini kurang efektif mengumpulkan masa lewat dangdut. Sebab, selain rawan ricuh, visi misi tak sampai secara ideal karena masyarakat hanya ingin hiburannya untuk bergoyang. 

Alangkah lebih baik kampanye dilakukan di dalam gedung dan hanya mengundang masa dengan kapasitasnya terbatas. Semakin banyak politikus menggunakan dangdut, tambah mengangkat namanya untuk dikenal masyarakat luas.

Atau justru sebaliknya, masyarakat hanya datang demi dangdut, bukan karena pamrih politik. Kata-kata politisi lewat orasinya tidak lagi penting. Yang utama dan ditunggu adalah menikmati lagu dangdut sambil ekstase goyang

Dangdut menjadi nukilan yang menyertai hajad agung negeri ini. Dangdut berjasa besar dalam struktur penekanan politik Indonesia abad XXI. Dangdut kembali diprediksi segera menyapa masyarakat jelang kampanye.

Dangdut memanggil massa untuk datang, menyaksikan biduan-biduan cantik dan beratraksi tubuh. Nyanyian boleh sumbang, suara politisi boleh muluk penuh janji, tapi goyang tidak tergantikan. 

Dangdut tak lagi sekadar goyang dan musik, tetapi telah mewarnai politik. Boleh jadi dangdut politik tengah berlangsung. Dangdut politik adalah sebuah potret demokratisasi yang masih "goyang," belum mapan, labil karena demokrasi masih bisa "digoyang" politik uang.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar