Jangan
Bermain-main dengan Nasib Rakyat
Rizal Ramli ; Menko
Perekonomian 2000-2001
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Februari 2014
TINGGINYA curah hujan
yang menerpa sebagian wilayah Indonesia (seharusnya) membuat suhu politik
ikut turun. Bahkan menjelang pelaksanaan pemilihan umum, suhu politik justru
makin meningkat. Naiknya suhu politik dan persoalan pangan, utamanya yang
belakangan sedang ramai terkait dengan impor beras ilegal dari Vietnam,
suka-tidak suka membuat kita harus berpikir kemungkinan keterkaitan persoalan
perut rakyat dengan masalah politik.
Sungguh aneh ketika
pejabat masih tega bermain-main dengan nasib puluhan juta petani. Slogan
bahwa Indonesia adalah negara agraris lama-lama hanya terdengar sebagai omong
kosong belaka. Jangan lagi bicara soal swasembada pangan, tapi bicara saja
siapa mendapat apa dan berapa. Sebab, hal itu sering justru jauh lebih
realistis.
Hanya, yang tidak bisa
diterima rakyat ialah ketika impor-impor gelap ini tidak pernah diungkap
secara terang benderang. Siapa pelakunya, siapa pemainnya, berapa bagi
hasilnya, seolah hanya mirip lagu bernada sumbang.
Bila kita perhatikan,
modus kasus impor beras ilegal dimulai dengan penggabungan nomor harmonized
system (HS) beras dari dua menjadi satu HS. Dari sini dalam dokumen impornya
dilaporkan beras kelas umum. Namun, kenyataannya beras yang diberi izin impor
adalah kualitas premium. Harga beras di pasar internasional (4/2), beras
Vietnam dengan kualitas 5% broken (premium) mencapai US$410/ ton, sedangkan
beras kualitas 25% broken harganya US$375/ton. Beras ilegal yang diimpor itu
konon nyaris 20 ribu ton. Biasanya, harga beras di Indonesia minimal 35%
lebih mahal ketimbang harga internasional. Dengan nilai tukar US$1 setara
Rp12 ribu saja, ada selisih harga US$2,87 juta atau sekitar Rp34,4 miliar.
Uang inilah yang mungkin dibagi-bagikan ke para pelaku yang terdiri dari
pengusaha dan pejabat.
Aneh kalau kemudian
kementerian yang bersinggungan langsung dengan masalah impor pangan
menyatakan tidak tahu-menahu. Apa alasan Kementerian Perdagangan kok malah
menerbitkan izin impor beras premium ketika Kemente rian Pertanian dan Badan
Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa produksi beras surplus, tetapi impor
terus dilakukan. Akibatnya, beras menumpuk di gudang. Beras yang terlalu lama
disimpan di gudang akan nyaris busuk. Celakanya, beras yang nyaris busuk
inilah yang kemudian dibagikan kepada rakyat dalam bentuk beras untuk warga
miskin (raskin).
Impor bukanlah barang
haram yang tidak boleh dilakukan. Namun, hal itu harus dilakukan dalam
keadaan darurat, seperti musim kemarau berkepanjangan, sehingga mengancam
produksi pangan. Menjadi tugas negaralah untuk menjaga rakyatnya jangan
sampai kelaparan. Tetapi, jangan hanya karena nafsu mengumpulkan dana untuk
kepentingan politik, semua aturan ditabrak. Petani yang sudah miskin semakin
tidak berdaya karena banyaknya pangan impor.
Akibat mental korup,
impor beras sering dilakukan tanpa kebutuhan mendesak. Motivasi ingin dapat
komisi lebih besar daripada keinginan untuk melindungi petani dan mengejar
kedaulatan pangan. Padahal, impor hanya akan menguntungkan petani Thailand,
Vietnam, dan lainnya, tapi membuat petani kita menderita. Impor beras
menghambat cita-cita Indonesia mencapai kedaulatan pangan.
Tanggung renteng
Soal pangan tersebut
juga menjadi tanggung jawab Kemenko Perekonomian. Menko-lah yang seharusnya
mengoordinasikan masalah produksi, kebutuhan, bea masuk, dan penjagaan arus
keluar-masuknya dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog,
Kementerian Keuangan, serta Bea dan Cukai. Kalau akhirnya sampai terjadi
impor ilegal, artinya selama ini tidak ada check and balance sehingga kejadian penyeludupan terjadi terus
berulang-ulang.
Sebelumnya menurut Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan, impor beras Vietnam tersebut atas rekomendasi
Menteri Pertanian Suswono. Namun, Suswono membantah dirinya pernah
merekomendasikan untuk mengimpor beras tersebut. Bagaimana bisa impor yang
sedemikian banyak, tapi kementerian teknis justru saling lempar tanggung
jawab?
Saya juga tidak habis
mengerti ketika Wakil Menteri Perdagangan mengatakan ini hanya soal persaingan
dagang. Kalau memang itu hanyalah praktik persaingan dagang, selisihnya
paling Rp100 Rp200/kg. Tapi kalau selisihnya mencapai Rp2.000/kg, ini jelas
penyelundupan. Padahal, keuntungan dari impor beras rata-rata 2 juta ton per
tahun itu sangat besar, cukup untuk membangun 1 waduk per tahun.
Adanya kecenderungan
pejabat untuk impor beras dilatari untung yang besar dan transaksi bisa
dilakukan di luar negeri. Padahal kalau mau dilakukan kajian lebih dalam,
Indonesia belum tentu membutuhkan beras impor di tengah kesediaan beras dalam
negeri yang masih surplus. Hal itulah yang harus dihentikan, apalagi bila
impor ilegal dan dilakukan terus-menerus.
Ganti sistem
Kalau memang ingin
melaksanakan tekad swasembada pangan, sebetulnya tidaklah sulit. Negara cuma
harus berpihak kepada rakyat dan membuat serangkaian program prorakyat.
Katakanlah di Sulawesi Selatan yang menjadi lumbung padi nomor tiga, produksi
berasnya bisa ditingkatkan. Caranya dengan membangun 4-5 waduk, memperbaiki
irigasi, dan memberikan bibit unggul. Dengan surplus beras yang ada,
Indonesia bahkan bisa mengekspor 2-3 juta ton per tahun. Terlebih bila kebijakan
harga juga berpihak pada petani, kedaulatan pangan akan tercapai.
Hapus saja sistem
kartel/kuota dan diganti dengan tarif, serta lakukan investasi besar-besaran
dalam bidang pertanian. Pemerintah harus gencar membangun irigasi dan memberi
subsidi pupuk sehingga rasio harga gabah dan pupuk 2:1. Kalau petani untung
dan sejahtera, negara ini akan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar