Selasa, 11 Februari 2014

Jangan Bermain-main dengan Nasib Rakyat

Jangan Bermain-main dengan Nasib Rakyat

Rizal Ramli   ;  Menko Perekonomian 2000-2001
MEDIA INDONESIA,  10 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
TINGGINYA curah hujan yang menerpa sebagian wilayah Indonesia (seharusnya) membuat suhu politik ikut turun. Bahkan menjelang pelaksanaan pemilihan umum, suhu politik justru makin meningkat. Naiknya suhu politik dan persoalan pangan, utamanya yang belakangan sedang ramai terkait dengan impor beras ilegal dari Vietnam, suka-tidak suka membuat kita harus berpikir kemungkinan keterkaitan persoalan perut rakyat dengan masalah politik.

Sungguh aneh ketika pejabat masih tega bermain-main dengan nasib puluhan juta petani. Slogan bahwa Indonesia adalah negara agraris lama-lama hanya terdengar sebagai omong kosong belaka. Jangan lagi bicara soal swasembada pangan, tapi bicara saja siapa mendapat apa dan berapa. Sebab, hal itu sering justru jauh lebih realistis.

Hanya, yang tidak bisa diterima rakyat ialah ketika impor-impor gelap ini tidak pernah diungkap secara terang benderang. Siapa pelakunya, siapa pemainnya, berapa bagi hasilnya, seolah hanya mirip lagu bernada sumbang.

Bila kita perhatikan, modus kasus impor beras ilegal dimulai dengan penggabungan nomor harmonized system (HS) beras dari dua menjadi satu HS. Dari sini dalam dokumen impornya dilaporkan beras kelas umum. Namun, kenyataannya beras yang diberi izin impor adalah kualitas premium. Harga beras di pasar internasional (4/2), beras Vietnam dengan kualitas 5% broken (premium) mencapai US$410/ ton, sedangkan beras kualitas 25% broken harganya US$375/ton. Beras ilegal yang diimpor itu konon nyaris 20 ribu ton. Biasanya, harga beras di Indonesia minimal 35% lebih mahal ketimbang harga internasional. Dengan nilai tukar US$1 setara Rp12 ribu saja, ada selisih harga US$2,87 juta atau sekitar Rp34,4 miliar. Uang inilah yang mungkin dibagi-bagikan ke para pelaku yang terdiri dari pengusaha dan pejabat.

Aneh kalau kemudian kementerian yang bersinggungan langsung dengan masalah impor pangan menyatakan tidak tahu-menahu. Apa alasan Kementerian Perdagangan kok malah menerbitkan izin impor beras premium ketika Kemente rian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa produksi beras surplus, tetapi impor terus dilakukan. Akibatnya, beras menumpuk di gudang. Beras yang terlalu lama disimpan di gudang akan nyaris busuk. Celakanya, beras yang nyaris busuk inilah yang kemudian dibagikan kepada rakyat dalam bentuk beras untuk warga miskin (raskin).

Impor bukanlah barang haram yang tidak boleh dilakukan. Namun, hal itu harus dilakukan dalam keadaan darurat, seperti musim kemarau berkepanjangan, sehingga mengancam produksi pangan. Menjadi tugas negaralah untuk menjaga rakyatnya jangan sampai kelaparan. Tetapi, jangan hanya karena nafsu mengumpulkan dana untuk kepentingan politik, semua aturan ditabrak. Petani yang sudah miskin semakin tidak berdaya karena banyaknya pangan impor.

Akibat mental korup, impor beras sering dilakukan tanpa kebutuhan mendesak. Motivasi ingin dapat komisi lebih besar daripada keinginan untuk melindungi petani dan mengejar kedaulatan pangan. Padahal, impor hanya akan menguntungkan petani Thailand, Vietnam, dan lainnya, tapi membuat petani kita menderita. Impor beras menghambat cita-cita Indonesia mencapai kedaulatan pangan.

Tanggung renteng

Soal pangan tersebut juga menjadi tanggung jawab Kemenko Perekonomian. Menko-lah yang seharusnya mengoordinasikan masalah produksi, kebutuhan, bea masuk, dan penjagaan arus keluar-masuknya dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog, Kementerian Keuangan, serta Bea dan Cukai. Kalau akhirnya sampai terjadi impor ilegal, artinya selama ini tidak ada check and balance sehingga kejadian penyeludupan terjadi terus berulang-ulang.

Sebelumnya menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, impor beras Vietnam tersebut atas rekomendasi Menteri Pertanian Suswono. Namun, Suswono membantah dirinya pernah merekomendasikan untuk mengimpor beras tersebut. Bagaimana bisa impor yang sedemikian banyak, tapi kementerian teknis justru saling lempar tanggung jawab?

Saya juga tidak habis mengerti ketika Wakil Menteri Perdagangan mengatakan ini hanya soal persaingan dagang. Kalau memang itu hanyalah praktik persaingan dagang, selisihnya paling Rp100 Rp200/kg. Tapi kalau selisihnya mencapai Rp2.000/kg, ini jelas penyelundupan. Padahal, keuntungan dari impor beras rata-rata 2 juta ton per tahun itu sangat besar, cukup untuk membangun 1 waduk per tahun.

Adanya kecenderungan pejabat untuk impor beras dilatari untung yang besar dan transaksi bisa dilakukan di luar negeri. Padahal kalau mau dilakukan kajian lebih dalam, Indonesia belum tentu membutuhkan beras impor di tengah kesediaan beras dalam negeri yang masih surplus. Hal itulah yang harus dihentikan, apalagi bila impor ilegal dan dilakukan terus-menerus.

Ganti sistem

Kalau memang ingin melaksanakan tekad swasembada pangan, sebetulnya tidaklah sulit. Negara cuma harus berpihak kepada rakyat dan membuat serangkaian program prorakyat. Katakanlah di Sulawesi Selatan yang menjadi lumbung padi nomor tiga, produksi berasnya bisa ditingkatkan. Caranya dengan membangun 4-5 waduk, memperbaiki irigasi, dan memberikan bibit unggul. Dengan surplus beras yang ada, Indonesia bahkan bisa mengekspor 2-3 juta ton per tahun. Terlebih bila kebijakan harga juga berpihak pada petani, kedaulatan pangan akan tercapai.

Hapus saja sistem kartel/kuota dan diganti dengan tarif, serta lakukan investasi besar-besaran dalam bidang pertanian. Pemerintah harus gencar membangun irigasi dan memberi subsidi pupuk sehingga rasio harga gabah dan pupuk 2:1. Kalau petani untung dan sejahtera, negara ini akan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar