Selasa, 11 Februari 2014

Jangan-Jangan, Kurikulummu bukan Kurikulumku

Jangan-Jangan, Kurikulummu bukan Kurikulumku

Ahmad Baedowi   ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  10 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
MENARIK mengikuti penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh tentang pembeda antara kurikulum lama dan kurikulum 2013 bentukan tim pakar besutannya. Menurut Pak Nuh, kurikulum lama itu ibarat sebuah baju yang dirancang secara sepotong-sepotong dan ketika jadi ternyata lengannya pendek sebelah, warnanya rupa-rupa, kerahnya kekecilan, lingkar perut dan dada berbeda desain, dan lain sebagainya. Pendek kata, baju tersebut tetap disebut sebagai baju, tetapi kurang elok jika dipakai di muka umum. Para pembuat pola dalam kurikulum lama ialah para guru yang terlatih hanya membuat pola. Misalnya, pola matematika, fisika, biologi, agama, dan sejarah geografi, tetapi tak ada kesamaan tema dan terintegrasi antara satu pola dan pola lainnya.

Nah, sebaliknya kurikulum baru, menurut Pak Nuh, memiliki keseragaman pola sehingga ketika jadi jelas bentuk dan ukurannya. Namun, jika mengikuti logika ini tersisa pertanyaan sederhana; apakah yang akan menjalankan kurikulum baru ialah para guru yang terbiasa membuat pola lama atau guru baru yang sudah mengerti format baru kurikulum anyar itu? Sayangnya jawabannya ialah tetap para pembuat pola lama yang terbiasa mengajar dengan bidang studi masing-masing. Apakah dengan pelatihan yang hanya sekali dan dua kali para pembuat pola lama itu langsung bisa membuat model baju baru dalam kurikulum baru? Belum tentu. Hal itu terlihat dari kebijakan pelatihan guru tahun lalu, ketika para guru yang sudah dilatih dan memperoleh predikat guru inti di-grounded alias dianggap tidak efektif.

Saya orang yang sangat percaya pada adagium at-thoriqo tu ahammu min al-maddah (metode dan strategi itu lebih baik daripada isi). Lebih dari 90% kondisi guru kita ialah mereka yang tidak memiliki keduanya. Kedalaman materi atau subject matter yang lemah juga kemampuan metodologis dan pedagogis yang tanggung. 

Padahal, kurikulum baru versi tim Pak Nuh itu sangat kencang berorientasi pada aspek meto dologis dan pedagogis. Jadi, pasti akan ada kebingungan luar biasa, dan dalam prediksi saya, guru-guru kita yang serbaterbiasa dengan ‘bimbingan dan tuntunan’ versi SKKD lama akan terjerembap lagi ke dalam lembah formalitas implementasi kurikulum yang kaku dan membingungkan peserta didik.

Berbasis sekolah

Kekhawatiran saya memiliki alasan tersendiri karena cara dan skema pelatihan guru yang didengungkan akan menyertakan partisipasi masyarakat tetap belum jelas muasalnya. Selain itu, selama pemerintah tidak membuat skema pelatihan berbasis sekolah, sekali lagi berbasis sekolah dan bukan mencabut guru, kepala sekolah, dan pengawas satu per satu dan dikumpulkan secara homogen dengan guru, kepala sekolah, dan pengawas dari sekolah lainnya, implementasi kurikulum baru jelas akan mengalami kegagalan. Belum lagi jika angin politik setelah 2014 berubah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki menteri baru yang memiliki selera baru lagi dalam proses implementasi kurikulum baru ini.

Seperti terlihat dalam sejarah pendidikan di Indonesia, dalam 30 tahun terakhir perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach, dengan mengambil perubahan pada aspek kurikulum dengan menggunakan simplistic curriculum change approach, atau fokus perubahan yang menitikberatkan pada aspek kapasitas guru dengan model pendekatan teacher competence development approach. Meskipun pelibatan semua pemangku kepentingan telah dilakukan, jika dilihat dari sudut pandang arah perubahan kurikulum yang diinginkan, agenda untuk memasukkan secara serius perbaikan manajemen sekolah belum dicakupkan ke skema perubahan kurikulum.

Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective (1994) mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yaitu individu guru, kelompok, dan sekolah.
Organizational model of curriculum change itu jelas harus memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum), serta membiarkan sekolah memiliki strategi implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang sesuai dengan visi dan misinya.

Karena itu, melakukan mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala sekolah yang terbuka dan menetapkan kualifikasi yang sesuai dengan tujuan pengembangan kurikulum 2013 ialah imperatif. Demikian juga melakukan workshop penguatan kapasitas leadership dan manajemen sekolah merupakan keharusan yang tidak bisa diabaikan dalam proses implementasi kurikulum 2013. Banyak hasil riset tentang pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan kurikulum sebaiknya selalu menimbang kebutuhan lokal sekolah dan budaya yang berkembang di sekitarnya. 

Artinya, kontekstualisasi kurikulum dengan menempatkannya di jantung sekolah (curriculum school based program) ialah hal yang tidak bisa ditawar untuk dilakukan, jika tak ingin kurikulum baru bernasib sama dengan kurikulumkurikulum sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar