Dana Saksi Parpol Cuma
Dalih
Titi Anggraini ; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi
|
HALUAN,
12 Februari 2014
Artikel ini telah dimuat di KORAN JAKARTA 10 Februari 2014
Dua bulan menjelang Pemilu Legislatif 2014, politik nasional ramai
dengan polemik dan kontroversi saksi parpol dibiayai APBN. Dalam Pemilu
Legislatif 2014, ada 545.778 tempat pemungutan suara (TPS). Saksi yang
ditempatkan parpol peserta pemilu dibayar negara 100.000 rupiah per orang.
Setiap parpol hanya bisa mengirim satu saksi yang akan dibayar via Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Jadi, diperlukan dana Rp658
miliar rupiah untuk membiayai saksi 12 parpol nasional dan 3 parpol lokal di
Aceh. Tiap parpol dijatah Rp 54,56 miliar dan parpol lokal di Aceh Rp1,08
miliar.
Selain saksi parpol, Bawaslu
sendiri, di TPS, akan memiliki dua Mitra Pengawas Pemilu Lapangan (Mitra PPL)
yang secara resmi mengawasi kinerja tujuh petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. Penghitungan suara harus terbuka, transparan,
dan bisa disaksikan para pemilih.
Gagasan itu dituding janggal
oleh koalisi masyarakat sipil dan berpotensi koruptif. Dana saksi parpol
sebelumnya tidak dianggarkan dalam pembahasan APBN 2014, tapi bisa begitu
saja disetujui. Inilah yang oleh koalisi sipil sebut sebagai kebijakan
politik kartel.
Jika parpol sudah sepakat,
anggaran tidak ada, tetap diadakan. Tidak ada ketentuan, ya diadakan.
Pengaturan keuangan negara dijungkirbalikkan karena aktor pembuat kebijakan
ditunggangi kepentingan elite politik.
Ada yang mengatakan diperlukan
saksi dari setiap parpol di TPS dengan biaya negara untuk mengimbangi dan
mengawasi kinerja Mitra PPL Bawaslu karena tak ada jaminan bahwa Mitra PPL
netral dan tidak dipolitisasi peserta pemilu. Kalau begitu, jelas pemilu jadi
amburadul.
Selanjutnya dibicarakan
integritas saksi parpol. Siapa yang bisa menjamin? Apa lantas juga akan
dibuat instrumen pengawas? Sungguh siklus akal-akalan khas distrust
society yang tak akan pernah selesai. Tetapi, yang paling mendasar dari
kebijakan saksi didanai negara ini adalah legitimasi atau keabsahannya dari
aspek politik maupun hukum. Pengaturan saksi parpol memang dijamin
undang-undang.
Pasal 152 Ayat (3) UU No 8
Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan,
“Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan saksi peserta pemilu.” Ayat (7)
pasal yang sama mengatur “Saksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) harus
menyerahkan mandat tertulis dari partai politik peserta pemilu atau dari
calon anggota DPD. “Dua ketentuan tersebut menyiratkan saksi akan bekerja
sebagai mata, telinga, dan alat perjuangan kepentingan peserta pemilu pada
hari pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Selain itu, peserta pemilu
ternyata tak hanya dibatasi parpol karena juga ada calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) di dalamnya. Kalau parpol parlemen dan pemerintah
konsisten dengan logika peserta pemilu adalah parpol dan calon anggota DPD,
kebijakan saksi dibiayai negara juga harus diberlakukan sama bagi kedua
peserta pemilu tersebut.
Padahal jumlah anggota DPD di
setiap provinsi sangat bervariasi. Di DKI Jakarta, misalnya, ada 35 calon
anggota DPD. Di Sulawesi Tenggara bahkan 63 orang. Bayangkan berapa uang APBN
yang harus digelontorkan andai setiap calon anggota DPD wajib punya saksi di
TPS.
Bukankan negara dilarang
membuat kebijakan yang diskriminatif? Faktanya, kesepakatan saksi dibayari
APBN sama sekali tidak menyinggung saksi dari calon anggota DPD. Isunya
dilokalisasi untuk kepentingan parpol semata. Sangat kasat mata, setiap
bicara anggaran dan pemilu, bagi parpol, calon anggota DPD bisa jadi hanya
aksesori (meski perjuangan mereka paling riil dalam merebut suara pemilih).
Ataukah ini menunjukkan bahwa
karakter curang itu memang identik pada perilaku dan struktur parpol? Lagi
pula, pada pengalaman pemilu sebelumnya, tak semua parpol peserta mampu
menghadirkan saksi di TPS.
Alasan klasik yang diakui
terang-terangan karena tak semua parpol punya jejaring dan keanggotaan sampai
ke pelosok. Kalau saksi parpol diadakan dengan dibiayai negara, akan sangat
mudah ditebak langkah parpol-parpol. Mereka akan membayar pemilih untuk
menjadi agen di TPS dengan dalih sebagai saksi. Sangat serupa dengan praktik
politik uang untuk menyuap pemilih.
Kerja sama mereka tanpa ikatan
ideologi, tanpa keberpihakan pada kepentingan visi misi kepartaian. Apalagi
bicara perekrutan dan isu kaderisasi, jauh panggang dari api. Beruntung Mendagri
akhirnya memutuskan menarik rekomendasi pembentukan peraturan presiden yang
melegalkan saksi parpol didanai negara.
Tetapi, kejadian ini
mengajarkan kerentanan politik kartel dan kongkalikong penggunaan anggaran
negara untuk kepentingan aktor politik ketimbang keperluan publik. Selain
itu, Bawaslu sangat lemah dalam memaknai kerja-kerjanya sebagai lembaga yang
mestinya fokus pada pengawasan dan penegakan hukum pemilu daripada menjadi
kasir dan pelayan untuk membayar saksi-saksi parpol.
Mengurusi kerja utamanya saja
Bawaslu kedodoran. Apalagi harus menjadi “staf administrasi” yang menangani
pembayaran. Wajar saja kalau banyak pihak menengarai Bawaslu sudah berada
pada tekanan dan terlalu toleran pada kepentingan parpol.
Prestasinya pun tak banyak bisa
jadi catatan. UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan partai
politik antara lain berfungsi sebagai sarana partisipasi politik warga negara
dan sarana perekrutan politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi.
Dua hal itu kiranya amat
berkorelasi dengan definisi parpol sendiri sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk sekelompok warga secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa, dan negara. Kebijakan ini sangat jauh dari
nilai-nilai kepentingan masyarakat.
Ini kejahatan politik kartel
untuk menutupi tabiat curang dengan dalih menjamin pemilu luber dan jurdil.
Lugasnya, saksi parpol dibiayai negara cuma tiputipu parpol untuk memanipulasi
dan melegalkan politik uang dengan dibiayai negara.
Parpol ingin menyogok pemilih
dengan dalih membayar saksi terlalu mahal dan membebani. Padahal setiap hari
masyarakat disuguhi jor-jorannya iklan politik parpol di televisi tanpa malu
meski periode kampanye di media massa elektronik baru dibolehkan 21 hari
sebelum pemungutan suara (16 Maret–5 April 2014). Sungguh amat memalukan.
Lebih memalukan lagi kalau isu ini terus digulirkan. Pemerintah harus
membatalkan Perpres tentang dana saksi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar