Rabu, 12 Februari 2014

Bersihkan Sampah Politik

                       Bersihkan Sampah Politik    

 Mashudi SR   ;   Tim Asistensi Bawaslu Aceh
KORAN JAKARTA,  12 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Mendekati pemilu, aktivitas kampanye (terselubung) calon legislatif (caleg) meningkat. Beragam metode kampanye dimaksimal untuk memperkenalkan diri. Banyak pendatang baru dalam dunia politik. Mereka dari beragam profesi seperti akademisi, mantan pejabat, tokoh pemuda, pemuka agama, petani, pedagang, tukang becak, guru, dokter, perawat, aktivis, jurnalis, mantan preman, penyanyi, pelawak, sampai paranormal.

Desain sistem pemilu yang menempatkan peraih suara terbanyak sebagai pemilik kursi di parlemen (proporsional daftar terbuka) dijadikan ruang untuk menjual ketokohan, pengaruh, kekayaan, ketampanan, dan kecantikan. Karena itu, meski minim pengetahuan politik, bahkan ada yang tidak mengerti tugas dan fungsi anggota legislatif, mereka ramai-ramai masuk parpol agar menjadi legislator. Dalam situasi seperti ini, parpol tidak ubahnya seperti kendaraan yang siap mengantarkan penumpangnya ke terminal akhir: kursi kekuasaan.

Layaknya kendaraan umum, sopir dan kernet tidak memasalahkan kelayakan penumpang untuk diangkut, asal membayar. Akibatnya, ada begitu banyak politikus dadakan ditempel di pohon, kios telepon, tiang listrik, halte-halte, atau dinding rumah. Pesta lima tahunan ini seperti berubah fungsi menjadi panggung “pemilu idol”. Sulit mengetahui kualitas intelektual, integritas moral, dan kedalaman pengetahuan ketatanegaraannya.

Parpol tidak peduli kualitas intelektual, integritas moral, dan rekam jejak caleg yang diusung. Sepanjang caleg memiliki dana besar dan populatritas tinggi, tidak ada persoalan. Pengetahuan politik, pemahaman ketatanegaraan, dan syarat lain, bisa diajarkan secara kilat setelah terpilih. Mereka dapat belajar sambail bekerja (learning by doing).

Sistem pemilihan memang sangat kompetitif dan cenderung liberal. Dunia perpolitikan Tanah Air menjelang pemilu begitu ramai, berisik, dan bising. Ruang publik, baik darat maupun udara (media elektronik), disesaki materi politik parpol dan caleg. Ini diperparah dengan banyaknya gerakan sosial yang beraroma politik. Kelompok pemuda, olah raga, pengajian, gotong royong, bakti sosial, tiba-tiba begitu aktif bergerak.

Tentu yang tidak boleh dilupakan dari semua itu: tidak ada yang gratis. Ada kompensasi politik yang diharapkan para caleg, yakni masyarakat penerima manfaat dari kemurahan hati yang muncul secara dadakan tersebut, mau memilihnya. Jika caleg merasa belum yakin dengan hasil yang diperoleh melalui gerakan tersebut, diperkuat dengan transaksi tunai yang diberikan sesaat menjelang pemilihan. Sampah Materi politik berupa baliho, billdboard poster, spanduk, banner, gambar, kartu nama, iklan televisi-radio, dan beragam atribut kampanye lain sudah mulai mengganggu kenyamanan.

Mereka ditebar di sembarang tempat tanpa memperhatikan kepantasan, estetika, dan aturan. Media massa tidak lagi menjadi alat kontrol sosial, pencerahan, dan pencerdasan publik. Dalam beberapa kasus, media baik cetak maupun elekronik memerankan diri sebagai agenagen politik, penyampai pesan politik dengan bayaran tinggi. Media tidak lagi steril dari kepentingan politik dan bisnis. Logika dan kepentingan bisnis telah mengalahkan fungsi luhur media. Liberalisme demokrasi politik yang melanda bangsa ini, telah meruntuhkan bangunan ideologi parpol dan media.

Pada saat yang sama pragmatisme tumbuh begitu subur. Pendekatan aktualisasi yang bersifat ideologis kalah dan tersingkir oleh pendekatan transaksional- pragmatis. Penguasaan ruang publik yang masif, dengan cara apa pun, dilakukan untuk memengaruhi opini dan preferensi politik pubik. Pendekatan dialogis menjual gagasan dan program edukatif yang memberdayakan dianggap bukan cara cerdas mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Maka, cara-cara seperti ini jarang dijumpai.

Calon politisi lebih memilih cara instan dengan menyebar atribut dan alat peraga kampanye secara masif di sebarang tempat. Mereka yang memiliki finansial banyak, mengiklankan diri melalui media cetak atau elektronik secara berulang-ulang.
Sampah-sampah politik yang begitu berserakan itu, sebetulnya, telah mulai menimbulkan sinisme warga. Pencitraan diri yang demikian dianggap pembodohan secara sengaja. Jika warga mau sejenak mengamati pesanpesan dalam berbagai atribut kampanye tersebut, terasa menggelikan, menggemaskan, menjengkelkan, sekaligus mengkhawatirkan.

Pesan-pesan mereka tidak lebih sekadar pepesan kosong yang semakin memperlihatkan betapa suramnya masa depan bangsa lima tahun ke depan. Secara sporadis masyarakat pun mulai mempertanyakan rekam jejak para caleg, termasuk sumber pendanaan. Pemilih sesungguhnya sudah mulai cerdas menganalisis realitas politik di sekelilingnya.

Sayang, persoalan yang berkait dengan belanja kampanye, sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang bisa diberlakukan kepada para caleg. Hanya ada ketentuan yang mengatur soal sumber dan besarnya jumlah sumbangan yang diterima parpol dan calon anggota DPD. Padahal, yang paling banyak kampanye adalah para caleg, bukan partai. Karena itu, aturan tersebut tidak memberi dampak yang signifikan mendorong transparansi dan akuntabilitas keuangan dana kampanye parpol dan caleg.

Lantas bagaimana menyikapi sampah politik yang berseliweran begitu bebas di ruang publik itu? Tidak banyak pilihan, khususnya pemilih. Sebagai warga negara yang mengerti dan taat aturan, sepatutnya semua mengingatkan pengawas pemilu untuk segera bersikap. Lembaga yang sudah diberi fasilitas negara ini diminta untuk tidak hanya pandai mengeluh dan mengeruk pemberian negara, tetapi juga bekerja profesional.

Kelompok masyarakat peduli pemilu bisa menginisiasi gerakan sosial untuk membersihkan sampah-sampah politik itu dari ruang publik karena belum waktunya. Gerakan semacam ini diperlukan sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat luas khususnya para caleg itu sendiri. Aturan hukum harus ditegakkan demi pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Terakhir, harus dipahami bahwa janji politik, diucapkan, atau ditulis, merupakan komitmen dan obligasi moral bernilai sangat tinggi. Karena itu, penting untuk mencermati caleg yang berpotensi bohong. Dia harus distabilo agar tidak dipilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar