Bersihkan Sampah
Politik
Mashudi SR ; Tim Asistensi Bawaslu Aceh
|
KORAN
JAKARTA, 12 Februari 2014
Mendekati pemilu, aktivitas
kampanye (terselubung) calon legislatif (caleg) meningkat. Beragam metode
kampanye dimaksimal untuk memperkenalkan diri. Banyak pendatang baru dalam
dunia politik. Mereka dari beragam profesi seperti akademisi, mantan pejabat,
tokoh pemuda, pemuka agama, petani, pedagang, tukang becak, guru, dokter,
perawat, aktivis, jurnalis, mantan preman, penyanyi, pelawak, sampai
paranormal.
Desain sistem pemilu yang
menempatkan peraih suara terbanyak sebagai pemilik kursi di parlemen
(proporsional daftar terbuka) dijadikan ruang untuk menjual ketokohan, pengaruh,
kekayaan, ketampanan, dan kecantikan. Karena itu, meski minim pengetahuan
politik, bahkan ada yang tidak mengerti tugas dan fungsi anggota legislatif,
mereka ramai-ramai masuk parpol agar menjadi legislator. Dalam situasi
seperti ini, parpol tidak ubahnya seperti kendaraan yang siap mengantarkan
penumpangnya ke terminal akhir: kursi kekuasaan.
Layaknya kendaraan umum, sopir
dan kernet tidak memasalahkan kelayakan penumpang untuk diangkut, asal
membayar. Akibatnya, ada begitu banyak politikus dadakan ditempel di pohon,
kios telepon, tiang listrik, halte-halte, atau dinding rumah. Pesta lima
tahunan ini seperti berubah fungsi menjadi panggung “pemilu idol”. Sulit
mengetahui kualitas intelektual, integritas moral, dan kedalaman pengetahuan
ketatanegaraannya.
Parpol tidak peduli kualitas
intelektual, integritas moral, dan rekam jejak caleg yang diusung. Sepanjang
caleg memiliki dana besar dan populatritas tinggi, tidak ada persoalan.
Pengetahuan politik, pemahaman ketatanegaraan, dan syarat lain, bisa diajarkan
secara kilat setelah terpilih. Mereka dapat belajar sambail bekerja (learning by doing).
Sistem pemilihan memang sangat
kompetitif dan cenderung liberal. Dunia perpolitikan Tanah Air menjelang
pemilu begitu ramai, berisik, dan bising. Ruang publik, baik darat maupun
udara (media elektronik), disesaki materi politik parpol dan caleg. Ini
diperparah dengan banyaknya gerakan sosial yang beraroma politik. Kelompok
pemuda, olah raga, pengajian, gotong royong, bakti sosial, tiba-tiba begitu
aktif bergerak.
Tentu yang tidak boleh
dilupakan dari semua itu: tidak ada yang gratis. Ada kompensasi politik yang
diharapkan para caleg, yakni masyarakat penerima manfaat dari kemurahan hati
yang muncul secara dadakan tersebut, mau memilihnya. Jika caleg merasa belum
yakin dengan hasil yang diperoleh melalui gerakan tersebut, diperkuat dengan
transaksi tunai yang diberikan sesaat menjelang pemilihan. Sampah Materi
politik berupa baliho, billdboard
poster, spanduk, banner, gambar, kartu nama, iklan televisi-radio, dan
beragam atribut kampanye lain sudah mulai mengganggu kenyamanan.
Mereka ditebar di sembarang
tempat tanpa memperhatikan kepantasan, estetika, dan aturan. Media massa
tidak lagi menjadi alat kontrol sosial, pencerahan, dan pencerdasan publik.
Dalam beberapa kasus, media baik cetak maupun elekronik memerankan diri
sebagai agenagen politik, penyampai pesan politik dengan bayaran tinggi.
Media tidak lagi steril dari kepentingan politik dan bisnis. Logika dan
kepentingan bisnis telah mengalahkan fungsi luhur media. Liberalisme
demokrasi politik yang melanda bangsa ini, telah meruntuhkan bangunan
ideologi parpol dan media.
Pada saat yang sama pragmatisme
tumbuh begitu subur. Pendekatan aktualisasi yang bersifat ideologis kalah dan
tersingkir oleh pendekatan transaksional- pragmatis. Penguasaan ruang publik
yang masif, dengan cara apa pun, dilakukan untuk memengaruhi opini dan
preferensi politik pubik. Pendekatan dialogis menjual gagasan dan program
edukatif yang memberdayakan dianggap bukan cara cerdas mendongkrak popularitas
dan elektabilitas. Maka, cara-cara seperti ini jarang dijumpai.
Calon politisi lebih memilih
cara instan dengan menyebar atribut dan alat peraga kampanye secara masif di
sebarang tempat. Mereka yang memiliki finansial banyak, mengiklankan diri
melalui media cetak atau elektronik secara berulang-ulang.
Sampah-sampah politik yang
begitu berserakan itu, sebetulnya, telah mulai menimbulkan sinisme warga.
Pencitraan diri yang demikian dianggap pembodohan secara sengaja. Jika warga
mau sejenak mengamati pesanpesan dalam berbagai atribut kampanye tersebut,
terasa menggelikan, menggemaskan, menjengkelkan, sekaligus mengkhawatirkan.
Pesan-pesan mereka tidak lebih
sekadar pepesan kosong yang semakin memperlihatkan betapa suramnya masa depan
bangsa lima tahun ke depan. Secara sporadis masyarakat pun mulai
mempertanyakan rekam jejak para caleg, termasuk sumber pendanaan. Pemilih
sesungguhnya sudah mulai cerdas menganalisis realitas politik di
sekelilingnya.
Sayang, persoalan yang berkait
dengan belanja kampanye, sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang bisa
diberlakukan kepada para caleg. Hanya ada ketentuan yang mengatur soal sumber
dan besarnya jumlah sumbangan yang diterima parpol dan calon anggota DPD.
Padahal, yang paling banyak kampanye adalah para caleg, bukan partai. Karena
itu, aturan tersebut tidak memberi dampak yang signifikan mendorong
transparansi dan akuntabilitas keuangan dana kampanye parpol dan caleg.
Lantas bagaimana menyikapi
sampah politik yang berseliweran begitu bebas di ruang publik itu? Tidak
banyak pilihan, khususnya pemilih. Sebagai warga negara yang mengerti dan
taat aturan, sepatutnya semua mengingatkan pengawas pemilu untuk segera
bersikap. Lembaga yang sudah diberi fasilitas negara ini diminta untuk tidak
hanya pandai mengeluh dan mengeruk pemberian negara, tetapi juga bekerja
profesional.
Kelompok masyarakat peduli
pemilu bisa menginisiasi gerakan sosial untuk membersihkan sampah-sampah
politik itu dari ruang publik karena belum waktunya. Gerakan semacam ini
diperlukan sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat luas
khususnya para caleg itu sendiri. Aturan hukum harus ditegakkan demi pemilu
yang bersih, jujur, dan adil. Terakhir, harus dipahami bahwa janji politik,
diucapkan, atau ditulis, merupakan komitmen dan obligasi moral bernilai
sangat tinggi. Karena itu, penting untuk mencermati caleg yang berpotensi
bohong. Dia harus distabilo agar tidak dipilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar