Selasa, 21 Januari 2014

Menakar Kualitas Pemilu 2014

Menakar Kualitas Pemilu 2014

Jainuri  ;   Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang
OKEZONENEWS,  20 Januari 2014
                                                                                                                       


Tidak lama lagi masyarakat Indonesia akan melangsungkan pesta demokrasi atau yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu). Pada pesta demokrasi nanti, masyarakat Indonesia akan memilih pemimpin dan menentukan arah bangsa. Karena itu, pesta lima tahunan ini dipandang sebagai kegiatan penting bagi bangsa Indonesia. Mengingat Pemilu sebagai kegiatan penting maka seluruh stakholder bangsa harus menyiapkan diri untuk menyongsong kesuksesan pelaksanaan Pemilu. 
    
Indikator kesuksesan pelaksanaan Pemilu ditunjukkan oleh dua hal yaitu  adanya kompetisi politik  yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan dapat melahirkan pemimpin-pemimpin politik yang berkualitas yaitu pemimpin yang bertanggung jawab terhadap persoalan bangsa. Dua hal tersebut sangat tergantung dari kualitas politik kontestan pemilu dan masyarakat sebagai pemilih. Semakin baik kualitas politik kontestan dan masyarakat maka kualitas pelaksanaan Pemilu semakin baik.  

Kualitas kontestan Pemilu 
    
Secara umum kontestan Pemilu adalah partai politik beserta politisi yang diusungnya dalam pemilu (Caleg). Partai politik dan politisi dipandang sebagai kontestan utama dan memiliki tanggung jawab utama untuk kensukseskan pemilu. Sejauh ini upaya partai politik untuk mensukseskan Pemilu masih belum maksimal, justru partai politik dinilai tidak memikirkan bagaimana Pemilu nanti dapat berjalan dengan baik. Partai politik  dinilai hanya sibuk mengatur strategi untuk mendapatkan kekuasaan semata, bukan untuk kesuksesan Pemilu. Ironisnya, acapkali partai politik melakukan segala acara untuk mendapatkan kekuasaan termasuk cara-cara yang menyimpang dari asas-asas pemilu. 
    
Asas pemilu tentang ketertiban kampanye, misalnya, seringkali diabaikan oleh partai politik. Sejatinya partai politik tidak diperbolehkan memasang spanduk dan baliho yang dapat mengganggu kenyamanan publik. Peraturan Komisi Pemilahan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2013 melarang partai politik memasang iklan politik yang dapat merusak keindahan dan kenyamanan ruang publik. Pada praktiknya baliho dan spanduk partai politik terpasang diberbagai ruang dan mengganggu kenyamanan publik. Sepanjang jalan raya terdapat gambar partai beserta politisi yang diusungnya sebagai  calon legislatif maupun calon presiden. 
    
Partai politik juga tidak patuh terhadap asas pemilu tentang transparansi pengelolaan anggaran kampanye.  Beberapa waktu lalu KPU mewajibkan partai politik untuk melaporkan jumlah anggaran kampanye. Selain peraturan KPU, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mewajibkan semua badan publik termasuk partai politik untuk transparan dalam pengelolaan keuangan organisasi. Pada praktiknya tidak banyak partai politik yang patuh terhadap peraturan KPU dan UU KIP tersebut. Pada konteks ini, partai politik belum mampu menunjukkan dirinya sebagai badan publik yang transparan, tanggung jawab, dan profesional.  
    
Kualitas partai politik tersebut semakin diperparah buruknya kualitas politisi yang diusungnya sebagia calon legislatif/Caleg (calon DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kab/Kota). Harus diakui, banyak para Caleg diusung partai politik yang tidak memiliki kemampuan memadai dalam bidang ke-legislatif-an. Jejak Pendapat Kompas 2013 lalu menunjukkan mayoritas para Caleg tidak memahami tugas dan fungsinya ketika nanti menjadi anggota legislatif. 
    
Ironisnya, jejak pendapat kompas juga menunjukkan motivasi para Caleg ingin menjadi anggota legislatif adalah untuk mendapatkan kekuasaan sebagai sarana memperkaya diri, dan mempermudah praktik kolusi dan nepotisme. Dalam pandangan para Caleg, anggota legislatif memiliki kekuasaan yang besar dalam mengendalikan roda pemerintahan sehingga nanti mereka dapat membuat kebijakan yang berbasiskan kepentingan pribadi dan partai politik. Selain motivasi kekuasaan, mereka juga memiliki motivasi menjadi anggota legislatif untuk memperbaiki nasib dan status. Motivasi terakhir ini biasanya dimiliki para Caleg yang selama ini profesinya “serabutan” seperti tukang ojek, tukang parkir, pedagang kaki lima, dan preman. 
    
Partai politik mengusung para Caleg bukan tanpa dasar dan alasan rasional. Partai politik mengusung para Caleg atas dasar pertimbangan pragmatis seperti kemampuan ekonomi dan massa. Partai politik lebih baik mengusung orang berduit daripada orang yang jujur, berilmu, dan berintegritas. Partai politik lebih baik mengusung preman yang ditakuti rakyat daripada orang yang religius dan berilmu namun tidak ditakuti rakyat. 
    
Kualitas buruk partai politik dan para Caleg yang diusungnya akan berimplikasi serius terhadap buruknya kualitas Pemilu. Pemilu hanya menjadi sarana bagi partai politik dan politisi untuk mendapatkan kekuasaan semata. Kondisi demikian menjadikan Pemilu sekadar pesta demokrasi lima tahunan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki kemampuan memadai dalam menjalankan roda pemerintahan terutama membuat dan menjalankan peraturan perundang-undangan dengan baik dan benar. 

Kualitas Politik Masyarakat
    
Di tengah buruknya kualitas partai dan politisi (Caleg) tersimpan harapan besar terhadap kualitas politik masyarakat. Diharapkan kuliatas politik masyarakat mampu melawan kualitas buruk partai dan politisi. Kualitas politik masyarakat harus mampu menyingkirkan partai dan politisi buruk. Melalui sistem pemilu suara terbanyak, masyarakat dengan mudah menyingkirkan partai dan politisi buruk. Karena pada sistem ini sepenuhnya masyarakat menentukan kemenangan politisi, bukan partai politik. Masyarakat dapat memberikan kepercayaan penuh kepada politisi-politisi yang berdedikasi, berintegritas, berilmu, dan berpengalaman dalam menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan benar.   

Hemat saya saat ini kualitas politik masyarakat perlu dikaji dan didiskusikan secara kritis. Pasalnya, mengaca pada praktik politik masyarakat diberbagai pemilihan kepala daerah dan kepala desa masih menyisakkan banyak persoalan diantaranya menguatnya praktik money politic di tengah masyarakat. Masyarakat seolah tak berdaya menolak praktik money politic, justru mendukung dan menguatkan. 
    
Berdasarkan survei penulis diberbagai pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) di Jawa Timur menunjukkan praktik money politic semakin menguat. Kontestan Pilkades tidak tanggung-tanggung membeli suara masyarakat dengan harga mahal yang berkisar antara 100 ribu hingga 200 ribu per suara. Mahalnya harga suara tersebut membuat pemilik suara tak berdaya untuk menjunjungtinggi nilai-nilai demokrasi. Para calon kepala desa harus menghabiskan uang banyak untuk mengikuti dan memenangkan Pilkades. Calon kepala desa harus menghabiskan uang antara ratusan juta hingga puluan miliar. Itu-pun tak menjamin mereka untuk menjadi pemenang dalam Pilkades. 
     
Besar kemungkinan di tengah menguatnya prilaku money politic masyarakat  menjadikan Pemilu 2014 nanti tidak mampu melahirkan kepemimpinan bangsa yang mampu membawa Indonesia  menuju yang lebih baik, berdaya saing, bermartabat, dan berkemajuan. Prilaku money politic hanya menjadikan Pemilu sebagai sarana melahirkan pemimpin-pemimpin korup dan tak bertangungjawab perhadap persoalan bangsa. 
    
Hemat saya di tengah minimnya kualitas politik masyarakat, partai politik, dan politisi dibutuhkan upaya-upaya serius penyelenggara Pemilu dan masyarakat sipil untuk bersama-sama memperbaiki dan mewujudkan kualitas politik masyarakat, partai, dan politisi menuju yang lebih baik sehingga Pemilu 2014 nanti dapat melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas, berintegritas, bermoral, dan bertanggungjawab dalam mewujudkan Indonesia baru, Indonesia berkemajuan. Semoga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar