Minggu, 26 Januari 2014

Memberi Tanpa Embel-embel

Memberi Tanpa Embel-embel

R Valentina Sagala   ;    Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN,  25 Januari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Ada banyak lagi sosok luar biasa yang terus "memberi tanpa embel-embel".

Orang tua saya sangat menekankan penanaman nilai-nilai kemanusiaan kepada anak-anaknya sejak kecil. Dalam gambaran sederhana mereka, menjalani hidup benar sesuai nilai-nilai cinta kasih akan membuat hidup anak-anaknya berarti.

Salah satunya, saya dan adik-adik dididik untuk mensyukuri hidup yang dikaruniai Tuhan, dan karenanya sudah semestinya berkemauan “memberi” bagi sesama.
Banyak pelajaran penting tentang memberi yang saya alami. Saya ingat, suatu ketika Ayah meminta saya memberi organ bermerek Yamaha kesayangan saya untuk gereja. Kata Ayah, gereja membutuhkan sebuah organ karena organ lamanya sudah sangat tua dan sering rusak.

Sempat saya bertanya, “Kenapa organku?” Ayah hanya tersenyum. Di rumah kami ada dua organ, yang satu diberikan Ayah khusus untuk saya, yang satunya lagi digunakan bersama oleh Ayah dan Ibu.

Dengan isi kepala dan emosi remaja belasan tahun, saya menyimpan kesal karena tidak lagi bisa memiliki organ. Apalagi belakangan saya tahu, organ kesayangan saya tidak diberikan untuk gereja tempat keluarga biasa beribadah. Ayah menyumbangnya ke sebuah gereja di daerah lain yang sampai sekarang belum pernah saya singgahi.

Ayah dan saya juga pernah membantu seorang teman sekelas di bangku sekolah dasar dengan memberi sejumlah uang untuk biaya sekolahnya yang tertunggak karena tak punya uang. Untuk itu, hadiah kenaikan kelas yang dijanjikan Ayah berupa tas sekolah pun tak jadi saya terima. Kata Ayah, “Kan kamu sudah memberi untuk yang lebih membutuhkan.”

Lama-kelamaan bersamaan dengan kedewasaan yang bertumbuh, saya sadar dan bersyukur telah ditanamkan nilai-nilai kebaikan yang saya yakini hingga kini. Soal memberi, yang dimaksud tentu bukan hanya memberi barang atau uang, melainkan juga waktu, tenaga, pikiran, perhatian, atau kasih sayang.

Hal yang paling penting dalam memberi adalah ketulusan. Ayah memunculkan istilah “memberi tanpa embel-embel”.

Istilah Ayah merujuk pada memberi dari hati yang tulus. Artinya, memberi tanpa mengharapkan balasan apa pun, apalagi dari orang yang kita beri sesuatu. Memberi juga tidak perlu pakai “tapi”, seperti “memberi tapi nanti kalau...” atau “memberi tapi hanya untuk...”.

Mengingat-ingat kembali nilai-nilai yang diajarkan orang tua, membuat saya tersenyum. Di masa saya dewasa kini, kebanyakan orang cenderung berlomba “menerima", bahkan merampas hak orang lain yang seharusnya tidak diterimanya.

Konsep "memberi" pun tidaklah sama dengan apa yang ditanamkan orang tua pada saya dulu. Sekarang ini, memberi harus menuntut balasan atau imbalan. Saya kaget belum lama ini membaca sebuah surat elektronik dari seorang ibu yang menuntut penghargaan atas kesediaannya melahirkan anak. Melahirkan menjadi tindakan yang membutuhkan imbalan. Tak beda dengan seorang perempuan yang melahirkan demi menerima bayaran.

Selain mengharap balasan berupa penghargaan material atau imaterial, "memberi" penuh "terms and conditions" alias "persyaratan dan ketentuan tertentu" (sama saja dengan embel-embel). Ada partai politik yang mau memberi bantuan bagi korban bencana jika bendera partai politiknya berkibar di lokasi bencana.

Ada calon anggota legislatif yang memberi bantuan cuma di daerah pemilihannya (tetangga yang jelas-jelas membutuhkan bantuan tak dipedulikan karena bukan daerah pemilihannya). Ada juga sosialita yang hanya mau memberi jika diliput media massa.

Betapa menyedihkannya. Memberi tidak lagi merupakan wujud berbagi dari hati yang tulus, tanpa mengharap sesuatu. Seorang kawan yang sedang kesulitan bahkan pernah berkata pada saya, ia takut menerima bantuan dari keluarganya karena khawatir akan ditagih untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan dari bantuan yang diterimanya.

Saya jadi merenung. Dalam kultur "memberi dengan embel-embel" sejenis ini, nilai-nilai kemanusiaan apa yang hendak kita wariskan bagi generasi mendatang?
Meski telah memberi sepanjang hidup, tak pernah sekalipun ayah dan ibu saya meminta-minta imbalan atau penghargaan dari anak-anaknya dan orang lain.

Saya yakin ada banyak lagi sosok luar biasa yang terus "memberi tanpa embel-embel". Mereka mungkin adalah orang-orang sederhana, jauh dari ingar-bingar kekuasaan publik, sorotan kamera, atau nafsu duniawi lain. Mereka orang-orang sederhana yang "memberi tanpa embel-embel". Mereka tulus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar