Minggu, 26 Januari 2014

Pemilu 2014 dan Kepercayaan Publik

Pemilu 2014 dan Kepercayaan Publik

Joko Wahyono   ;    Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  25 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Masyarakat semakin melebarkan jarak dari parpol dan bujuk rayu pemilu.”
Tak kurang dari enam bulan lagi Pemilu 2014 akan digelar. Berbagai macam lobi dan negosiasi politik secara intensif dilakukan para elite maupun kandidat politik yang akan bertarung. Penetrasi politik ini semakin tampak nyata ketika berbagai varian media nyaris tanpa jeda memberitakannya.

Mulai dari iklan politik, rapimnas parpol, agenda “silaturahmi” dengan para tokoh nasional, organisasi sosial-keagamaan dan kemasyarakatan, hingga gerak-gerik elite politik itu sendiri dibingkai menjadi arus utama (mainstream) pemberitaan. Tak dapat dimungkiri memang falsafah pemenang terletak pada siapa saja yang mempersiapkan segala sesuatu secermat mungkin.

Namun, di tengah gaduhnya panggung politik tersebut, kepercayaan publik terhadap parpol justru berada di titik nadir. Hal ini sebagaimana digambarkan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Cirus Surveyors Group beberapa waktu lalu.
Di sebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap parpol hanya 9,4 persen. Sementara itu, 39,2 persen kurang percaya, 40 persen tidak percaya, dan 11,4 persen menyatakan tidak tahu, Minggu (5/1). Degradasi kepercayaan publik ini jelas menjadi alarm bagi Pemilu 2014.

Apalagi kinerja mereka selama ini gagal menginjeksi harapan baru di tengah depresi massal akibat kesejahteraan tak kunjung berpihak kepada rakyat. Parpol sebagai infrastruktur demokrasi juga terlihat absen dalam memperkuat partisipasi publik sehingga terjadi penggerusan kepercayaan dan penurunan kerja politik.

Proses transisi demokrasi ke arah konsolidasi akan menjadi terhambat. Demokrasi elektoral melalui arena pemilu terancam akan kehilangan efektivitasnya. Ini karena ketiadaan korelasi positif antara pemilu langsung dengan kesejahteraan yang benar-benar dirasakan rakyat.

Sebaliknya, buruknya kinerja parpol dan disparitas antara agenda parpol dengan konstituen semakin memperkuat persepsi bahwa mereka tidak sepenuhnya berpikir tentang kepentingan publik.

Relasi Terputus

Kenyataan ganjil ini semakin mengonfirmasi adanya keterputusan relasi antara wakil elite politik dengan yang terwakili (rakyat). Keterputusan relasi ini, menurut Guillermo O’Donnell (1994), disebut sebagai bentuk demokrasi delegatif, wakil rakyat atau pemimpin yang muncul hanya sebatas delegasi tanpa mandat. Dengan ungkapan lain, demokrasi melalui arena pemilu dengan ongkosnya yang mahal gagal menegakkan mandat, akuntabilitas, dan keterwakilan politik. Ruang politik masih didominasi relasi politik oligarki dengan kulturnya yang transaksional.

Tak mengherankan jika masyarakat semakin melebarkan jarak dari parpol dan bujuk rayu pemilu. Mereka akan mengalkulasi, betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak pada diri mereka. Seseorang akan tetap mencari nafkah atau tetap melanjutkan tidurnya ketika hari pemilu.

Mereka berpaling karena menilai kehadirannya selama ini hanya dilihat sebagai angka untuk pemenangan kursi kekuasaan elite politik. Klaim bahwa demokrasi akan menjadikan suara rakyat sebagai panglima hanyalah utopia. Demokrasi hanya ditafsir sebatas menghitung jumlah kepala, tanpa memperhitungkan isi kepala (aspirasi) rakyat.

Mengelola Harapan

Di ujung degradasi moral dan watak elite politik yang buruk itu, sebenarnya bangsa ini hanya butuh pemimpin atau wakil rakyat yang punya kapasitas “orang baik” tanpa
prasyarat apa pun dan tanpa embel-embel kepentingan apa pun. Meski terkesan deontologis dan ahistoris, justru di situlah kiranya letak kekuatan dan relevansinya di tengah tuntutan orientasi demokrasi (melalui pemilu) yang berkualitas dan bermakna bagi keadaban publik.

Momentum Pemilu 2014 menjadi satu-satunya harapan, sekaligus titik penentu (decisive point) nasib bangsa Indonesia ke depan. Untuk itu, sisa harapan publik itu harus dikelola dengan baik. Jangan sampai harapan yang sudah sedemikian langka itu dikacaukan retorika politik citra dan rayuan gosip politik murahan para elite yang saling menjatuhkan.

Hak untuk menentukan calon pemimpin harus dikembalikan kepada rakyat sebagai subjek pemilu. Rakyat harus diposisikan sebagai raja pada tataran massa yang lebih tertarik atau ingin diperlakukan secara proporsional dengan didengar apa kebutuhan dasarnya (basic need).

Mereka sudah jenuh dengan visualisasi citra kandidat politik melalui iklan, spanduk, baliho, poster, atau brosur yang sarat rekayasa. Oleh karena itu, kerja kampanye para kandidat politik harus emansipatif dengan bertumpu pada penggalian nalar, aspirasi, perspektif, persepsi, kualitas argumentasi masyarakat, serta harapan yang melekat di dalamnya.

Mereka harus mampu menciptakan ruang yang memungkinkan publik untuk berpendapat, menyatakan opini, dan mempersoalkan segala isu.
Isu tersebut relevan dengan kepentingan mereka dalam suasana interaksi yang dialogis, berkesinambungan, dan penuh simpati membaca kondisi serta espektasi konstituen. Upaya inilah yang dipandang Jurgen Habermas (1995) sebagai syarat lahirnya demokrasi deliberatif yaitu pemilu merupakan hasil pemakaian publik atas hak-hak komunikatif itu secara terus-menerus.

Tak kalah penting adalah upaya parpol untuk menghadirkan tokoh yang bisa menginjeksi harapan baru. Mereka adalah calon wakil rakyat “tanpa syarat” yang mau bekerja memberi jalan penyelesaian (Jawa; mrantasi) atas kompleksitas persoalan yang kini membelit bangsa. Kehadiran mereka akan menyulutkan kembali kepercayaan serta gairah partisipasi publik di ajang demokrasi elektoral lima tahunan itu.

Perlu diketahui, selain menyuburkan kompetisi, khittah demokrasi sejatinya memperluas partisipasi politik publik. Baik buruknya nasib demokrasi tidak hanya bertumpu pada elite politik, tetapi juga sejauh mana masyarakat turut merawatnya.

Pemilu 2014 akan menguji sejauh mana mereka mampu memainkan peranan itu. Jika gagal, demokrasi melalui arena pemilu hanya akan menguras ongkos, bukan mengeruk keuntungan dengan hadirnya pemimpin pengemban mandat dan tanggung jawab terhadap rakyat demi kepentingan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar