Maju
Mundur Demokrasi
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2014
Apakah reformasi telah
membawa kemajuan bagi demokrasi kita? Ataukah, sebaliknya, justru membawa
kemunduran? Jawaban atas dua pertanyaan tersebut bisa sama-sama ”ya”.
Ya, kata banyak orang, demokrasi kita maju pesat setelah reformasi tahun 1998. Ya, kata banyak orang yang lain, demokrasi kita mengalami kemunduran karena kebablasen. Bahwa demokrasi kita mengalami kemajuan bisa dilihat dari beberapa indikator. Pemilu-pemilu selama era Reformasi berjalan demokratis, tidak berada di bawah hegemoni pemerintah. Dulu pemilu selalu ditentukan secara sepihak oleh pemerintah melalui Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh menteri dalam negeri. Bahkan, banyak yang tahu bahwa hasil pemiluzaman Orde Baru sudah ditentukan hasilnya sebelum pemungutan suara. Tetapi sekarang pemilu ditentukan sepenuhnya oleh KPU yang dibentuk oleh DPR dan pemerintah. Dulu tidak ada yang bisa menggugat hasil pemilu yang nyata-nyata curang. Sekarang ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa membatalkan hasil pemilu. Tahun 2009 MK membatalkan 72 kursi hasil pemilu yang telah ditetapkan oleh KPU mulai dari tingkat DPR sampai tingkat DPRD, bahkan juga sampai DPD. Setelah era Reformasi ini tidak ada lagi pengekangan, apalagi bredel dan sensor terhadap pers. Pers boleh beredar tanpa izin terbit, boleh memuat apa saja dengan catatan kalau melanggar hukum pelakunya bisa diseret ke pengadilan. Pada zaman Orde Baru, meski undang- undangnya melarang pembredelan, tetapi selalu terjadi pembredelan dan pembatasan atas pemberitaan. Sekarang pemberantasan korupsi lumayan bagus. KPK berani memanggil dan menjadikan menteri aktif sebagai tersangka korupsi, bahkan menjebloskan anggota-anggota DPR dan tokoh parpol ke penjara. Sekarang ini siapa pun bukan hanya boleh bermimpi menjadi presiden, tetapi juga boleh memperjuangkan dan meraih jabatan itu melalui pemilu dengan pertarungan bebas. Dulu jika ada orang disebutsebut layak menjadi presiden, apalagi sampai berani menyatakan akan menjadi calon presiden, langsung diisolasi, ditekan, bahkan diejek sebagai orang gila. Kita tentu masih ingat nama-nama seperti Sawito Kartowibowo, Berar Fatchiyyah, Marzuki Darusman, dan Sri Bintang Pamungkas. Sekarang orang bebas mencalonkan orang atau mencalonkan diri sebagai presiden melalui pemilu yang dikendalikan oleh KPU yang independen. Siapa yang bisa membantah bahwa itu semua merupakan contoh nyata perbaikan demokrasi sebagai pembalikan atas ”demokrasi semu” atau otoriterisme di era Orde Baru? Tetapi pihak yang mengatakan kehidupan politik dan demokrasi kita mengalami kemunduran tentu bisa menyebut contoh-contohnya yang juga nyata dan terasa. Pertama-tama mereka bisa menyebut demokrasi kita tidak membawa ke arah pencapaian tujuan negara, yakni kesejahteraan rakyat. Padahal, tidak ada manfaatnya kita berdemokrasi jika kesejahteraan rakyat terabaikan. Kemiskinan resmi (menurut angka pemerintah kita) berjumlah sekitar 29 juta jiwa yang kalau menggunakan ukuran World Bank bisa berjumlah sekitar 100 juta orang. Rasio gini (tingkat kesenjangan ekonomi) kita merangkak terus dari 0,20 pada era Orde Baru menjadi 0,41 pada 2013, sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan pemerintahan. Memang betul, pemilu sekarang relatif lebih bebas dari kecurangan dan hegemoni pemerintah, tetapi jangan dikira pemilu sekarang bebas dari kecurangan-kecurangan. Pelaku kecurangan pemilu sekarang ini, seperti yang dapat dilihat dari perkara-perkara pemilu yang ditangani MK, dilakukan oleh parpol, tepatnya orang-orang parpol secara horizontal. Dari semua parpol, ada kadernya yang terlibat kecurangan meski tingkat atau areanya berbeda-beda. Kontraproduktif dengan kebebasannya, pers yang bebas kerap digunakan untuk menyerang lawan politik secara tidak fair. Willian B Liddle mengatakan, demokrasi kita sekarang telah dijadikan alat untuk melakukan korupsi oleh elite-elite politik yang berkolusi antara yang satu dan yang lain. Maka itu, korupsi semakin terstruktur dan masif, menjalar ke mana-mana. Korupsi sudah menjadi semacam oksigen dalam politik dan pemerintahan kita, sehingga politik dan pemerintahan seperti tidak bisa bernafas tanpa korupsi. Sekarang karakter produk dan penegakan hukum tumbuh dan berkembang secara ortodoks, bertentangan dengan hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam politik yang demokratis. Karakter ortodoks ini ditandai oleh dominasi pembuatan hukum oleh lembagalembaga negara, dijadikannya hukum sebagai alat ”pembenar ketidakbenaran” baik dalam pembuatan maupun dalam penegakannya, dan banyaknya intervensi politik dan kolusi-kolusi dalam penegakan hukum. Dengan potret seperti itu, politik kita sekarang ini tidak dapat disebut sebagai sistem yang demokratis melainkan sistem yang oligarkis. Dengan sistem yang oligarkis, pengambilan keputusan-keputusan kenegaraan dihegemoni oleh eliteelite politik dan bisnis secara kolutif. Celakanya, pada tingkat bawah, hegemoni oligarki tersebut kerap menimbulkan anarki atau pembangkangan terhadap aparat pemerintah. Demokrasi menjadi kebablasen, menjauh dari ide yang diperjuangkan saat kita melakukan reformasi 15 tahun yang lalu. Kalau di atas elite politiknya kolutif, sedangkan di bawah rakyatnya anarkistis dan membangkang, maka taruhannya adalah kelangsungan negara. Tahun 2014 harus dijadikan momentum untuk menyelamatkan dan menata problem benang kusut dan karut-marut politik yang mengancam itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar