Selasa, 07 Januari 2014

Sang Raja Mau Jadi Presiden

                                   Sang Raja Mau Jadi Presiden

Reza Indragiri Amriel  ;   Psikolog Forensik
KORAN SINDO,  04 Januari 2014
                                                                                                                     


Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, bahkan sebelum itu, ayah saya sudah memperkenalkan saya pada dua seniman. Pertama, The Beatles. Kedua, Rhoma Irama. 

Persentuhan dengan The Beatles sangat terbatas, lewat rekaman audio. Sedangkan kedekatan dengan Rhoma Irama berlangsung lebih intens, melalui audio dan visual. Bioskop Sunan Giri di Rawamangun, Jakarta Timur, menjadi tujuan saban kali film Rhoma beredar. Entah berapa judul film yang pernah saya tonton di sana. 

Yang jelas, setiap kali menyaksikan tayangan film Rhoma, tidak pernah sekali pun ayah saya memberi instruksi “tutup mata” sebagai bentuk swasensor seandainya ada adegan-adegan yang tak layak ditonton oleh anak-anak. Sejak awal hingga akhir gambar demi gambar di layar bioskop mengalir tak saya lewatkan. Formula film Rhoma, seingat saya, mirip film India. Rhoma adalah sosok pujaan: tampan, penuh bakat berkesenian, mudah berteman, sopan murah senyuman, beriman, dan sudi sesekali beradu fisik demi membela kebenaran. 

Lantunan lagu-lagu Rhoma menambah asyik, sekaligus panjang, film-filmnya. Menginjak sekolah dasar, di Senayan, saya berkesempatan menonton live concert Rhoma Irama. Sebenarnya ada beberapa biduan dan biduanita lainnya yang tampil malam itu. Namun, karena tak kuasa menahan berat kelopak mata, saya tertidur dengan kepala di pangkuan paman saya. Baru terjaga kembali ketika—”Tibalah yang kita nanti-nanti,” seru MC—Rhoma Irama merajai panggung. 

Semasa saya kuliah di Jogja, sesekali film Rhoma ditayangkan TPI. Sepertinya berganti-gantian dengan film Benyamin S. Keduanya serasi betul. Ketika Rhoma berakting sebagai manusia budiman, Benyamin justru gila-gilaan menampilkan sisi-sisi gelap manusia. Salah satu adegan kocak di film Rhoma adalah ketika ia mengajari seorang gadis bermain piano. Di situ tak hanya sibuk membimbing anak didiknya sambil bernyanyi duet, Rhoma juga sibuk memegangi kumis palsunya yang hampir lepas dari tempatnya. 

Tidak sebatas film, setiap pekan di stasiun televisi yang sama selalu saja ada siaran langsung pentas Rhoma. Taman Mini Indonesia Indah tampaknya merupakan lokasi favorit. Penontonnya, bisa dipastikan, membeludak betapa pun basah kuyup oleh hujan deras. Sesungguhnya bukan hanya sosok Rhoma yang saya perhatikan setiap kali Soneta pentas. 

Dalam ingatan saya masih tersimpan kenangan tentang sekian banyak personel band Rhoma. Penyanyi latar Rhoma, terdiri atas beberapa perempuan muda, memang datang dan pergi. Tapi, para pemain musik pengiring Rhoma sepertinya baru belakangan ini saja berganti generasi. Dari seorang teman, saya peroleh kabar bahwa selain Rhoma, hanya pemain perkusi yang masih bertahan. 

Personel lainnya sudah mulai sakit-sakitan sehingga butuh istirahat panjang. Wajah para musisi band Soneta mirip satu sama lain. Postur serupa, potongan rambut demikian pula. Gaya berbusana, tentu pakai seragam semua. Yang paling berbeda dari sisi potongan rambut adalah si pemain seruling. Siapa namanya, entahlah. 

Uniknya, ketika Rhoma selaku pemetik gitar utama, pemain bas, pemain ritem gitar, dan pemain mandolin serempak mengayunayun instrumen mereka hingga setinggi bahu, si peniup sulingpun melakukan lenggokan yang sama meski panjang alat musiknya hanya beberapa sentimeter. Kebanting, namun tetap seru! Gaya Rhoma menginspirasi sekian banyak peniru. Yang ikut berjaya adalah Mara Karma dengan lagunya berjudul Resesi Dunia.

Beberapa waktu setelah Rhoma Irama mengumumkan rencananya maju sebagai calon presiden Republik Indonesia, sejumlah kalangan tergelak sinis. Apalagi ketika Rhoma resmi diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kandidat presiden. Seketika itu pula Rhoma menjadi sansak hidup. Semua kritik mempersoalkan latar belakang Rhoma sebagai penyanyi dangdut. 

Tampilnya Rhoma sebagai salah satu calon presiden disebut-sebut hanya akan membuat korupsi terus menjadi masalah bangsa. Yang perlu balik dipertanyakan, pertama, apakah para pengkritik Rhoma—baik langsung maupun tidak langsung— ingin menyebut musik dangdut dan penyanyi dangdut sebagai sesuatu yang berkelas rendah? Faktanya, kendati kerap diasosiasikan dengan “kampungan”, “udik”, dan penilaian-penilaian miring lainnya, musik dangdut adalah musik yang paling banyak digemari orang Indonesia. 

Sekian banyak data menunjukkan bahwa musik dan kaset (rekaman) dangdut terus meraja sejak dasawarsa tujuh puluhan. Kenduri-kenduri rakyat tak pernah alpa menampilkan atraksi dangdut. Warga sipil dan tentara spontan berjoget bersama, merealisasikan ungkapan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, saat gendang dangdut mulai menghentak dari pengeras suara. 

Acara-acara ‘kelas atas’ pun sering menjadikan musik dangdut sebagai pencair suasana. Apabila itu semua dikonversikan ke dalam jumlah penonton dan penggemar dangdut, angkanya niscaya mencapai puluhan juta manusia. Alhasil, mengaitkan penyanyi dangdut sebagai sesuatu yang rendah (pasti tidak layak menjadi presiden) sama artinya dengan menghakimi secara semena- mena puluhan juta penyuka dangdut alias orang Indonesia sebagai penghuni kasta bawah. 

Siapa pun yang melecehkan puluhan juta warga— sebutlah—kasta bawah itu harus dipastikan sebagai manusia pongah yang tidak memiliki kepantasan untuk menjadi pemimpin republik ini. Apa pula rasionalisasi di balik penghubungan antara “dangdut” dan “korupsi jalan terus”? Puluhan juta kaum jelata yang sekaligus pencinta dangdut, faktanya, adalah orang-orang yang selama ini paling dirugikan oleh para penjahat korupsi. 

Betapa tidak? Ketika para bandit kerah putih terus-menerus menimbun harta, berpuluh- puluh juta orang papa Indonesia masih harus bersusah payah memikirkan besok makan apa. Benar, tidak semua pekerja seni terbukti sukses saat berganti status sebagai wakil rakyat. Ada pemain sinteron dan pelawak yang entah apa kiprah nyatanya bagi rakyat. 

Namun juga tidak bisa diabaikan tokoh semacam Rieke Dyah Pitaloka, pemeran istri bloon di sinetron Bajaj Bajuri, dan Deddy Gumilar, si Miing dari grup lawak Bagito, yang sangat artikulatif memperjuangkan aspirasi publik selaku anggota DPR. Karena pemukul rata tidak proporsional, akhirnya perlu ditelusuri rekam jejak masing-masing orang. 

Itu berlaku pula terhadap kelompok penyanyi dangdut. Karena penyanyi dangdut yang disebut para penggugat menunjuk secara implisit figur Rhoma Irama, mereka perlu mencermati bagaimana eksistensi si Ksatria Bergitar selama ini.

Rhoma berjaya sejak album pertamanya, Soneta. Dirilis Yukawi Record pada medio tujuh puluhan. Kaset dan piringan hitam Soneta terjual satu juta keping lebih sehingga menghasilkan Golden Plate Award bagi Rhoma. Sampai sekarang Rhoma dan Soneta sudah menghasilkan puluhan album dan hampir seribu lagu. Dari itu semua, tidak ada satu pun yang gagal di pasaran. 

Pada 1985 majalah Asia Week mendaulat Rhoma sebagai King of Southeast Asian Music. Saking respeknya, Perpustakaan Kongres di Washington DC, Amerika Serikat, bahkan menyimpan lengkap seluruh rekaman yang sudah Rhoma hasilkan. Dibandingkan dengan penyanyi-penyanyi lain, bahkan dari aliran musik berbeda, Rhoma adalah seniman paling konsisten mengetengahkan liriklirik lagu tentang gaya hidup sekaligus kritik atas itu semua. 

Dalam wacana masa kini, bisa dikatakan, karya-karya seni Rhoma kental dengan tema pembangunan karakter. Rhoma memang juga mempunyai darah romantis seperti yang bisa disimak pada lagu-lagunya yang lain. Tapi, semua tentu sepakat, hits Rhoma kebanyakan berasal dari untaian lirik lagu tentang akhlak. Judi, Begadang, Darah Muda, Bujangan, dan Lari Pagi adalah beberapa di antaranya. Itu sesuatu yang luar biasa mengingat artis-artis lainnya pada era yang sama larut dalam lirik tentang gombalisasi cinta. 

Sangat hirau pada aspek karakter, Rhoma meradang ketika panggung dangdut dibikin riuh rendah oleh trend setter bernama Inul Daratista. Dijuluki trend setter karena sejak Inul-lah bermunculan penyanyi-penyanyi dangdut yang lebih menonjolkan erotisme badaniah ketimbang lagu yang mereka bawakan. Goyangan pembangkit berahi itu yang mendorong Rhoma melarang keras lagu-lagunya dibawakan oleh para penyanyi itu. 

Berhadapan dengan westernisasi nilai, Rhoma beberapa kali terseret ke pusat arus kecaman sebagian pihak. Kehidupan rumah tangganya dianggap bermasalah. Anehnya, pada saat yang sama, para artis penzina termaafkan begitu saja dengan alasan itu pilihan hidup pribadi mereka. Begitu pula tatkala menyuarakan prinsip ideologisnya dalam kehidupan berbangsa selalu ada manuver untuk memojokkan Rhoma sebagai tokoh puritan antidemokrasi. 

Janggalnya, kepada tokoh-tokoh lain yang lebih lantang lagi menggemakan ideologi pengkhianat Pancasila justru diberikan predikat sebagai pembaru. Jadi, Rhoma jelas jauh lebih serius menunjukkan kepeduliannya pada karakter anak-anak bangsa daripada para politisi dadakan yang baru sok perhatian setelah terdaftar sebagai calon anggota legislatif. 

Rhoma, lewat panggung musik, juga jauh lebih sungguh-sungguh memprakarsai pendidikan tentang pentingnya perombakan gaya hidup hedonis ketimbang orangorang sok penting yang ternyata baru bisa mengekor saat akan maju ke pemilihan presiden. Dengan kaliber Rhoma yang sespektakuler itu, sekali lagi, apa justifikasi atas pelecehan terhadap penyanyi dangdut khususnya Rhoma Irama? 

Apa pula logika di balik anggapan bahwa korupsi akan jalan terus seiring dengan majunya penyanyi dangdut (Rhoma Irama) ke kontes memperebutkan kursi RI-1? Rhoma hingga kini adalah Raja Dangdut Indonesia. Ke depan jangan sepelekan; siapa tahu, dia dipercaya sebagai Presiden Republik Indonesia. Wallahualam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar