Selasa, 07 Januari 2014

Pemberantasan Korupsi dan Politik Setengah Hati

     Pemberantasan Korupsi dan Politik Setengah Hati

Premita Fifi Widhiawati  ;   Pendiri dan Pengurus
Lembaga Edukasi, Bantuan & Advokasi Hukum Jurist Makara
KORAN SINDO,  04 Januari 2014
                                                                                                                        


Kembali rakyat dikecewakan oleh tekad menteri dalam negeri untuk melantik petahana Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih yang tengah mendekam di penjara KPK sebagai tersangka kasus suap pilkada sebesar Rp3 miliar terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar. 

Untungnya, belakangan niat itu dihambat KPK yang melarang rumah tahanan dijadikan tempat pelantikan bupati. Sebelumnya pada April 2012 Bupati dan Wakil Bupati Mesuji Khamamik dan Ismail Ishak dilantik di Rutan Menggala, Tulang Bawang oleh gubernur Lampung atas nama mendagri setelah diputus bersalah oleh pengadilan atas kasus korupsi dana BUMD Tuba tahun 2006. Kasus lain, alih-alih menonaktifkan, berdasarkan voting DPRD Banten justru menegaskan bahwa Ratu Atut yang saat ini mendekam dalam penjara Pondok Bambu tetap menjabat sebagai gubernur Banten. 

Aturan 

Mudah terbaca betapa beratnya untuk melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Setelah segala upaya penangkapan oleh KPK, pejabat yang tertangkap tidak kehilangan kekuasaannya. Celakanya, kondisi semacam ini mendapat “penguatan” dari negara (pemerintah) yang berlindung di balik undang- undang sehingga menafikan rasa keadilan dan “mengkhianati” kepercayaan rakyat dan kerja keras KPK. 

Benarkah undang-undang kita seolah tumpul menghadapi kasus-kasus semacam itu? Sesungguhnya tidak. Aturannya ada: Pertama, Pasal 29 (2) UU 32/2004 memungkinkan DPRD untuk memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil karena antara lain tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturutturut selama enam bulan dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. 

Kedua, ada proses pemberhentian sementara kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yang dapat dilakukan oleh presiden melalui usulan mendagri. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 126 (1) PP 6/2005. 

Sayangnya, ketegasan aturan tersebut tereduksi oleh ketentuan berikutnya yang mensyaratkan banyak hal: (1) Dakwaan sudah didaftarkan dan dibuktikan dengan nomor register (pengadilan), (2) Untuk gubernur, usulan pemberhentian sementara harus datang dari mendagri kepada presiden, (3) Jika setingkat bupati, usulan harus datang dari gubernur kepada mendagri, selanjutnya mendagri akan mengusulkan kepada presiden, (4.) 

Ketentuan untuk menunggu putusan atas perkara korupsi yang melilit kepala daerah hingga mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Semua proses tersebut memerlukan waktu. Sementara Pasal 100 (2) menyatakan pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati/wakil bupati atau pasangan calon wali kota/wakil wali kota terpilih dilakukan oleh mendagri atas nama presiden selambatnya dalam waktu 30 hari. Ini membuka peluang untuk berlindung dibalik peraturan. 

Dalam kasus Ratu Atut Mendagri belum dapat mengeluarkan usulan pemberhentian karena belum mendapatkan berkas perkara dari Pengadilan Tipikor. Di luar ketentuan di atas, sejatinya setiap kepala daerah sudah disumpah untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadiladilnya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 42 (3) UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sumpah tersebut mengikat secara duniawi dan semangat ilahiah dengan menyebut dan bersaksi atas nama Tuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri 3/2000. 

Usulan Perubahan 

Untuk mencari solusi dari masalah yang mungkin timbul ini, minimal ada empat solusi perubahan hukum yang bisa diambil. Pertama, penguatan Pasal 28 UU 32/2004 yang melarang kepala dan wakil kepala daerah untuk antara lain membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain; Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya,baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan; Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; serta Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya. Tambahan kekuatan penghukuman diperlukan jika pejabat yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Ini penguatan posisi DPRD. 

Kedua, penyatuan dan penegasan Pasal 124 dan Pasal 125 PP 6/2005 agar sejalan dengan Pasal 30 UU 32/2004 dengan mengganti kalimat “berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” dengan kalimat “berdasarkan putusan pengadilan”, sebagaimana tercantum dalam Pasal 124 (1) PP 6/2005 dan Pasal 30 (1) UU 32/2004. 

Ketiga, mengganti kalimat “berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” yang terdapat dalam Pasal 125 (1), Pasal 127 ayat (1) PP 6/2005, dan Pasal 31 (2) UU 32/2004 dengan kalimat “berdasarkan putusan pengadilan” sebagaimana tercantum dalam Pasal 124 (1) PP 6/2005 dan Pasal 30 ayat (1) UU 32/2004. Proses sebuah putusan pengadilan hingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap memerlukan waktu lama, sementara jabatan kepala daerah hanya untuk waktu lima tahun. Keempat, menghapus Pasal 30 ayat (2) UU 32/2004 agar tak ada bias hukum. 

Penguatan KPK 

Setelah satu dasawarsa, KPK kian menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK mendapatkan simpati dan menjadi tempat bertumpunya harapan rakyat sehingga perlu terus didukung dan dikuatkan. 

Terkait dengan korupsi yang dilakukan kepala daerah, penggunaan UU 30/2002 tentang KPK, khususnya Pasal 12e yang memberi wewenang kepada KPK untuk memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya harus semakin digalakkan. Selama ini KPK menggunakan kewenangan tersebut secara lebih lunak dalam bentuk rekomendasi, termasuk dalam kasus Ratu Atut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar